Tiga tahun yang lalu ada sebuah page di petitiononline yang berisi tuntutan agar fiskal dihapuskan. Ada juga posting di blog terkenal yang membahas masalah ini dan mengajak orang-orang untuk 'menandatangani' petisi itu.
Lalu ada sebuah berita di koran yang mengatakan bahwa fiskal akan dihapuskan pada tahun 2010, namun dengan embel-embel: ketika sudah ditemukan sumber pendapatan lainnya.
Apakah betul?
Awalnya, fiskal diberlakukan pada pemerintahan Soeharto (oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro) untuk mencegah devisa lari ke luar negeri. Tapi setelah bertahun-tahun diterapkan, ternyata tidak berefek apa-apa. Tetap banyak orang yang sering ke luar negeri, meskipun hanya yang kaya-kaya saja.
Saya pribadi sangat benci dengan komentar Jero Wacik (Menteri Pariwisata) tentang masalah ini: "Jika fiskal dihapuskan, akan semakin banyak orang yang dananya pas-pasan pergi ke luar negeri." Kesannya orang-orang yang dananya pas-pasan tidak berhak untuk melihat dunia luar dan harus terkungkung dan puas dengan berlibur di dalam negeri (suatu hal yang pada akhirnya berubah. Karena percayalah, lebih murah pergi ke Singapura (termasuk fiskal, lewat Batam) daripada ke Ambon tanpa fiskal).
Padahal, Kwik Kian Gie pernah bilang bahwa fiskal luar negeri itu sangat memberatkan pengusaha ekspor kelas menengah yang harus sering bepergian ke luar negeri. Yang akhirnya akan mengurangi pendapatan negara juga, karena justru sumber pendapatan adalah dari ekspor, bukan dari pajak.
Lagipula, fiskal yang 1 juta lewat udara dan 500 ribu lewat laut itu dirasa sudah tidak masuk akal, apalagi jika dibandingkan dengan tiket pesawat yang semakin murah. Jika memang perlu memberlakukan pungutan, rasanya jumlahnya harus dikaji lagi.
Tapi ada sesuatu yang aneh. Pernah disebutkan bahwa fiskal sebetulnya adalah pembayaran wajib pajak dimuka. Yang mana berarti bila kita melakukan dua kali perjalanan ke luar negeri dalam setahun dan membayar fiskal 2 juta, maka pada akhir tahun, ketika kita membayar pajak, jumlahnya akan dikurangi 2 juta. Jadi, sebetulnya pendapatan dari fiskal yang mencapai 1,2 triliun per tahun itu bukan sumber pendapatan baru, melainkan pajak yang dibayar dimuka.
Namun saya pribadi kurang mengerti hal ini. Karena saya tidak yakin perjalanan saya ke Malaysia dan Singapura tahun lalu akan diperhitungkan ke PPh saya (yang dipotong dari gaji setiap bulan). Atau yang dimaksud adalah pajak yang lain? Entahlah.
Tahun lalu ada satu berita yang (seharusnya tidak) mengejutkan. Diberitakan bahwa penerimaan fiskal yang hilang mencapai Rp1 triliun sepanjang tahun 2004 sampai 2006. Yang berarti bahwa ada perbedaan 1 juta orang antara penumpang yang pergi ke luar negeri, dan yang membayar fiskal.
Ini diluar orang-orang yang memang mendapat bebas fiskal seperti diplomat dan orang-orang yang pergi untuk misi kesenian. Namun 1 juta orang itu adalah orang-orang yang membayar fiskal, namun dibuat seolah-olah masuk ke dalam kategori itu dan mendapat bebas fiskal.
Gila juga kalau dipikir-pikir. Setiap lima orang yang fiskal-nya digelapkan, petugas akan langsung mendapat lima juta. Cash. Namun tentunya ini ada organisasinya juga. Dan organisasi itu pasti ada induknya. Entah itu berhubungan dengan Perekonomian atau Pariwisata.
Tapi okelah, kalau memang mereka masih ngotot bahwa fiskal itu penting untuk penerimaan negara, mari kita telaah apa yang akan terjadi bila fiskal dihapuskan (terlepas dari petugas-petugas fiskal yang menjerit karena kehilangan pohon uang).
Katakanlah orang-orang yang bepergian ke luar negeri melonjak tiga kali lipat. Namun, tentunya devisa yang hilang tidak tiga kali lipat juga, karena ingat, pertambahan penumpang adalah dari masyarakat kelas menengah ke bawah, yang tentunya tidak akan menghamburkan uang sebanyak orang yang selama ini sering ke luar negeri.
Itu memang segi negatif-nya. Tapi mari kita lihat segi yang lain. Orang-orang yang tadinya hanya bisa keluar negeri dalam mimpi, tiba-tiba bisa berkunjung ke (setidaknya) negara tetangga. Ini bisa merubah cara pikir orang, dan menambah wawasan. Terlebih, ini bisa membuat orang merasa menjadi bagian dari Asia Tenggara, dan bisa membandingkan sendiri, keadaan negaranya dan negara-negara tetangga.
Dari segi pariwisata, memang akan banyak orang Indonesia yang berpelesiran ke luar negeri (bayangkan ramainya Singapura nanti). Namun dengan begitu, pariwisata dalam negeri akan menyadari keadaannya, dan akan berbenah supaya orang (asing dan lokal) mau ber-wisata disana. Ini nantinya akan meningkatkan kualitas pariwisata Indonesia juga. Di tambah lagi dengan promosi gratis oleh orang-orang Indonesia yang pergi ke luar negeri.
Ekspor pun akan bertambah karena pengusaha-pengusaha menengah melihat pasar baru setelah jalan-jalan ke luar negeri. Mereka juga bisa sering-sering keluar negeri untuk tujuan bisnis. Dan kita juga bisa menyerap ilmu dengan lebih mudah, seperti misalnya untuk menghadiri seminar-seminar di luar negeri.
Pada akhirnya, devisa yang hilang itu akan kembali berkali-kali lipat, dan bayangkan bangganya orang-orang yang selama ini hanya mampu melihat Borobudur dan Bali, tapi akhirnya bisa melihat Angkor Wat dan Krabi.
Namun pada akhirnya tentu saja organisasi penyerap kebocoran fiskal itu akan menyuarakan protes sekeras-kerasnya. Bayangkan saja berapa pemasukan mereka yang akan hilang nantinya jika pohon uang sudah ditebang. Jadi sebaiknya kita jangan terlalu berharap.
Tapi mungkin nggak fiskal dihapus?
Mungkin sih.
Tapi..
No comments:
Post a Comment