Tuesday, April 29, 2008

Sabtu yang Panjang



Sabtu tanggal 26 kemarin secara tidak direncanakan menjadi Sabtu yang panjang. Padahal hari Jumat saya sudah berencana untuk bangun sesiang mungkin karena kurang tidur selama seminggu. Namun karena ada side project yang harus dikerjakan, akhirnya saya bangun jam setengah 8 pagi.

Jam 8 lewat (setelah mempelajari peta Jakarta) saya berangkat menuju tempat seorang teman di bilangan Tanah Abang. Hebatnya, meski belum pernah ke daerah sana, saya tidak nyasar sekalipun (kalau kelewatan nomor rumah tidak dihitung).

Seru juga merekam tetangga memberikan komentar untuk diputar di acara ulang tahun, terutama oma-oma heboh yang berdandan khusus (mungkin ke salon dulu?) hanya untuk sesi wawancara selama 10 menit. Itupun hanya dengan handycam semi-pro. Namun yang santai pun juga ada.

Dan juga para hansip di RW 08 itu yang susah sekali untuk kompak meski hanya disuruh mengucapkan “Selamat Ulang Tahun” berbarengan. Namun sesi pagi itu berakhir cukup cepat dan ditutup dengan makan siang di Bakmi Alok Yang Asli (karena di sebelahnya ada Bakmi Aluk, yang katanya sih enak juga dan lebih murah).

Jam satu lewat pun saya sudah sampai di rumah kembali, dan segera menuju bantal di kamar, karena masih ngantuk. Tiba-tiba, ada Oom dari Makassar datang berkunjung untuk menjenguk sang Ibu yang masih dalam penyembuhan. Kebetulan dia sedang di Jakarta untuk urusan bisnis. Namun kunjungannya cukup singkat karena sang Oom harus mengejar pesawat ke Denpasar jam 5 sorenya. Karena tidak ada taksi yang lewat, saya menawarkan diri untuk mengantar. Jadilah saya kembali ber-mobil ke daerah Senopati. Jalanan cukup macet untuk ukuran hari Sabtu siang.

Lalu jam 4 lewat saya kembali berada di rumah, dalam kondisi sangat merindukan bantal. Sebetulnya agak dilema, karena jam 5-nya ada janji dengan teman-teman D.A.T.E. untuk makan malam (jam 5?) di Poke Sushi. Akhirnya, karena tidak tahan, saya tidur selama satu jam, lalu jam setengah 6, setelah mandi saya berangkat ke Crown Plaza Hotel.

Awalnya saya mau ikut karena katanya ada diskon 50% dengan kartu kredit tertentu (sekarang memang tidak zamannya lagi makan tanpa diskon dari kartu kredit). Lumayan, mungkin satu orang hanya 60 ribu untuk makan sushi sepuasnya. Namun, alangkah kagetnya ketika datang telat kesana (jam 6 lewat) dan sedang mengunyah sashimi pertama, teman saya bilang “Ternyata ini diskonnya cuma 10%, bukan 50%.”

Uhuk. Sashimi yang masih di mulut jadi terasa sangat berat untuk ditelan.

Seratus empat puluh ribu rupiah untuk makan sushi (kena pajak 21%). Sial. Jika tahu begitu, saya tidak jadi ikut saja. Karena saya sangat jarang makan makanan semahal itu dan kalau pernah pun biasanya karena ada event khusus. Lha ini?

Namun harus diakui, saya puas juga makan sashimi malam itu (hampir sepiring penuh yang kalau beli ‘eceran’ mungkin bisa ratusan ribu juga). Dan beberapa menu lain yang memang enak. Tapi kalau memikirkan 140 ribu-nya menjadi sedikit kurang enak.

Dari Crown, saya tidak ikut rombongan yang lain untuk menonton The Forbidden Kingdom. Alasannya saya kurang tertarik menonton film yang intinya hanya ingin mempertemukan Jet Li dan Jackie Chan saja. Lebih baik tunggu film-film buatan Ang Lee atau Zang Yi Mou kalau mau nonton film mandarin (daripada bikinan Hollywood).

Alasan lain adalah, karena malam itu ada konser Sore di Upper Room. Awalnya saya agak malas-malasan datang karena itu bukan konser tunggal Sore, tapi konser Sore bersama d’Cinnamons dan Maliq & the Essentials di sebuah acara anak FEUI. Namun akhirnya saya datang juga karena mendapat tiket gratis dari seorang teman anak gaul Jakarta, yang menjadi panitia.

Tepat sekali timing saya, karena begitu datang, d’Cinnamons sedang akan tampil. Ternyata bagus juga grup yang satu ini meski saat itu tampil tanpa Laut, salah satu personel ceweknya. Sound-nya maksimal, meski itu berkat kualitas akustik Upper Room yang memang wah. Cewek-cewek ber-koor masal di lagu Selamanya Cinta.

Berikutnya adalah band bernama Eight Soul. Ternyata, acara ini adalah babak final lomba band akustik se-Indonesia. Asyik juga band-nya, membawakan lagu R&B a la T-Five campur Glenn Fredly.

Namun alasan saya datang ke konser ini adalah demi melihat Sore, dan Sore menjadi penampil berikutnya malam itu. Setelah lebih dari dua tahun lalu mendengar Centralismo dan beberapa hari sebelumnya membeli Ports of Lima, akhirnya saya melihat juga personel Sore secara langsung. Mereka langsung membesut lagu pertama dari soundtrack Janji Joni, Funk the Hole. Terasa sekali Sore adalah band yang sangat segmented. Terbukti orang-orang di sekitar saya, terutama yang perempuan, malah asyik ngobrol sana sini, sementara saya terpukau dengan Funk the Hole yang super aneh itu.

