A media for recording my trips, my thoughts, my reviews, and my everyday life.
Sunday, November 9, 2008
Gara-Gara Judi Bola
Tiba-tiba saja, Kalyana Shira mempunyai divisi bernama Happy Ending Pictures (yang mudah-mudahan film-filmnya tidak berakhir bahagia semua). Ok, mungkin tidak tiba-tiba. Tapi apakah perlu sampai membuat label baru untuk jenis film-film yang berbeda? Mungkin ya mungkin tidak.
Happy Ending Pictures memulai debutnya dengan Gara-Gara Bola, sebuah film yang, percayalah, sama sekali bukan tentang sepak bola. Perlu dipertanyakan juga, apa yang menyebabkan judul itu dipilih dan mengapa design judulnya mengikuti logo tabloid Bola.
Namun yang paling menyesatkan tentu adalah posternya. Saya yakin, semua penonton yang menonton film ini karena terpancing posternya, akan kecewa. Mereka pasti berharap menonton film semacam Bend It Like Beckham atau malah mungkin Shaolin Soccer versi Indonesia. Namun adegan lapangan hijau yang mereka dapatkan hanyalah pada adegan pembuka yang kurang signifikan.
Selebihnya? Tidak jauh-jauh dari uang, judi, banci, dan tentunya, sex. Namun apakah berarti Gara-Gara Bola film yang tidak berhasil? Tidak juga.
Cerita berputar di sekitar Heru (Junot) dimana dia tiba-tiba mempunyai hutang dua puluh juta karena kebodohan sobatnya, Ahmad (Winky). Lalu, dia terlibat hubungan cinta yang panas dengan anak dari bos mafia perjudian. Belum lagi dia dipecat oleh manager-nya di Bakmi Yona (yang suka menilep keuntungan jual bakmi untuk membuat album dangdut) karena jarang masuk kerja dan sering kasbon untuk bayar kos. Padahal, ayah Heru adalah pemegang saham Bakmi Yona.
Timeline yang hanya satu hari (mungkin kurang) dan dengan flashback-flashback yang singkat dan tiba-tiba, membuat film ini mempunyai ritme yang berbeda dibanding kebanyakan film lokal saat ini. Namun di bagian-bagian tertentu, film ini kurang bertutur dengan baik, seperti ketika memberi flashback pada adegan pencurian. Efeknya tidak terasa seperti ketika menonton Ocean's 11, tetapi hanya, lho, bukannya tadi memang begitu?
Pengaruh Joko Anwar kental sekali di film ini, termasuk ciri khas-nya seperti di permulaan film: "Ada tiga tipe penggemar bola. Yang suka main, suka nonton, dan suka judi bola". Sebetulnya lama-lama bosan juga dengan pengulangan seperti ini.
Winky dan Junot bermain cukup bagus. Terutama Winky dengan gaya rambut yang cukup mengganggu. Namun penampilan terbaik datang dari pemeran-pemeran pembantu seperti Indra Herlambang (sebagai penagih hutang galak namun manja) dan Farishad Latjuba (sebagai penagih hutang bersuara dalam dan berat). Cukup mengejutkan juga melihat Farishad di film ini. Karena setahu saya dia adalah sineas film pendek, bukan aktor.
Aida Nurmala pun meninggalkan akting kaku dan berlebihan di Arisan dan berubah menjadi cewek simpanan/manajer Bakmi Yona yang saking inginnya menjadi penyanyi dangdut terkenal, rela dipakai oleh produsernya dan mendiskon CD dangdutnya menjadi sepuluh ribu saja. Sedangkan disini Amink tetap menjadi Amink di Extravaganza (bukan sesuatu yang buruk juga sebetulnya).
Kejutan terbesar film ini adalah di pendatang baru Laura Basuki yang mungkin akan menjadi bahan pembicaraan orang-orang. Kemunculan pertama dia di film ini adalah pada adegan ciuman panas antara dia dan Junot. Sesuatu yang paradoks karena karakter Laura (ya, nama perannya juga Laura) adalah anak sekolah lugu yang polos.
Jika di film lain sesuatu yang serba kebetulan adalah menyebalkan, disini kebetulan itu menjadi sesuatu yang menyenangkan dan kocak. Akhir film yang seperti itu cukup memuaskan penonton, apalagi ditambah video klip Merem Melek oleh Mieke Asmara.
Saya kurang mengetahui tentang duo sutradara/penulis Agasyah Karim dan Khalid Kashogi. Tentang mengapa mereka menyutradarai film ini berdua, dan mengapa mereka memilih untuk diberi kredit dengan nama Karim/Kashogi. Namun yang pasti saya akan menanti-nantikan komedi berikut dari mereka.
Blok M 21, Studio 6, 17.45, H6
Recording Labels:
Review
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment