A media for recording my trips, my thoughts, my reviews, and my everyday life.
Wednesday, December 14, 2011
Tentang FFI
Tahun ini, dibentuk Komite Nominasi Film Bioskop yang berbeda tim-nya untuk setiap kategori. Sehingga setiap komite akan menentukan nominasi berdasar semua film yang terdaftar dan memang kuat di kategori tersebut. Academy Awards pun memakai sistem ini meski dengan skala lebih besar (tidak hanya komite beranggotakan 3-4 orang saja), tapi seluruh pemenang lampau dari kategori tersebut.
Saya terus terang sudah kurang tertarik dengan FFI setelah penyelenggaraannya dari tahun 2004 (semenjak vakum) tidak pernah beres. Mulai dari format acara yang dibuat seperti acara musik populer, sampai ke daftar nominasi yang patut dipertanyakan kredibilitasnya.
Ini sudah terjadi sejak 2005 ketika Hanung Brahmantyo menang sebagai Sutradara Terbaik lewat film Brownies, sebuah film yang sangat membosankan dan penuh dialog klise, meski secara kualitas produksi masih unggul. Lalu tentu saja insiden Ekskul yang menjadi film terbaik tahun 2006, namun lantas dicabut karena terbukti memakai komposisi musik dari film lain tanpa izin.
Itu adalah titik terendah FFI, karena di tahun yang punya film sekaliber Opera Jawa dan Berbagai Suami, FFI malah memenangkan film yang kurang terdengar kualitasnya seperti Ekskul.
Tahun-tahun berikutnya, FFI mulai membaik dengan memenangkan film Nagabonar Jadi 2 (2007) dan Fiksi.(2008). Meski cukup jelas bahwa film terbaik tahun 2007 adalah Kala. Juri FFI sepertinya masih belum terbuka terhadap film dengan genre fantastik. Meski Academy Awards pun jarang sekali memenangkan film dengan kategori ini.
Tahun 2009 FFI kembali turun. Film Terbaik jatuh kepada Identitas, film yang menurut saya kurang berhasil. Padahal di tahun itu ada Pintu Terlarang yang brilian, Mereka Bilang, Saya Monyet yang artistik, dan juga film keluarga Garuda di Dadaku dan King yang memuaskan.
Dan hal ini terulang di 2010 ketika peraih piala Citra didominasi oleh film-film berjudul 3 Hari 2 Dunia 1 Cinta dan 7 Hari 7 Cinta 7 Wanita, yang keduanya secara tema tidak orisinil. Maka dari itu saya berharap banyak bahwa pergantian sistem akan membawa objektivitas lebih tinggi dalam penentuan nominasi dan pemenang.
Dan hasilnya?
Saya pribadi cukup puas. Secara garis besar, mereka berhasil memberikan nominasi ke film-film yang memang unggul di kategorinya, meski saya ragu apakah Surat Kecil Untuk Tuhan dan Masih Bukan Cinta Biasa layak mendapat nominasi sebanyak itu. Dan menurut saya, Tendangan Dari Langit adalah film yang mengecewakan.
Jika saya menjadi juri tunggal, 5 film terbaik tahun ini adalah (tanpa urutan tertentu):
Catatan Harian si Boy
Sang Penari
Tanda Tanya
Lima Elang
The Mirror Never Lies
*dengan catatan saya belum sempat menonton Jakarta Maghrib, Pengejar Angin, dan Rindu Purnama.
Semoga 2012 adalah tahun yang baik untuk film Indonesia dan untuk FFI!
Monday, September 5, 2011
Review: Tendangan Dari Langit
Saturday, August 1, 2009
Tentang Pixar
Tapi di luar kasus itu, Pixar selalu sukses dalam membuat animasi-animasi terbaik dengan Finding Nemo, The Incredibles, Ratatouille, WALL-E, dan yang paling gres, Up. Semula saya mengira bahwa film-film tersebut disutradarai oleh orang yang sama. Ternyata berbeda, walaupun hanya ada 3 orang, yaitu: Brad Bird (The Incredibles, Ratatouille), Andrew Stanton (Finding Nemo, WALL-E), dan Peter Docter (Up dan juga Monsters, Inc.).
Secara visual pun Pixar terus berkembang. Kita sudah melihat dunia laut yang terlihat sangat nyata, keluarga superhero dalam full-action yang kocak, tikus lucu di kota Paris, robot yang jatuh cinta di bumi yang hancur, dan terakhir, bapak tua dan anak pramuka yang berpetualang naik rumah yang diikat balon udara. Menonton film-film Pixar seringkali membuat saya lupa bahwa yang saya tonton adalah gambar animasi.
Namun sebetulnya, kekuatan Pixar bukan terletak pada gambarnya. Kalau kekuatannya (hanya) pada gambar, lihat kasusnya pada Final Fantasy: The Spirit Within. Film itu memakan biaya sangat besar untuk membuat karakter manusianya terlihat seperti sungguhan (dan memang, salah satu karakternya hampir terlihat nyata). Namun The Spirit Within adalah film yang sangat membosankan dari segi cerita, dan semua gambar-gambar canggih itu jadi mubazir. Lain halnya dengan Pixar yang beberapa filmnya bahkan dinominasikan untuk Best Screenplay di ajang Oscar.
