A media for recording my trips, my thoughts, my reviews, and my everyday life.
Wednesday, January 23, 2008
Cerita Pulau, Yogyakarta, Cibinong, dan Jakarta
Pada JiFFest 2007 lalu, panitia melakukan sesuatu yang tidak biasa dengan menempatkan sebuah film lokal sebagai film penutup. Film tersebut adalah sebuah omnibus (kumpulan film pendek) berjudul Chants of Lotus. Saya menonton film ini setelah dirilis secara nasional minggu lalu, karena kehabisan tiket pada waktu diputar di JiFFest. Dan, layakkah film ini menjadi film Indonesia pertama yang menjadi penutup JiFFest?
Empat cerita yang tidak saling berhubungan, namun memiliki satu tema yang kuat tentang perempuan yang menjadi korban. Sebetulnya ada kesan bahwa banyak sekali issue-issue yang mau diangkat ke dalam ke-empat fragmen seperti aborsi, kesulitan daerah terpencil, seks bebas, human trafikking, narkoba, sampai HIV/AIDS. Namun eksekusinya sungguh baik dan skenario apik yang didukung dengan riset membuat filmnya sarat dengan realita.
Setelah Cerita Pulau yang sepi dan lambat (kalau mau jujur, Cerita Pulau adalah yang terlemah dibandingkan yang lain, terutama dari segi aktor pendukung. Namun cukup menyegarkan juga melihat film Indonesia berlatar sebuah pulau dan laut, yang, ironisnya, jarang dieksplorasi oleh sineas di negara kepulauan ini), kita langsung dihentak oleh Cerita Yogyakarta yang ramai, penuh gejolak, dan vulgar. Ritme film seketika berubah dan kita langsung disodorkan cerita tentang siswa-siswa SMU bejat yang 'menggilir' seorang siswi, walaupun sebetulnya cerita berfokus pada Safina, teman siswi yang digilir itu, yang sedang menunggu laki-laki yang tepat untuk melepas keperawanannya.
Terasa sekali Cerita Yogyakarta terpotong gunting sensor secara brutal, dan menyisakan 'luka-luka' dengan potongan-potongan yang kasar. Walaupun sebetulnya saya juga cukup kaget dengan adegan-adegannya karena setting Yogyakarta-nya itu. Dan, setelah kita berkeliling Yogyakarta (yang entah kenapa diiringi lagu berbahasa Jepang), kita dibawa ke sebuah klub dangdut di Cerita Cibinong. Saya harus memberikan kredit untuk Sarah Sechan disini (yang pada awalnya saya nggak ngeh kalau itu dia). Cicih mencuri perhatian di semua adegan, dan saya tidak melihat Sarah Sechan lagi disana. Yang saya lihat adalah penyanyi dangdut heboh dan menor dari Cibinong yang tergabung dalam Trio Dag Dig Dhoer.
Ada beberapa adegan disini yang mirip adegan di Dreamgirls, namun ceritanya tidak difokuskan kesana. Cerita berfokus pada Esi (diperankan dengan sangat baik oleh Shanty, yang saya rasa semakin meninggalkan karirnya sebagai penyanyi karena dalam waktu singkat filmografinya sudah luar biasa) dan anaknya yang kabur dari rumah pacarnya, karena suatu insiden pelecehan seksual. Didukung oleh pemeran-pemeran lain yang semuanya berakting bagus (mungkin karena arahan Nia diNata), film ini menjadi begitu solid dan menghibur, meskipun tragis.
Dan, setelah cerita Esi dan Cicih (yang sepenuhnya dalam bahasa Sunda), tiba-tiba saja kita melihat Winky Wiryawan dalam satu adegan yang mungkin adalah cameo terseram dan tersakaw yang pernah ada. Cerita Jakarta berpusat pada Laksmi (Susan Bachtiar), dan anaknya, Bebe, dalam kisah yang mengangkat issue HIV/AIDS dan perkawinan campur Jawa-Tionghoa yang tidak direstui. Cerita tidak dimulai dari awal, tapi dari menjelang akhir, walaupun kita bisa mengira-ngira sendiri, cerita sebelumnya seperti apa.
Penampilan perdana Susan Bachtiar cukup impresif dan, ehm, terlihat sangat cantik. Dengan dialog minim, aktingnya natural dan tidak berlebihan. Cerita Jakarta adalah penutup dari Perempuan Punya Cerita (pasti Nia diNata yang memberi judul ini, karena dia bisa merangkai kata-kata yang awalnya terdengar aneh seperti Berbagi Suami menjadi judul yang bagus dan memang pas).
Jadi, apakah Perempuan Punya Cerita a.k.a. Chants of Lotus (lotus?) layak untuk menjadi penutup JiFFest tahun lalu? Sebetulnya Opera Jawa lebih pas untuk menjadi film pertama yang menjadi penutup JiFFest, mengingat prestasinya yang luar biasa. Namun Perempuan Punya Cerita adalah film yang penting. Dan menjadi penutup JiFFest semakin mengukuhkan pentingnya film ini.
Recording Labels:
Review
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Have seen it!
ReplyDeleteCerita Jogja terasa 'Upi' banget. Pun begitu dengan Cerita Cibinong yg sangat khas 'Nia Dinata'.
Akting Susan Bachtiar perlu dapat catatan khusus (saya menangis diam2di akhir Cerita Jakarta. Dasar melancholic! hehe)
Film-filmnya penuh sesak dengan isu-isu perempuan sarat tragedi. But it happens around :(
Kenyataan ini yg (mungkin) makin membuat film ini penting.
blogwalking, baca blog ini, berkesan juga.
ReplyDeletesalam