Setelah hampir sebulan tanpa posting, rasanya sudah saatnya untuk menulis lagi.
Tanggal 15 Maret lalu, saya menginjakkan kaki di Singapura untuk ke-dua kalinya dalam 5 bulan terakhir.
Namun kali ini bukan untuk liburan, tetapi untuk menjenguk sang ibu yang sedang berobat. Meski, pada akhirnya, menjadi dilema juga karena masih ingin menjelajahi negera kota tersebut.
Untungnya, ke-dua rumah sakit itu terletak di sekitar Orchard. Jadi setiap habis dari sana untuk kemoterapi atau radiasi, kita bisa sekedar mampir di Takashimaya atau the infamous Lucky Plaza.
Selama 8 hari, saya hidup seperti warga Singapura (bukan turis), karena saya tinggal di sebuah condo di daerah Bukit Batok, yang kira-kira berjarak 1 jam perjalanan bus dari pusat kota.
Meski sebetulnya tinggal dimanapun sama saja (kecuali mungkin di daerah terpencil atau daerah konflik), dan semuanya tergantung pada sejauh mana kita bisa menyatu dengan penduduk setempat.
Namun tidak bisa dipungkiri, keteraturan dan kemajuan Singapura membuat saya iri. Terutama ketika meninggalkan Changi, dan mendarat di Soekarno-Hatta. Rasanya seperti meninggalkan airport, dan mendarat di terminal bus. Bahkan KL Central di Kuala Lumpur masih lebih bagus dari Soekarno-Hatta.
Setelah pulang dari Singapura, tekad saya menjadi semakin bulat untuk mencari kerja disana. Apalagi saya mempunyai peluang untuk mendapatkan gaji tujuh kali lebih besar dibanding gaji saya sekarang, terima kasih untuk nilai kurs SGD-IDR yang semakin menjauh.
Walaupun begitu, tentu saja saya tidak akan pernah bisa menyebut Singapura sebagai rumah. Jakarta dan segala kesemerawutannya tetap saja harus diterima sebagai kampung halaman, tempat lahir, dan tempat bertumbuh besar. Dan ada orang yang pernah bilang, jika kita pernah pergi ke suatu tempat di Afrika, dan harus menumpang bus bersama kambing dan mayat, maka kita akan sangat sangat bersyukur dengan keadaan di Jakarta. Jadi saya tidak akan menggerutu lagi terhadap pemerintah, dan mencoba untuk berpikir positif dan terus berharap, semoga dalam waktu dekat Jakarta akan punya Suvarnabhumi kedua. Dan letaknya kira-kira di sekitar Jakarta Selatan.
Sebetulnya ada rasa tidak siap juga untuk pindah ke Singapura, karena itu akan menjadi yang pertama kalinya saya jauh dari rumah untuk tempo yang lama (sampai detik ini rasanya saya tidak pernah meninggalkan rumah lebih dari dua minggu). Tapi itu alasan sentimentil yang bikin malu sebetulnya, mengingat umur yang sudah hampir dua puluh empat tahun.
Jadi langkah yang harus saya ambil sekarang adalah, menyelesaikan semua hal yang harus diselesaikan di Jakarta, termasuk mengedit in3cities yang belum kunjung usai, sambil terus memantau Monster.com.sg dan JobsDB.com untuk mecari lowongan pekerjaan SAP ABAP Programmer.
Salam dari Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
A media for recording my trips, my thoughts, my reviews, and my everyday life.
Monday, March 31, 2008
Monday, March 10, 2008
Trailer of in3cities
Well, it's only a few scenes from the film. Nothing fancy. But it's quite sufficient to satisfy your curiosity.
Wait, anybody here?
Here's the link to the trailer:
http://www.youtube.com/watch?v=rFNT1KB4i4M
Don't forget to leave comments..
Wait, anybody here?
Here's the link to the trailer:
http://www.youtube.com/watch?v=rFNT1KB4i4M
Don't forget to leave comments..
Tuesday, March 4, 2008
Blair Witch Meets Godzilla
Last year, youtube viewers were buzzing about a new trailer film from producer JJ Abrams. The trailer was a handycam shot of a birthday party and really looked like usual videos that are uploaded to youtube.
But then, suddenly, there's an explosion (or something like it), then everything was chaos, and we could see the Liberty statue missing her head. That's it. No title, no further explanation.
I think that was a brilliant marketing campaign. It went to number one film that I want to see this year. But after the film was released, I realized that this film was not for everyone.
Cloverfield is Blair Witch meets Godzilla. It is a film about monster (like a sea creature type of Godzilla), with Blair Witch's documentary style. With extremely shaky camera movement, many audience felt dizzy after watching it.
But not me. I really enjoyed the camera work (which was shot with a high def digital video cameras, and not an actual handycam), and the jump cut editing that is made it to look like a video cassette tape being used for the second time.
Unlike Godzilla, the monster is not the center of attention here. It's just a backdrop, a critic said. And that's what set this film a part from other monster films.
While the cinematography may not be appreciated much (but I do), the visual effects must be. The shakiness of the footage must have been a great trouble for the artists. But they made it. Though the monster have minimal appearance, the chaotic and destroyed Manhattan looks real and frightening (especially for bringing back memories of 9/11).
The film is well acted and though it's kind of felt like there is no plot, the story (or events?) flows. Dialogs are witty and sometimes funny, especially when said by Hud (a character who is mostly 'behind the camera' and can only be heard, not seen).
Though not original, Cloverfield is different. And it's so refreshing to see something different out of Hollywood. I begged for more when the credits rolled (it's only under 90 minutes, which is logical because 90 minutes is the maximum duration of a miniDV tape).
I like it.
Monday, March 3, 2008
Mungkin Nggak Fiskal Dihapus?
Tiga tahun yang lalu ada sebuah page di petitiononline yang berisi tuntutan agar fiskal dihapuskan. Ada juga posting di blog terkenal yang membahas masalah ini dan mengajak orang-orang untuk 'menandatangani' petisi itu.
Lalu ada sebuah berita di koran yang mengatakan bahwa fiskal akan dihapuskan pada tahun 2010, namun dengan embel-embel: ketika sudah ditemukan sumber pendapatan lainnya.
Apakah betul?
Awalnya, fiskal diberlakukan pada pemerintahan Soeharto (oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro) untuk mencegah devisa lari ke luar negeri. Tapi setelah bertahun-tahun diterapkan, ternyata tidak berefek apa-apa. Tetap banyak orang yang sering ke luar negeri, meskipun hanya yang kaya-kaya saja.
Saya pribadi sangat benci dengan komentar Jero Wacik (Menteri Pariwisata) tentang masalah ini: "Jika fiskal dihapuskan, akan semakin banyak orang yang dananya pas-pasan pergi ke luar negeri." Kesannya orang-orang yang dananya pas-pasan tidak berhak untuk melihat dunia luar dan harus terkungkung dan puas dengan berlibur di dalam negeri (suatu hal yang pada akhirnya berubah. Karena percayalah, lebih murah pergi ke Singapura (termasuk fiskal, lewat Batam) daripada ke Ambon tanpa fiskal).
Padahal, Kwik Kian Gie pernah bilang bahwa fiskal luar negeri itu sangat memberatkan pengusaha ekspor kelas menengah yang harus sering bepergian ke luar negeri. Yang akhirnya akan mengurangi pendapatan negara juga, karena justru sumber pendapatan adalah dari ekspor, bukan dari pajak.
Lagipula, fiskal yang 1 juta lewat udara dan 500 ribu lewat laut itu dirasa sudah tidak masuk akal, apalagi jika dibandingkan dengan tiket pesawat yang semakin murah. Jika memang perlu memberlakukan pungutan, rasanya jumlahnya harus dikaji lagi.
Tapi ada sesuatu yang aneh. Pernah disebutkan bahwa fiskal sebetulnya adalah pembayaran wajib pajak dimuka. Yang mana berarti bila kita melakukan dua kali perjalanan ke luar negeri dalam setahun dan membayar fiskal 2 juta, maka pada akhir tahun, ketika kita membayar pajak, jumlahnya akan dikurangi 2 juta. Jadi, sebetulnya pendapatan dari fiskal yang mencapai 1,2 triliun per tahun itu bukan sumber pendapatan baru, melainkan pajak yang dibayar dimuka.
Namun saya pribadi kurang mengerti hal ini. Karena saya tidak yakin perjalanan saya ke Malaysia dan Singapura tahun lalu akan diperhitungkan ke PPh saya (yang dipotong dari gaji setiap bulan). Atau yang dimaksud adalah pajak yang lain? Entahlah.
Tahun lalu ada satu berita yang (seharusnya tidak) mengejutkan. Diberitakan bahwa penerimaan fiskal yang hilang mencapai Rp1 triliun sepanjang tahun 2004 sampai 2006. Yang berarti bahwa ada perbedaan 1 juta orang antara penumpang yang pergi ke luar negeri, dan yang membayar fiskal.
Ini diluar orang-orang yang memang mendapat bebas fiskal seperti diplomat dan orang-orang yang pergi untuk misi kesenian. Namun 1 juta orang itu adalah orang-orang yang membayar fiskal, namun dibuat seolah-olah masuk ke dalam kategori itu dan mendapat bebas fiskal.
Gila juga kalau dipikir-pikir. Setiap lima orang yang fiskal-nya digelapkan, petugas akan langsung mendapat lima juta. Cash. Namun tentunya ini ada organisasinya juga. Dan organisasi itu pasti ada induknya. Entah itu berhubungan dengan Perekonomian atau Pariwisata.
Tapi okelah, kalau memang mereka masih ngotot bahwa fiskal itu penting untuk penerimaan negara, mari kita telaah apa yang akan terjadi bila fiskal dihapuskan (terlepas dari petugas-petugas fiskal yang menjerit karena kehilangan pohon uang).
Katakanlah orang-orang yang bepergian ke luar negeri melonjak tiga kali lipat. Namun, tentunya devisa yang hilang tidak tiga kali lipat juga, karena ingat, pertambahan penumpang adalah dari masyarakat kelas menengah ke bawah, yang tentunya tidak akan menghamburkan uang sebanyak orang yang selama ini sering ke luar negeri.
Itu memang segi negatif-nya. Tapi mari kita lihat segi yang lain. Orang-orang yang tadinya hanya bisa keluar negeri dalam mimpi, tiba-tiba bisa berkunjung ke (setidaknya) negara tetangga. Ini bisa merubah cara pikir orang, dan menambah wawasan. Terlebih, ini bisa membuat orang merasa menjadi bagian dari Asia Tenggara, dan bisa membandingkan sendiri, keadaan negaranya dan negara-negara tetangga.
Dari segi pariwisata, memang akan banyak orang Indonesia yang berpelesiran ke luar negeri (bayangkan ramainya Singapura nanti). Namun dengan begitu, pariwisata dalam negeri akan menyadari keadaannya, dan akan berbenah supaya orang (asing dan lokal) mau ber-wisata disana. Ini nantinya akan meningkatkan kualitas pariwisata Indonesia juga. Di tambah lagi dengan promosi gratis oleh orang-orang Indonesia yang pergi ke luar negeri.
Ekspor pun akan bertambah karena pengusaha-pengusaha menengah melihat pasar baru setelah jalan-jalan ke luar negeri. Mereka juga bisa sering-sering keluar negeri untuk tujuan bisnis. Dan kita juga bisa menyerap ilmu dengan lebih mudah, seperti misalnya untuk menghadiri seminar-seminar di luar negeri.
Pada akhirnya, devisa yang hilang itu akan kembali berkali-kali lipat, dan bayangkan bangganya orang-orang yang selama ini hanya mampu melihat Borobudur dan Bali, tapi akhirnya bisa melihat Angkor Wat dan Krabi.
Namun pada akhirnya tentu saja organisasi penyerap kebocoran fiskal itu akan menyuarakan protes sekeras-kerasnya. Bayangkan saja berapa pemasukan mereka yang akan hilang nantinya jika pohon uang sudah ditebang. Jadi sebaiknya kita jangan terlalu berharap.
Tapi mungkin nggak fiskal dihapus?
Mungkin sih.
Tapi..
Lalu ada sebuah berita di koran yang mengatakan bahwa fiskal akan dihapuskan pada tahun 2010, namun dengan embel-embel: ketika sudah ditemukan sumber pendapatan lainnya.
Apakah betul?
Awalnya, fiskal diberlakukan pada pemerintahan Soeharto (oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro) untuk mencegah devisa lari ke luar negeri. Tapi setelah bertahun-tahun diterapkan, ternyata tidak berefek apa-apa. Tetap banyak orang yang sering ke luar negeri, meskipun hanya yang kaya-kaya saja.
Saya pribadi sangat benci dengan komentar Jero Wacik (Menteri Pariwisata) tentang masalah ini: "Jika fiskal dihapuskan, akan semakin banyak orang yang dananya pas-pasan pergi ke luar negeri." Kesannya orang-orang yang dananya pas-pasan tidak berhak untuk melihat dunia luar dan harus terkungkung dan puas dengan berlibur di dalam negeri (suatu hal yang pada akhirnya berubah. Karena percayalah, lebih murah pergi ke Singapura (termasuk fiskal, lewat Batam) daripada ke Ambon tanpa fiskal).
Padahal, Kwik Kian Gie pernah bilang bahwa fiskal luar negeri itu sangat memberatkan pengusaha ekspor kelas menengah yang harus sering bepergian ke luar negeri. Yang akhirnya akan mengurangi pendapatan negara juga, karena justru sumber pendapatan adalah dari ekspor, bukan dari pajak.
Lagipula, fiskal yang 1 juta lewat udara dan 500 ribu lewat laut itu dirasa sudah tidak masuk akal, apalagi jika dibandingkan dengan tiket pesawat yang semakin murah. Jika memang perlu memberlakukan pungutan, rasanya jumlahnya harus dikaji lagi.