Dan di dalam cerita dari film-film Pixar yang luar biasa itu, ada komponen yang paling penting yang menentukan kesuksesan film-filmnya selama ini: all Pixar movie comes with a heart. Butuh penguasaan yang baik untuk menyampaikan pesan moral tanpa bersikap menggurui. Dan Pixar bahkan dapat menyampaikan itu semua dengan cara yang so sweet dan lucu.
Terakhir, saya mau komen tentang film 3D pertama Pixar, yaitu Up. Sementara film-film 3D lain yang sedang booming pasti mengeksploitasi habis-habisan efek 3D seperti antara lain melempar piring ke arah penonton, Up menggunakan 3D untuk memperkuat cerita. Efek 3D saat adegan di Paradise Falls membuat adegan itu menjadi sangat indah. Dan juga banyak shot jauh dimana Russell dan Carl terlihat dekat dengan kita dengan latar belakang jauh disana.
Namun, tanpa 3D pun, Up adalah film pertama tahun ini yang membuat saya begitu senang dan puas ketika keluar dari bioskop. Bahkan sampai saat ini pun saya masih tersenyum jika mengingatnya. Dan ringtone SMS saya saat ini adalah suara bel, suara pintu dibuka, lalu Russell menyapa (sambil membaca): "Good afternoon! Are you in need of any assistance today, sir?"
Wednesday, May 27, 2009
3 Outstanding Films I Rented
Edward Scissorhands
This Frankenstein tale from Tim Burton may have misleading poster. I myself thought that it is a horror flick. But Edward Scissorhands is, hopefully it's right to say, safe for children. The character is adorable (though pitiful), the story is full of imagination (the story begins with a children asking "Grandma, where does snow come from?"), and the visual is jut great. One of Tim Burton's masterpiece.
Into The Wild
This biopic about Chris McCandless is very enjoyable to watch and brings out the anti-capitalism spirit within us. It uses the Shawshank Redemption approach where the naration about the main character is spoken by a supporting character, hence making the main character mysterious. The script somewhat has no structure kind of feeling (just follow his journey) but it's not boring. And I have to mention the music by Eddie Vedder which is an integral part of the storytelling. Great adaptation.
The Reader
We may familiar with a NAZI film like Schindler's List or The Pianist. But this one is different. The Reader is about a relationship between a law student and an ex SS guard. It raises questions such as, if your loving parents were killing people at the concentration camp, could you love them still? Are they guilty? This is heavy stuff hidden in a hot sexual relationship of a couple from two different generation. I like Stephen Daldry for The Hours alone. With The Reader, I think he'll become one of my favorite directors. And Kate Winslet deserves her Oscar.
Saturday, May 2, 2009
The Jak Anjing, Viking Anjing
Ketika memutuskan untuk menonton Romeo Juliet, saya sudah lupa sebagian besar dari lakon Shakespeare ini. Hanya bagian permusuhan dua keluarga saja, dimana sang anak saling jatuh cinta, yang saya ingat. Jadi saya menonton tanpa harapan bahwa Andibachtiar Yusuf akan mengadaptasi lakon itu mentah-mentah ke dalam film tentang kebrutalan supporter sepak bola ini.
Film dibuka dengan sebuah bentrokan antara The Jak dan Viking, yang begitu realistisnya sampai-sampai saya mengira itu adalah sebuah dokumenter (walaupun mungkin sebagian footage-nya memang sungguhan). Inilah kali pertama Rangga (Edo Borne), supporter Persija, dan Desi (Sissy Prescillia), supporter PERSIB bertemu, dan, ya, mereka jatuh cinta.
Tidak ada adegan balkon di film ini, dan saya kurang yakin apakah Agus (Ramon Y Tungka) adalah Mercutio. Namun harus saya akui bahwa pemilihan adaptasi Romeo and Juliet untuk menceritakan tentang permusuhan The Jak dan Viking adalah ide yang brilian.
Film mengalir dengan baik, dengan tata kamera yang tidak malas bereksplorasi, walaupun kadang-kadang pergerakan kamera handheld pada adegan-adegan perkelahian agak berlebihan dan memusingkan.
Warna di film ini dibagi dua mengikuti lokasi. Adegan-adegan di Jakarta untuk The Jak berwarna jingga, dan adegan-adegan di Bandung untuk Viking berwarna kebiruan. Bahkan di beberapa adegan, untuk lebih mengangkat hal ini, gambar dibuat hitam putih, lalu bagian-bagian tertentu diwarnai dengan warna biru. Sedangkan untuk adegan akhir, kalau saya tidak salah, warna dibuat netral.
Cerita sangat menarik di awal sampai ke tengah. Kita sangat terlibat dalam kisah cinta 'terlarang' antara Rangga dan Desi, yang diperankan cukup baik oleh Edo Borne dan Sissy Prescillia. Ramon Y. Tungka seperti biasa, overacting, namun saya akui tokoh Agus cukup memberi warna untuk film ini dan sangat sering memicu tawa penonton dengan celotehannya.
