Wednesday, December 14, 2011

Tentang FFI

Tahun ini ada yang tidak biasa dalam penjurian FFI. Biasanya, film-film unggulan FFI ditentukan terlebih dahulu oleh dewan juri, lalu nominasi akan ditentukan dari film-film yang lolos seleksi unggulan tersebut. Maka itu yang mendapat nominasi hanya seputar film-film itu saja.

Tahun ini, dibentuk Komite Nominasi Film Bioskop yang berbeda tim-nya untuk setiap kategori. Sehingga setiap komite akan menentukan nominasi berdasar semua film yang terdaftar dan memang kuat di kategori tersebut. Academy Awards pun memakai sistem ini meski dengan skala lebih besar (tidak hanya komite beranggotakan 3-4 orang saja), tapi seluruh pemenang lampau dari kategori tersebut.

Saya terus terang sudah kurang tertarik dengan FFI setelah penyelenggaraannya dari tahun 2004 (semenjak vakum) tidak pernah beres. Mulai dari format acara yang dibuat seperti acara musik populer, sampai ke daftar nominasi yang patut dipertanyakan kredibilitasnya.

Ini sudah terjadi sejak 2005 ketika Hanung Brahmantyo menang sebagai Sutradara Terbaik lewat film Brownies, sebuah film yang sangat membosankan dan penuh dialog klise, meski secara kualitas produksi masih unggul. Lalu tentu saja insiden Ekskul yang menjadi film terbaik tahun 2006, namun lantas dicabut karena terbukti memakai komposisi musik dari film lain tanpa izin. 

Itu adalah titik terendah FFI, karena di tahun yang punya film sekaliber Opera Jawa dan Berbagai Suami, FFI malah memenangkan film yang kurang terdengar kualitasnya seperti Ekskul.

Tahun-tahun berikutnya, FFI mulai membaik dengan memenangkan film Nagabonar Jadi 2 (2007) dan Fiksi.(2008). Meski cukup jelas bahwa film terbaik tahun 2007 adalah Kala. Juri FFI sepertinya masih belum terbuka terhadap film dengan genre fantastik. Meski Academy Awards pun jarang sekali memenangkan film dengan kategori ini.

Tahun 2009 FFI kembali turun. Film Terbaik jatuh kepada Identitas, film yang menurut saya kurang berhasil. Padahal di tahun itu ada Pintu Terlarang yang brilian, Mereka Bilang, Saya Monyet yang artistik, dan juga film keluarga Garuda di Dadaku dan King yang memuaskan. 

Dan hal ini terulang di 2010 ketika peraih piala Citra didominasi oleh film-film berjudul 3 Hari 2 Dunia 1 Cinta dan 7 Hari 7 Cinta 7 Wanita, yang keduanya secara tema tidak orisinil. Maka dari itu saya berharap banyak bahwa pergantian sistem akan membawa objektivitas lebih tinggi dalam penentuan nominasi dan pemenang.

Dan hasilnya?

Saya pribadi cukup puas. Secara garis besar, mereka berhasil memberikan nominasi ke film-film yang memang unggul di kategorinya, meski saya ragu apakah Surat Kecil Untuk Tuhan dan Masih Bukan Cinta Biasa layak mendapat nominasi sebanyak itu. Dan menurut saya, Tendangan Dari Langit adalah film yang mengecewakan.

Jika saya menjadi juri tunggal, 5 film terbaik tahun ini adalah (tanpa urutan tertentu): 

Catatan Harian si Boy
Sang Penari
Tanda Tanya
Lima Elang
The Mirror Never Lies 
*dengan catatan saya belum sempat menonton Jakarta Maghrib, Pengejar Angin, dan Rindu Purnama. 

Semoga 2012 adalah tahun yang baik untuk film Indonesia dan untuk FFI!

Wednesday, November 23, 2011

Trailer: Spoil

This is it!

After 2 plus weeks of editing, Spoil is nearly done. Just need to add several sounds, credit title, and English subtitle.

I'm very lucky to get permission to use a song from a great local indie band, The Trees and The Wild. The song's called "Derau dan Kesalahan" and it's really match the film's mood.

While I'm wrapping up the film, enjoy a 40sec trailer from Spoil!
And let me know your comments.

Thursday, November 17, 2011

Photo Teaser: Spoil

Spoil adalah film pendek saya yang ke-8 dan bercerita tentang cost recovery. Saat ini sedang dalam tahap color correction dan sound correction. Shooting-nya sendiri sudah dilakukan selama 2 hari pada tanggal 29 Oktober dan 5 November lalu. Berikut adalah beberapa photo teaser-nya. Enjoy!






Wednesday, October 12, 2011

Spoil

Akhirnya, film pendek baru.

Setelah absen buat film tahun lalu (karena kesibukan dan juga karena memikirkan kegagalan Midnight Cell), tahun ini saya dan teman-teman buat film pendek lagi. Kali ini temanya sedikit berat, yaitu mengenai cost recovery.