Tapi ada sesuatu yang aneh. Pernah disebutkan bahwa fiskal sebetulnya adalah pembayaran wajib pajak dimuka. Yang mana berarti bila kita melakukan dua kali perjalanan ke luar negeri dalam setahun dan membayar fiskal 2 juta, maka pada akhir tahun, ketika kita membayar pajak, jumlahnya akan dikurangi 2 juta. Jadi, sebetulnya pendapatan dari fiskal yang mencapai 1,2 triliun per tahun itu bukan sumber pendapatan baru, melainkan pajak yang dibayar dimuka.
Namun saya pribadi kurang mengerti hal ini. Karena saya tidak yakin perjalanan saya ke Malaysia dan Singapura tahun lalu akan diperhitungkan ke PPh saya (yang dipotong dari gaji setiap bulan). Atau yang dimaksud adalah pajak yang lain? Entahlah.
Tahun lalu ada satu berita yang (seharusnya tidak) mengejutkan. Diberitakan bahwa penerimaan fiskal yang hilang mencapai Rp1 triliun sepanjang tahun 2004 sampai 2006. Yang berarti bahwa ada perbedaan 1 juta orang antara penumpang yang pergi ke luar negeri, dan yang membayar fiskal.
Ini diluar orang-orang yang memang mendapat bebas fiskal seperti diplomat dan orang-orang yang pergi untuk misi kesenian. Namun 1 juta orang itu adalah orang-orang yang membayar fiskal, namun dibuat seolah-olah masuk ke dalam kategori itu dan mendapat bebas fiskal.
Gila juga kalau dipikir-pikir. Setiap lima orang yang fiskal-nya digelapkan, petugas akan langsung mendapat lima juta. Cash. Namun tentunya ini ada organisasinya juga. Dan organisasi itu pasti ada induknya. Entah itu berhubungan dengan Perekonomian atau Pariwisata.
Tapi okelah, kalau memang mereka masih ngotot bahwa fiskal itu penting untuk penerimaan negara, mari kita telaah apa yang akan terjadi bila fiskal dihapuskan (terlepas dari petugas-petugas fiskal yang menjerit karena kehilangan pohon uang).
Katakanlah orang-orang yang bepergian ke luar negeri melonjak tiga kali lipat. Namun, tentunya devisa yang hilang tidak tiga kali lipat juga, karena ingat, pertambahan penumpang adalah dari masyarakat kelas menengah ke bawah, yang tentunya tidak akan menghamburkan uang sebanyak orang yang selama ini sering ke luar negeri.
Itu memang segi negatif-nya. Tapi mari kita lihat segi yang lain. Orang-orang yang tadinya hanya bisa keluar negeri dalam mimpi, tiba-tiba bisa berkunjung ke (setidaknya) negara tetangga. Ini bisa merubah cara pikir orang, dan menambah wawasan. Terlebih, ini bisa membuat orang merasa menjadi bagian dari Asia Tenggara, dan bisa membandingkan sendiri, keadaan negaranya dan negara-negara tetangga.
Dari segi pariwisata, memang akan banyak orang Indonesia yang berpelesiran ke luar negeri (bayangkan ramainya Singapura nanti). Namun dengan begitu, pariwisata dalam negeri akan menyadari keadaannya, dan akan berbenah supaya orang (asing dan lokal) mau ber-wisata disana. Ini nantinya akan meningkatkan kualitas pariwisata Indonesia juga. Di tambah lagi dengan promosi gratis oleh orang-orang Indonesia yang pergi ke luar negeri.
Ekspor pun akan bertambah karena pengusaha-pengusaha menengah melihat pasar baru setelah jalan-jalan ke luar negeri. Mereka juga bisa sering-sering keluar negeri untuk tujuan bisnis. Dan kita juga bisa menyerap ilmu dengan lebih mudah, seperti misalnya untuk menghadiri seminar-seminar di luar negeri.
Pada akhirnya, devisa yang hilang itu akan kembali berkali-kali lipat, dan bayangkan bangganya orang-orang yang selama ini hanya mampu melihat Borobudur dan Bali, tapi akhirnya bisa melihat Angkor Wat dan Krabi.
Namun pada akhirnya tentu saja organisasi penyerap kebocoran fiskal itu akan menyuarakan protes sekeras-kerasnya. Bayangkan saja berapa pemasukan mereka yang akan hilang nantinya jika pohon uang sudah ditebang. Jadi sebaiknya kita jangan terlalu berharap.
Tapi mungkin nggak fiskal dihapus?
Mungkin sih.
Tapi..
Subscribe to:
Posts (Atom)