Namun babak ketiga film ini agak kedodoran dan konflik seakan sudah habis. Saya kehilangan atensi di sepertiga terakhir film ini, meskipun adegan percintaan antara Edo dan Sissy, yang di cut-to-cut dengan massa di stadion adalah adegan yang bagus dan sarat makna.
Apakah ending tetap mengikuti lakon asli dimana Juliet meminum racun bohongan untuk pura-pura mati, lalu Romeo meminum racun sungguhan, dan akhirnya Juliet menusuk dirinya sendiri dengan pisau Romeo? Well, yang pasti, tidak ada racun di film ini. Namun tentunya happy ending tidak mungkin terjadi di film adaptasi Romeo and Juliet bukan? Karena itu adalah esensinya. Maka itu saya kurang suka crazy credit di akhir film.
Perlu dipertanyakan apakah dentingan piano overdramatic dari Ananda Sukarlan (yang membuat saya kecewa karena mengharapkan sesuatu yang lebih classical dari dia) adalah score yang tepat untuk film brutal ini. Termasuk lagu bernuansa opera yang dinyanyikan Bernadeta Astari dan Joseph Kristanto, yang mengingatkan saya akan lagu serupa di Biola Tak Berdawai. Hanya saja lagu garapan Addie MS lebih membekas.
Jika Upi pernah memberi pernyataan bahwa Radit dan Jani adalah film yang brutally romantic, sekarang rasanya pernyataan itu lebih cocok diberikan kepada Romeo Juliet, sebuah film penting yang tidak pernah kita lihat sebelumnya, yang membuka mata orang-orang yang tidak mengetahui seluk beluk supporter sepak bola Indonesia, termasuk orang-orang Indonesia sendiri, dan dibungkus dengan kemasan yang cukup menjual melalui adaptasi lakon super terkenal.
Rangga (menatap Desi dalam-dalam): Viking anjing..
Desi (menatap Rangga dalam-dalam): The Jak anjing..
Blok M Square 21, Jumat, 1 Mei 2009, 19.00 (bioskop seperti Plaza Senayan XXI dengan skala lebih kecil dan harga tiket luar biasa murah).
Sunday, November 30, 2008
Babi Buta yang Ingin Terbang
Babi Buta secara singkat bercerita tentang bagaimana rasanya menjadi orang Cina di Indonesia. Tanpa struktur yang jelas dan cerita berpindah-pindah dari masa kecil Linda (Ladya Cheryl), masa dewasa, dan diselingi dengan gambaran metafora seekor babi yang diikat ke sebuah batang pohon.
Begitu banyak yang bisa kita diskusikan mengenai film ini. Termasuk adegan disturbing oleh Joko Anwar, Pong Harjatmo, dan Wicaksono. Adegan apa itu, lebih baik ditonton sendiri. Hampir pasti, film ini tidak akan pernah diputar di bioskop di Indonesia (selain Kineforum tentunya). Selain muatan politis yang sangat berani, juga karena adegan disturbing itu tadi.
Cerita berjalan dengan subtle dan minim dialog. Sejak adegan pembuka yang berupa pertandingan internasional bulu tangkis Indonesia lawan China dengan angle statis dan hampir slow motion tanpa suara (hanya suara raket saja yang kita dengar), kita tahu bahwa ini bukan film Indonesia pada umumnya. Apalagi setelah mendengar dialog komentar seorang anak yang sedang menonton pertandingan itu: "Yang Indonesia yang mana?".
Sebuah lagu dari Stevie Wonder yang dinyanyikan ulang oleh Ramondo Gascaro dari Sore, diputar terus menerus sepanjang film ini. Mungkin saya perlu menyelidiki lebih jauh liriknya ( Saya baru saja ingin menelepon untuk bilang saya cinta kamu.. ) untuk menemukan hubungannya dengan cerita.
Awalnya saya tidak menyadari arti dari judul film ini. Namun Babi Buta itu paling mungkin mengacu pada karakter Halim (Pong Harjatmo) yang buta karena mengoperasi sendiri matanya agar terlihat lebih lebar, dan bermimpi untuk mendapatkan Green Card Lottery agar bisa terbang ke Amerika.
Ibunya, Verawati (pemain bulu tangkis di adegan pembuka tadi), pasrah saja dengan kondisinya. Ia berhenti bermain karena kehilangan identitas sebagai pemain Indonesia. Sehari-hari hanya membuat pangsit saja di rumah.
Namun Linda (Ladya Cheryl) tidak ambil pusing dengan keadaan orang tuanya. Ia lebih suka bermain petasan dengan temannya, Cahyono, seorang Jepang-Menado yang suka dipukuli teman-teman sekolahnya, hanya karena dia mirip orang Cina. Dan juga mengobrol dengan Opanya sambil bermain biliar.
Awalnya saya kurang mengerti arti dan tujuan dari adegan disturbing yang saya sebut di awal, termasuk seluruh subplot tentang Helmi dan Yahya. Namun ternyata adegan itu (dan karakter Helmi dan Yahya) cukup krusial dan menjadi metaphora dari keadaan yang sesungguhnya.