Apa itu cost recovery? Cost recovery adalah sebuah mekanisme yang ada di dunia migas di Indonesia. Dengan cost recovery, KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) atau lebih umum disebut perusahaan minyak, dapat meminta ganti atas seluruh biaya eksplorasi minyak yang dikeluarkannya ke pemerintah. Atau dengan kata lain, ke rakyat Indonesia.

Ada kategori-kategori dan juga batas kewajaran mengenai biaya-biaya yang dapat di-reimburse ke pemerintah. Namun pada kenyataannya, perusahaan minyak akan berusaha untuk me-reimburse seluruh expense-nya ke pemerintah, dengan menyembunyikannya di pos-pos biaya tertentu.

Tentu saja ini sangat merugikan rakyat Indonesia. Maka dari itu, melalui film pendek ini, saya ingin membangun awareness penonton tentang cost recovery dan penyelewengannya.

Film tersebut berjudul Spoil dan akan berdurasi sekitar 12 menit. Tanggal 1 dan 8 Oktober lalu sudah dilakukan reading pemain dan meeting kru. Mudah-mudahan tanggal 5 November akan bisa shooting hari pertama.

Namun kendalanya adalah lokasi shooting yang belum ketemu. Agak ironis mengingat setting film ini adalah kantor dan seharusnya saya bisa shooting di kantor saya sendiri, mengingat kantor saya cukup bagus dan mewakili kantor perusahaan minyak yang biasanya mewah (tentu saja, dari cost recovery). Namun saya tidak dapat izin untuk shooting di kantor sendiri.

Mudah-mudahan dalam 4 minggu ini bisa dapat lokasi yang cocok dan dapat izin. Kalau tidak, terpaksa shooting diam-diam..

Monday, September 5, 2011

Review: Tendangan Dari Langit














Oke. Mungkin waktu itu, situasinya adalah: Sang produser mendapat ide brilian untuk membuat film tentang sepak bola (yang mana premis awalnya sangat mirip dengan Garuda Di Dadaku atau King), lalu karena mereka punya uang, direkrutlah semua kru yang sudah punya nama di bidangnya, dan supaya lebih menjual, ditariklah Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan untuk ikut main dan dipajang besar-besar di poster.

Hasilnya?

Well, film ini masih bisa dinikmati jika Anda membuang logika sejauh mungkin dan menerima saja alur cerita tentang Wahyu, anak berbakat dari kampung Langitan (hence, the title), yang mewujudkan mimpinya, yaitu main bola. Eh, betul kan, main bola?

(contain mild spoilers beyond this point)

Yang pasti, Wahyu ingin bermain bola, tapi dia ditentang ayahnya. Lalu disogoklah Ayahnya dengan kuda (hasil kemenangannya dari satu - betul, satu - pertandingan), lalu sang Ayah pun luluh (!). Sebetulnya, film dapat berakhir disini dan akan menjadi film pendek yang masih bisa diterima.

Tapi tentu saja filmnya tidak sependek itu. Harus ada kisah cinta. Maka Wahyu pun naksir Indah, bunga di sekolahnya. Karena sesuatu hal yang tentu saja teramat sangat kebetulan, Wahyu mengecewakan Indah. Dan sang penulis skenario pun berkesimpulan bahwa Wahyu harus memilih: bola atau Indah. Meski pada kenyataannya, apa salahnya memilih keduanya? Kejadian sebelumnya hanyalah insting seseorang untuk menyelamatkan orang lain yang lebih lemah.

Lalu muncullah Coach Timo dan fisioterapisnya, Matias yang sedang latihan bola di Bromo, dan melihat Wahyu berlatih bola bersama sang Ayah (kebetulan? tentu saja). Coach Timo, yang sebelumnya berhutang budi dengan Wahyu (ini adalah kejadian kebetulan sebelumnya), pergi ke rumah Wahyu (tentu saja sangat mudah menemukan rumah Wahyu bukan?) dan menawarinya untuk try-out dengan Persema.

Tunggu, saya belum menyinggung tentang Agus Kuncoro, yang bermain sangat kocak di "?", tapi sangat overacting disini. Pak Hasan (nama karakternya), mengantarkan Wahyu ke lokasi try-out, dan tentu saja, dapat ditebak, ban motornya kempes di tengah jalan (film ini butuh konflik bukan?)

Tapi singkat cerita, Wahyu diterima di Persema, dan disinilah Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan numpang lewat, dan bermain bola bersama Wahyu. Tapi apa daya, ternyata Wahyu mempunyai sebuah penyakit yang tidak nampak dan tidak diindikasikan sekalipun dari awal film. Sehingga Wahyu, seorang anak SMA itu, tidak jadi masuk Persema.

