Sebetulnya saya tidak mempersiapkan diri untuk menonton sesuatu yang non linear. Namun cerita sederhana film ini mempunyai struktur yang cukup kompleks. Ber-alur maju mundur, dan adegan-adegannya bisa diulang dua kali dengan sudut pandang berbeda.
Awalnya tentu kita mengira bahwa Cecilia dan Robbie adalah tokoh sentral film ini, sebagaimana film ini dimulai. Namun ternyata kita keliru, dan alur yang disodorkan pun menjadi terasa logis dengan perkembangan cerita yang ke arah sana.
Sampai film mencapai setengah durasi, saya masih belum mengerti mengapa film ini berjudul Atonement. Namun ketika kebenaran sudah terungkap, dan kepingan puzzle itu sudah menyatu dengan baik di kepala kita, cerita Atonement berubah dari sekadar melodrama, menjadi sebuah cerita yang megah dan abadi. Judul Atonement pun menjadi terasa pas, meskipun tidak ada setting gereja sama sekali (mengingat artinya yang erat dengan doktrin Kristiani).
Kiera Knightley bermain sungguh cantik sebagai Cee (dengan gaun hijau yang terkenal) dan mempunyai chemistry yang sangat terasa dengan James McAvoy. Satu-satunya alasan dia tidak mendapat nominasi Oscar adalah karena dia tidak punya Oscar worthy scene seperti Saoirse Ronan sebagai Briony: “Yes, I saw him. I saw him with my own eyes.”
Gambar-gambar Atonement indah berkilauan dengan editing yang sungguh menyenangkan untuk dilihat. Sebetulnya cukup beresiko juga menggunakan editing cepat dan ber-ritme semacam itu untuk cerita semacam ini. Namun itu termasuk faktor paling menarik dari Atonement.
Dan, yang tidak boleh lupa untuk disinggung adalah: musik. Film ini betul-betul mendapat jiwanya dari musik Dario Marianelli. Piano dan biola repetitif dengan melodi yang haunting, namun tetap berada di background. Menurut saya, score-nya ada diantara The Hours dan Finding Neverland.
Ada satu adegan di tengah film yang berdurasi hampir lima menit tanpa cut sekalipun. Yang membuat takjub, adegan tersebut melibatkan banyak sekali aktor (mungkin ada seribu), dan pergerakan kamera yang sangat dinamis namun rapih. Di imdb.com tertulis bahwa sang kameraman awalnya naik dolly track, lalu jalan, lalu naik becak, dan akhirnya naik ke railing lagi. Adegan yang hanya memerlukan 4 take ini konon tidak direncanakan (dengan satu kamera) dan 'terpaksa' dipakai karena keterbatasan waktu. Tapi itu jadi salah satu shot yang paling berkesan.
Sekarang saya baru mengerti bahwa Golden Globe punya semua alasan untuk memilih Atonement sebagai film terbaik. Sebuah adaptasi yang sangat berhasil.
No comments:
Post a Comment