Babi Buta mengangkat isu-isu sensitif ke permukaan, tanpa menjadi terlalu politis. Namun ini bukan untuk penonton Indonesia pada umumnya. Saya rasa, Babi Buta lebih cocok ditonton oleh filmmaker-filmmaker lokal sebagai acuan bagaimana caranya mengangkat tema yang personal dan sensitif menjadi sebuah cerita yang menarik dan memiliki nilai estetis yang tinggi, lalu mengemasnya menjadi film yang lebih public friendly.
Babi Buta, salah satu film Indonesia terpenting yang pernah dibuat.
Bravo, Edwin!
Babi Buta yang Ingin Terbang
Sabtu, 22 November 2008
Kineforum, TIM
Sunday, November 9, 2008
Gara-Gara Judi Bola
Tiba-tiba saja, Kalyana Shira mempunyai divisi bernama Happy Ending Pictures (yang mudah-mudahan film-filmnya tidak berakhir bahagia semua). Ok, mungkin tidak tiba-tiba. Tapi apakah perlu sampai membuat label baru untuk jenis film-film yang berbeda? Mungkin ya mungkin tidak.
Happy Ending Pictures memulai debutnya dengan Gara-Gara Bola, sebuah film yang, percayalah, sama sekali bukan tentang sepak bola. Perlu dipertanyakan juga, apa yang menyebabkan judul itu dipilih dan mengapa design judulnya mengikuti logo tabloid Bola.
Namun yang paling menyesatkan tentu adalah posternya. Saya yakin, semua penonton yang menonton film ini karena terpancing posternya, akan kecewa. Mereka pasti berharap menonton film semacam Bend It Like Beckham atau malah mungkin Shaolin Soccer versi Indonesia. Namun adegan lapangan hijau yang mereka dapatkan hanyalah pada adegan pembuka yang kurang signifikan.
Selebihnya? Tidak jauh-jauh dari uang, judi, banci, dan tentunya, sex. Namun apakah berarti Gara-Gara Bola film yang tidak berhasil? Tidak juga.
Cerita berputar di sekitar Heru (Junot) dimana dia tiba-tiba mempunyai hutang dua puluh juta karena kebodohan sobatnya, Ahmad (Winky). Lalu, dia terlibat hubungan cinta yang panas dengan anak dari bos mafia perjudian. Belum lagi dia dipecat oleh manager-nya di Bakmi Yona (yang suka menilep keuntungan jual bakmi untuk membuat album dangdut) karena jarang masuk kerja dan sering kasbon untuk bayar kos. Padahal, ayah Heru adalah pemegang saham Bakmi Yona.
Timeline yang hanya satu hari (mungkin kurang) dan dengan flashback-flashback yang singkat dan tiba-tiba, membuat film ini mempunyai ritme yang berbeda dibanding kebanyakan film lokal saat ini. Namun di bagian-bagian tertentu, film ini kurang bertutur dengan baik, seperti ketika memberi flashback pada adegan pencurian. Efeknya tidak terasa seperti ketika menonton Ocean's 11, tetapi hanya, lho, bukannya tadi memang begitu?
Pengaruh Joko Anwar kental sekali di film ini, termasuk ciri khas-nya seperti di permulaan film: "Ada tiga tipe penggemar bola. Yang suka main, suka nonton, dan suka judi bola". Sebetulnya lama-lama bosan juga dengan pengulangan seperti ini.
Winky dan Junot bermain cukup bagus. Terutama Winky dengan gaya rambut yang cukup mengganggu. Namun penampilan terbaik datang dari pemeran-pemeran pembantu seperti Indra Herlambang (sebagai penagih hutang galak namun manja) dan Farishad Latjuba (sebagai penagih hutang bersuara dalam dan berat). Cukup mengejutkan juga melihat Farishad di film ini. Karena setahu saya dia adalah sineas film pendek, bukan aktor.
Aida Nurmala pun meninggalkan akting kaku dan berlebihan di Arisan dan berubah menjadi cewek simpanan/manajer Bakmi Yona yang saking inginnya menjadi penyanyi dangdut terkenal, rela dipakai oleh produsernya dan mendiskon CD dangdutnya menjadi sepuluh ribu saja. Sedangkan disini Amink tetap menjadi Amink di Extravaganza (bukan sesuatu yang buruk juga sebetulnya).
Kejutan terbesar film ini adalah di pendatang baru Laura Basuki yang mungkin akan menjadi bahan pembicaraan orang-orang. Kemunculan pertama dia di film ini adalah pada adegan ciuman panas antara dia dan Junot. Sesuatu yang paradoks karena karakter Laura (ya, nama perannya juga Laura) adalah anak sekolah lugu yang polos.
Jika di film lain sesuatu yang serba kebetulan adalah menyebalkan, disini kebetulan itu menjadi sesuatu yang menyenangkan dan kocak. Akhir film yang seperti itu cukup memuaskan penonton, apalagi ditambah video klip Merem Melek oleh Mieke Asmara.
Saya kurang mengetahui tentang duo sutradara/penulis Agasyah Karim dan Khalid Kashogi. Tentang mengapa mereka menyutradarai film ini berdua, dan mengapa mereka memilih untuk diberi kredit dengan nama Karim/Kashogi. Namun yang pasti saya akan menanti-nantikan komedi berikut dari mereka.