Lagu berikutnya adalah Pergi Tanpa Pesan dari Berbagi Suami. Wah! Dengan saxophone yang mendayu-dayu, lagu itu betul-betul mengharu-biru Upper Room. Namun lagu-lagu berikutnya yang diambil dari album kedua Ports of Lima (untung saja saya sudah membeli) kurang disambut. Seperti Merintih Perih (keren sekali, agak British Rock), Ernestito, dan lagu berlirik “Mati suri di taman...”

Saya sendiri sangat puas karena akhirnya melihat secara langsung kebrilyanan Sore, walau saya akui, mereka lebih ke band rekaman dibanding band panggung. Karena mereka sangat kuat di konsep musik, tapi aksi panggung cenderung biasa-biasa saja.

Penampil berikutnya adalah Maliq, yang ditunggu-tunggu semua orang, kecuali saya. Begitu mereka tampil, saya langsung menuju ke pintu Upper Room, supaya nanti gampang keluar. Namun ternyata, Maliq adalah band panggung yang sangat solid dengan permainan yang begitu atraktif, terutama sang pemain terompet yang berlari kesana-kemari. Luar biasa sekali aksi panggung mereka. Di lagu pertama, mereka sempat berhenti di tengah lagu, dengan semua personel yang tiba-tiba mematung. Lalu 5 detik kemudian baru mereka melanjutkan lagi, seolah tidak terjadi apa-apa. Efek-nya sungguh keren, meski tidak se-ekstrim Switchfoot yang melakukan trik yang sama di konser di Jakarta awal tahun lalu. Ekstrim, karena jika Maliq melakukannya selama 5 detik, Switchfoot melakukannya selama 2 menit, sampai membuat penonton khawatir, apa yang terjadi dengan mereka.

Saya jadi sadar, bahwa hits Maliq sudah banyak. Karena lagu yang mereka mainkan terkenal semua. Dari Terdiam, Untitled (dengan koor massal tentunya), sampai Heaven dan Dia, yang jadi soundtrack Claudia/Jasmine.

Di lagu terakhir, saya pulang, karena takut antrian keluar dari Annex Building akan sangat panjang nantinya. Alhasil dalam 2 menit saya sudah keluar gedung parkir setelah berputar-putar dari lantai 7B dan langsung menuju rumah karena mata sudah berat dan memang sudah hampir tengah malam.

Hari yang panjang. Kekesalan harus membayar seratus empat puluh ribu rupiah untuk sushi terbayar karena menyaksikan konser keren malam itu, gratis.


- thanks to Jozef Thenu and Tania Pranata



Wednesday, April 9, 2008

Cecilia, Robbie, dan Briony



Sebetulnya saya tidak mempersiapkan diri untuk menonton sesuatu yang non linear. Namun cerita sederhana film ini mempunyai struktur yang cukup kompleks. Ber-alur maju mundur, dan adegan-adegannya bisa diulang dua kali dengan sudut pandang berbeda.

Awalnya tentu kita mengira bahwa Cecilia dan Robbie adalah tokoh sentral film ini, sebagaimana film ini dimulai. Namun ternyata kita keliru, dan alur yang disodorkan pun menjadi terasa logis dengan perkembangan cerita yang ke arah sana.

Sampai film mencapai setengah durasi, saya masih belum mengerti mengapa film ini berjudul Atonement. Namun ketika kebenaran sudah terungkap, dan kepingan puzzle itu sudah menyatu dengan baik di kepala kita, cerita Atonement berubah dari sekadar melodrama, menjadi sebuah cerita yang megah dan abadi. Judul Atonement pun menjadi terasa pas, meskipun tidak ada setting gereja sama sekali (mengingat artinya yang erat dengan doktrin Kristiani).

Kiera Knightley bermain sungguh cantik sebagai Cee (dengan gaun hijau yang terkenal) dan mempunyai chemistry yang sangat terasa dengan James McAvoy. Satu-satunya alasan dia tidak mendapat nominasi Oscar adalah karena dia tidak punya Oscar worthy scene seperti Saoirse Ronan sebagai Briony: “Yes, I saw him. I saw him with my own eyes.”

Gambar-gambar Atonement indah berkilauan dengan editing yang sungguh menyenangkan untuk dilihat. Sebetulnya cukup beresiko juga menggunakan editing cepat dan ber-ritme semacam itu untuk cerita semacam ini. Namun itu termasuk faktor paling menarik dari Atonement.

Dan, yang tidak boleh lupa untuk disinggung adalah: musik. Film ini betul-betul mendapat jiwanya dari musik Dario Marianelli. Piano dan biola repetitif dengan melodi yang haunting, namun tetap berada di background. Menurut saya, score-nya ada diantara The Hours dan Finding Neverland.

Ada satu adegan di tengah film yang berdurasi hampir lima menit tanpa cut sekalipun. Yang membuat takjub, adegan tersebut melibatkan banyak sekali aktor (mungkin ada seribu), dan pergerakan kamera yang sangat dinamis namun rapih. Di imdb.com tertulis bahwa sang kameraman awalnya naik dolly track, lalu jalan, lalu naik becak, dan akhirnya naik ke railing lagi. Adegan yang hanya memerlukan 4 take ini konon tidak direncanakan (dengan satu kamera) dan 'terpaksa' dipakai karena keterbatasan waktu. Tapi itu jadi salah satu shot yang paling berkesan.

Sekarang saya baru mengerti bahwa Golden Globe punya semua alasan untuk memilih Atonement sebagai film terbaik. Sebuah adaptasi yang sangat berhasil.