Blok M 21, Studio 6, 17.45, H6
Monday, September 29, 2008
Laskar Pelangi: My Review
Saya langsung berpikir, apakah Riri Riza mulai ingin mengikuti trend mengadaptasi buku, terutama karena sebulan sebelumnya Hanung Brahmantyo sukses besar lewat Ayat-Ayat Cinta. Namun saya tetap berpikir positif dan seperti biasa tetap menanti-nantikan film berikut dari salah satu sutradara favorit saya ini.
Bulan lalu, berita tentang film ini mulai banyak dibicarakan, dan akhirnya saya tahu bahwa film ini adalah tentang anak-anak sekolah di Belitung, atau seperti pengucapan lokalnya, Belitong (gara-gara novel ini, semua tulisan "Belitung" di Kampung Gantung diganti menjadi "Belitong". Dan Kampung Gantung menjadi "Kampong Gantong").
Harapan saya mulai bangkit untuk sebuah film anak-anak yang sangat Indonesia (setelah Riri kurang berhasil lewat Untuk Rena), dan seperti biasa, film yang bukan semata-mata untuk mengeruk keuntungan seperti yang dilakukan pengusaha dari India itu, tetapi film yang membawa pesan.
Namun harapan itu sempat jatuh sedikit ketika saya tahu Riri mempercayakan penulisan naskah kepada Salman Aristo. Menurut saya Salman bukan penulis skenario yang buruk, namun saya lebih menyukai jika Riri menulis sendiri skenarionya berdasarkan buku tersebut. Karena akan lebih personal.
Sebetulnya apa yang diharapkan oleh seorang pembaca buku jika buku favoritnya dibuat menjadi film? Apakah ia mengharapkan bahwa filmnya harus sama persis dengan bukunya? Jika benar begitu, maka sesungguhnya film tersebut tidak perlu dibuat.
Namun Riri dan tim-nya berhasil mengambil esensi dan inti dari Laskar Pelangi dan menterjemahkannya menjadi bentuk film. Salah satu contoh konkrit-nya adalah dengan memunculkan tokoh Pak Zulkarnaen, yang sebetulnya tidak ada di buku, namun dirasa sangat mewakili citra PN Timah dan orang yang berkecukupan di era kejayaan timah tersebut.
Tentang jalan cerita, mungkin dengan mudah didapat dari review atau blog lain. Yang perlu diberi perhatian khusus dari film ini (diluar penyutradaraan dan cerita yang menyentuh) adalah akting dari pemeran-pemerannya dan tata artistik film ini.
10 anak asli Belitong (dipertengahan film bertambah menjadi 11) seperti tidak berakting disini. Ini bersumber pada bakat alami dan penyutradaraan brilian dari Riri Riza. Saya lihat hanya Suhendri (A Kiong) yang masih terlihat berakting, terutama pada adegan dia bersama Lintang dan A Ling. Meski begitu, Kiong tetap mencuri perhatian di setiap adegan, terutama karena dia satu-satunya murid SD Muhamadiyah yang keturunan Cina.
Jika harus memilih anak-anak dengan akting yang sungguh potensial, mereka adalah Verrys Yamarno (Mahar) dan Zulfanny (Ikal). Perhatikan betul-betul ketika Mahar mempersiapkan tarian untuk karnaval dan Ikal ketika bertemu A Ling.
Dari jajaran aktor dewasa, Cut Mini (Bu Mus) dan Ikranagara (Pak Harfan) adalah yang paling cemerlang, dan mendapat porsi paling banyak juga. Akting berlebihan ditampilkan oleh Matias Muchus; dan Robby Tumewu adalah cameo favorit saya di film ini.
Sebetulnya ada satu lagi karakter dalam Laskar Pelangi, yaitu Pulau Belitong itu sendiri. Meski keindahan pantainya tidak tereksplorasi dengan baik, namun rasanya saya sudah bisa cukup memastikan bahwa pariwisata Belitong akan melonjak setelah film ini beredar. Akan banyak orang-orang yang ingin melihat batu-batu besar di pantai tempat Laskar Pelangi melihat pelangi, dan juga replika SD Muhamadiyah yang dibangun oleh tim tata artistik film ini, yang saya harap belum dirubuhkan. Mudah-mudahan juga itu semua tidak lantas menjadikan Belitong menjadi terlalu komersil seperti Bali.
Laskar Pelangi bukan tanpa kelemahan. Seperti ketidakfokusan cerita karena banyaknya karakter, dan juga subplot tidak jelas mengenai Mahar dan ketertarikannya dengan dunia okultisme dengan mengajak anggota Laskar Pelangi untuk pergi ke dukun, dan adegan dengan buaya yang kurang banyak mendapat porsi long-shot (mungkin demi keselamatan Ferdian), sehingga adegan tersebut kurang berhasil. Namun itu semua tidak ada artinya dibanding kelebihan film ini yang membuat 4 film lokal lain yang dirilis berbarengan (untuk mengambil momen Lebaran) terlihat seperti batu-batu besar yang mengelilingi pelangi.
Sempat terbersit juga pertanyaan, apakah film ini akan sukses besar? Atau nasibnya akan seperti Untuk Rena? Tanggal 26 kemarin pertanyaan itu terjawab. Sepertinya, Laskar Pelangi akan merobek rekor Ayat-Ayat Cinta sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa. Mengapa?
Sukar juga memulai analisa dari mana. Karena setelah dipikir-pikir, banyak sekali hal-hal yang membuat semua orang ingin menonton film ini.
Faktor-faktornya antara lain:
- pembaca Laskar Pelangi yang ratusan ribu orang itu pasti akan menonton film ini,
- setelah para pembaca itu menonton, mereka pasti akan menceritakannya ke teman-teman mereka dan memaksa mereka untuk nonton,
- faktor poster yang menarik dan sangat berbeda dengan film-film Indonesia yang lain (sejauh ini mungkin kasusnya masih mirip dengan Ayat-Ayat Cinta),
- namun lalu film ini punya judul yang sangat menjual dan tidak se-corny Ayat-Ayat Cinta,
- film ini adalah film tentang anak-anak, dan muncul saat libur puasa. Berbeda dengan Ayat-Ayat Cinta yang lebih untuk orang dewasa, Laskar Pelangi menarik penonton dari segala lapisan umur,
- promosi yang baik dari Miles Production,
- kekosongan film-film blockbuster Hollywood,
- trailer dan foto-foto yang memperlihatkan keindahan pantai di pulau Belitong,
- dan, pada dasarnya, karena Laskar Pelangi adalah film yang berhasil.
Wednesday, April 9, 2008
Cecilia, Robbie, dan Briony
Sebetulnya saya tidak mempersiapkan diri untuk menonton sesuatu yang non linear. Namun cerita sederhana film ini mempunyai struktur yang cukup kompleks. Ber-alur maju mundur, dan adegan-adegannya bisa diulang dua kali dengan sudut pandang berbeda.
Awalnya tentu kita mengira bahwa Cecilia dan Robbie adalah tokoh sentral film ini, sebagaimana film ini dimulai. Namun ternyata kita keliru, dan alur yang disodorkan pun menjadi terasa logis dengan perkembangan cerita yang ke arah sana.
Sampai film mencapai setengah durasi, saya masih belum mengerti mengapa film ini berjudul Atonement. Namun ketika kebenaran sudah terungkap, dan kepingan puzzle itu sudah menyatu dengan baik di kepala kita, cerita Atonement berubah dari sekadar melodrama, menjadi sebuah cerita yang megah dan abadi. Judul Atonement pun menjadi terasa pas, meskipun tidak ada setting gereja sama sekali (mengingat artinya yang erat dengan doktrin Kristiani).
Kiera Knightley bermain sungguh cantik sebagai Cee (dengan gaun hijau yang terkenal) dan mempunyai chemistry yang sangat terasa dengan James McAvoy. Satu-satunya alasan dia tidak mendapat nominasi Oscar adalah karena dia tidak punya Oscar worthy scene seperti Saoirse Ronan sebagai Briony: “Yes, I saw him. I saw him with my own eyes.”
Gambar-gambar Atonement indah berkilauan dengan editing yang sungguh menyenangkan untuk dilihat. Sebetulnya cukup beresiko juga menggunakan editing cepat dan ber-ritme semacam itu untuk cerita semacam ini. Namun itu termasuk faktor paling menarik dari Atonement.
Dan, yang tidak boleh lupa untuk disinggung adalah: musik. Film ini betul-betul mendapat jiwanya dari musik Dario Marianelli. Piano dan biola repetitif dengan melodi yang haunting, namun tetap berada di background. Menurut saya, score-nya ada diantara The Hours dan Finding Neverland.
Ada satu adegan di tengah film yang berdurasi hampir lima menit tanpa cut sekalipun. Yang membuat takjub, adegan tersebut melibatkan banyak sekali aktor (mungkin ada seribu), dan pergerakan kamera yang sangat dinamis namun rapih. Di imdb.com tertulis bahwa sang kameraman awalnya naik dolly track, lalu jalan, lalu naik becak, dan akhirnya naik ke railing lagi. Adegan yang hanya memerlukan 4 take ini konon tidak direncanakan (dengan satu kamera) dan 'terpaksa' dipakai karena keterbatasan waktu. Tapi itu jadi salah satu shot yang paling berkesan.
Sekarang saya baru mengerti bahwa Golden Globe punya semua alasan untuk memilih Atonement sebagai film terbaik. Sebuah adaptasi yang sangat berhasil.
Tuesday, March 4, 2008
Blair Witch Meets Godzilla
Last year, youtube viewers were buzzing about a new trailer film from producer JJ Abrams. The trailer was a handycam shot of a birthday party and really looked like usual videos that are uploaded to youtube.
But then, suddenly, there's an explosion (or something like it), then everything was chaos, and we could see the Liberty statue missing her head. That's it. No title, no further explanation.
I think that was a brilliant marketing campaign. It went to number one film that I want to see this year. But after the film was released, I realized that this film was not for everyone.
Cloverfield is Blair Witch meets Godzilla. It is a film about monster (like a sea creature type of Godzilla), with Blair Witch's documentary style. With extremely shaky camera movement, many audience felt dizzy after watching it.
But not me. I really enjoyed the camera work (which was shot with a high def digital video cameras, and not an actual handycam), and the jump cut editing that is made it to look like a video cassette tape being used for the second time.
Unlike Godzilla, the monster is not the center of attention here. It's just a backdrop, a critic said. And that's what set this film a part from other monster films.
While the cinematography may not be appreciated much (but I do), the visual effects must be. The shakiness of the footage must have been a great trouble for the artists. But they made it. Though the monster have minimal appearance, the chaotic and destroyed Manhattan looks real and frightening (especially for bringing back memories of 9/11).
The film is well acted and though it's kind of felt like there is no plot, the story (or events?) flows. Dialogs are witty and sometimes funny, especially when said by Hud (a character who is mostly 'behind the camera' and can only be heard, not seen).
Though not original, Cloverfield is different. And it's so refreshing to see something different out of Hollywood. I begged for more when the credits rolled (it's only under 90 minutes, which is logical because 90 minutes is the maximum duration of a miniDV tape).
I like it.
Monday, February 11, 2008
The Fall: Visual Edan
Lima orang berjubah warna-warni terdampar di sebuah pulau kecil. Sangat kecil. Lalu seekor binatang darat yang sangat besar, yang tidak biasanya main ke laut, tiba-tiba berenang menyelamatkan mereka.
Itu adalah salah satu adegan dalam film The Fall, film kedua Tarsem Singh setelah The Cell, yang juga gila secara visual.
Mungkin banyak yang kritis dan mengatakan bahwa The Fall hanyalah kumpulan gambar-gambar cantik tanpa plot yang jelas. Namun buktinya saya sangat terbuai dengan ceritanya.
Ber-setting di sebuah rumah sakit, Alexandria, anak 5 tahun yang patah tangannya saat bekerja memetik jeruk, bertemu dengan Roy, seorang stuntman yang patah kaki karena surat untuk suster yang Alexandria 'terbangkan', nyasar dan malah sampai ke Roy.
Roy dan Alexandria bertemu, dan Roy menceritakan sebuah kisah tentang 5 bandit yang bersatu untuk membalas dendam. Alexandria memvisualisasikan cerita itu menggunakan orang-orang yang ada di rumah sakit, termasuk dirinya sendiri dan Roy. Itulah bagian absurd dari film ini yang mencengangkan secara visual.
Mungkin mirip dongeng. Hanya saja dongengnya lebih untuk sisi anak-anak pada diri orang dewasa, daripada untuk anak-anak betulan. Dari segi musik pun film ini megah walau memakai melodi yang sama dan diulang-ulang (memang seharusnya begitu).
Satu hal yang perlu disinggung adalah, ada satu adegan yang sangat membuat bangga orang Indonesia, sekaligus sangat malu, karena kenapa belum ada film Indonesia yang punya adegan itu. Meskipun, sebetulnya perlu disangsikan juga kenapa adegan itu ada, dan apakah benar tari Kecak mempunyai efek menyembuhkan?
Namun nonton film ini nggak perlu mikir sebetulnya. Karena kita terus-menerus dibuai oleh cerita antah berantah yang sangat seru, dan, terutama, gambar-gambar yang spektakuler itu.
Yang membuat saya heran juga adalah, dialog-dialog film ini, terutama percakapan antara Roy dan Alexandria, seolah-olah tidak ada skrip-nya dan diucapkan secara spontan oleh aktor-aktornya. Khususnya si kecil Alexandria, yang aktingnya luar biasa untuk ukuran orang dewasa sekalipun.
Mumpung masih diputar di Blitz, lebih baik nonton segera sebelum menghilang. Tapi anehnya, film ini malah belum dirilis di Amerika. Mungkin masih menunggu waktu rilis yang pas.
Sebuah film alternatif yang sangat baik dari Tarsem Singh.
Wednesday, January 23, 2008
Cerita Pulau, Yogyakarta, Cibinong, dan Jakarta
Pada JiFFest 2007 lalu, panitia melakukan sesuatu yang tidak biasa dengan menempatkan sebuah film lokal sebagai film penutup. Film tersebut adalah sebuah omnibus (kumpulan film pendek) berjudul Chants of Lotus. Saya menonton film ini setelah dirilis secara nasional minggu lalu, karena kehabisan tiket pada waktu diputar di JiFFest. Dan, layakkah film ini menjadi film Indonesia pertama yang menjadi penutup JiFFest?
Empat cerita yang tidak saling berhubungan, namun memiliki satu tema yang kuat tentang perempuan yang menjadi korban. Sebetulnya ada kesan bahwa banyak sekali issue-issue yang mau diangkat ke dalam ke-empat fragmen seperti aborsi, kesulitan daerah terpencil, seks bebas, human trafikking, narkoba, sampai HIV/AIDS. Namun eksekusinya sungguh baik dan skenario apik yang didukung dengan riset membuat filmnya sarat dengan realita.
Setelah Cerita Pulau yang sepi dan lambat (kalau mau jujur, Cerita Pulau adalah yang terlemah dibandingkan yang lain, terutama dari segi aktor pendukung. Namun cukup menyegarkan juga melihat film Indonesia berlatar sebuah pulau dan laut, yang, ironisnya, jarang dieksplorasi oleh sineas di negara kepulauan ini), kita langsung dihentak oleh Cerita Yogyakarta yang ramai, penuh gejolak, dan vulgar. Ritme film seketika berubah dan kita langsung disodorkan cerita tentang siswa-siswa SMU bejat yang 'menggilir' seorang siswi, walaupun sebetulnya cerita berfokus pada Safina, teman siswi yang digilir itu, yang sedang menunggu laki-laki yang tepat untuk melepas keperawanannya.
Terasa sekali Cerita Yogyakarta terpotong gunting sensor secara brutal, dan menyisakan 'luka-luka' dengan potongan-potongan yang kasar. Walaupun sebetulnya saya juga cukup kaget dengan adegan-adegannya karena setting Yogyakarta-nya itu. Dan, setelah kita berkeliling Yogyakarta (yang entah kenapa diiringi lagu berbahasa Jepang), kita dibawa ke sebuah klub dangdut di Cerita Cibinong. Saya harus memberikan kredit untuk Sarah Sechan disini (yang pada awalnya saya nggak ngeh kalau itu dia). Cicih mencuri perhatian di semua adegan, dan saya tidak melihat Sarah Sechan lagi disana. Yang saya lihat adalah penyanyi dangdut heboh dan menor dari Cibinong yang tergabung dalam Trio Dag Dig Dhoer.
Ada beberapa adegan disini yang mirip adegan di Dreamgirls, namun ceritanya tidak difokuskan kesana. Cerita berfokus pada Esi (diperankan dengan sangat baik oleh Shanty, yang saya rasa semakin meninggalkan karirnya sebagai penyanyi karena dalam waktu singkat filmografinya sudah luar biasa) dan anaknya yang kabur dari rumah pacarnya, karena suatu insiden pelecehan seksual. Didukung oleh pemeran-pemeran lain yang semuanya berakting bagus (mungkin karena arahan Nia diNata), film ini menjadi begitu solid dan menghibur, meskipun tragis.
Dan, setelah cerita Esi dan Cicih (yang sepenuhnya dalam bahasa Sunda), tiba-tiba saja kita melihat Winky Wiryawan dalam satu adegan yang mungkin adalah cameo terseram dan tersakaw yang pernah ada. Cerita Jakarta berpusat pada Laksmi (Susan Bachtiar), dan anaknya, Bebe, dalam kisah yang mengangkat issue HIV/AIDS dan perkawinan campur Jawa-Tionghoa yang tidak direstui. Cerita tidak dimulai dari awal, tapi dari menjelang akhir, walaupun kita bisa mengira-ngira sendiri, cerita sebelumnya seperti apa.
Penampilan perdana Susan Bachtiar cukup impresif dan, ehm, terlihat sangat cantik. Dengan dialog minim, aktingnya natural dan tidak berlebihan. Cerita Jakarta adalah penutup dari Perempuan Punya Cerita (pasti Nia diNata yang memberi judul ini, karena dia bisa merangkai kata-kata yang awalnya terdengar aneh seperti Berbagi Suami menjadi judul yang bagus dan memang pas).
Jadi, apakah Perempuan Punya Cerita a.k.a. Chants of Lotus (lotus?) layak untuk menjadi penutup JiFFest tahun lalu? Sebetulnya Opera Jawa lebih pas untuk menjadi film pertama yang menjadi penutup JiFFest, mengingat prestasinya yang luar biasa. Namun Perempuan Punya Cerita adalah film yang penting. Dan menjadi penutup JiFFest semakin mengukuhkan pentingnya film ini.
Sunday, January 6, 2008
The Golden Compass
Ternyata, filmnya.. kurang bagus. Sangat mengecewakan lebih tepatnya. Entah adaptasi-nya atau memang bukunya sendiri yang kurang bagus.
Inilah contoh dimana efek visual dan tata suara yang mencengangkan tidak dapat membuat film menjadi mencengangkan juga kalau ceritanya memang biasa-biasa saja.
Sebetulnya The Golden Compass tidak terlalu membosankan (karena didukung efek visual itu tadi mungkin). Tapi kita tidak terlalu tertarik dengan ceritanya, dan kita jadi tidak begitu peduli dengan tokoh utamanya, Lyra. Istilah kerennya, kita tidak emotionally attached.
Memang, saya harus akui, saya agak a priori dengan film ini karena pesannya yang atheist. But I think I'm objective enough with my opinion. Mungkin kalau disutradarai oleh Peter Jackson film ini akan lebih enganging. Sebagaimana kita sangat peduli dengan Frodo dan cincin-nya.
Tapi, kalau ingin melihat polar bear fight yang sangat real (walaupun, well, polar bear betulan tidak akan pakai armor dan pastinya tidak akan ngomong kalau berantem), setting kota ancient/futuristic yang megah, dan binatang-binatang lucu yang bisa berubah-berubah bentuk, boleh juga sih nonton film mahal ini. Tapi kalau bisa tahan 6 bulan lagi, summer nanti akan ada Prince Caspian yang buku dan trailer-nya sangat sangat menjanjikan.
Is that all?
Yeah. That is all.