Saya tidak habis pikir, mengapa Matias tidak langsung memberi tahu Wahyu bahwa penyakitnya ini berbahaya dan dia tidak boleh bermain bola dulu? Oh, tentu saja karena ini adalah turning point (akhir dari babak ke-2) dari struktur 3 babak dari film ini. Wahyu bermain bola, lalu tiba-tiba saja terjatuh dan kakinya tidak dapat digerakkan. Di bagian ini pula Irfan Bachdim mendapat peran pentingnya dalam film ini, yaitu sebagai sopir dan tukang angkat Wahyu yang ceritanya cedera serius. Bagaimana dengan Kim Kurniawan? Ya, tugas dia adalah mengangkat Wahyu bersama Irfan Bachdim.

Setelah itu, Wahyu masuk Persema, lalu menyelamatkan Persema dari kekalahan di pertandingan pertama yang diikutinya dengan sebuah tendangan dari langit yang.. kurang di-shoot dengan dramatis.

Penyutradaraan Hanung, seperti biasa, characterless, dan ala kadarnya, meski Yosie Kristanto berakting dengan sangat natural sebagai Wahyu (mungkin ini satu-satunya kelebihan film ini). Tapi tentunya saya akan diprotes orang-orang yang terpesona dengan keindahan alam Bromo di film ini. Namun Bromo memang dari sananya indah. Dan shot dari helikopter itu malah mengganggu. Saya agak merasa di banyak shot lupa dilakukan color correction. Yah, tapi setidaknya Faozan Rizal masih menunjukkan kualitasnya di banyak shot lain, dan keindahannya tidak selalu useless seperti misalnya panorama di film Serdadu Kumbang.

Ilustrasi musik tidak memorable (pun theme song dari Kotak). Tentang skenario, saya sebetulnya berharap lebih dari Fajar Nugros, yang sebelumnya adalah pembuat film pendek. Tapi terlalu banyak masalah logika disini. Meski mungkin dia mendapat banyak tekanan dari para produsernya.

Alasan saya menulis ini adalah karena saya sangat menyayangkan, dengan budget dan kru yang dimiliki, seharusnya film ini tidak segitu saja. Panorama indah dan pemain bola terkenal saja tidaklah cukup. Namun film ini masih layak tonton di musim liburan Lebaran (meski saya menyarankan Anda untuk ke studio sebelah untuk tonton Lima Elang bersama atau tanpa anak-anak).

Gandaria City, 4 September 2011, pemutaran jam 17.05.

Monday, August 1, 2011

Bikin/Perpanjang Paspor Tanpa Calo

Bulan Juli lalu, saya mengambil cuti satu bulan penuh untuk suatu urusan. Diantara 31 hari itu, saya mengorbankan satu hari yang panjang untuk memperpanjang paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Selatan, dan satu hari lagi untuk mengambil paspornya.

Postingan ini membahas bagaimana cara yang paling cepat dan efisien untuk memperpanjang paspor tanpa jasa calo, seperti yang saya lakukan bulan lalu itu. Waktu itu saya datang jam 6.30 pagi dan baru pulang jam 3.30 sore. Jadi total hanya 9 jam saja, karena kurang informasi. Jadi, mudah-mudahan postingan ini bisa bermanfaat.

Kabar buruknya, kita tidak bisa mengurus paspor dengan jumlah kunjungan sedikit dan sebentar. Jadi, kemungkinannya antara jumlah kunjungan banyak tapi sebentar, atau jumlah kunjungan sedikit tapi lama (seperti yang saya lakukan kemarin).

Jumlah kunjungan ini juga sangat ditentukan apakah kita melakukan pra-permohonan secara online atau tidak. Dengan apply online, jumlah kunjungan berkurang.

Alamat Kanim (Kantor Imigrasi) dapat ditemukan di www.imigrasi.go.id. Perlu dicatat bahwa Kanim Jaksel yang berada di Warung Buncit saat ini sedang direnovasi dan sementara dipindahkan ke TB Simatupang, tepatnya setelah Wisma Kanaan dan sebelum Restoran Sakura dan Garda Oto. Jika datang siang, tempat parkir pasti sudah penuh, tapi Anda dapat parkir di Restoran Sakura (dengan ongkos parkir Rp 5000 per kali masuk).

A. Tanpa Apply Online

Berikut langkah-langkah untuk membuat paspor tanpa pra-permohonan online (3-4 kunjungan):
1. Kunjungan 1 - Ambil Formulir
Datanglah pada jam berapapun antara jam 08.00 - 15.00. Langsung datang ke koperasi dan beli formulir permohonan paspor (dengan harga tidak resmi 5000rp per formulir). Setelah itu boleh pulang, lalu isi formulir dengan lengkap dan siapkan semua fotokopi dokumen (biasanya KTP, KK, Akte Kelahiran, Akta Perkawinan, paspor lama, sila cek kembali di www.imigrasi.go.id) dan juga siapkan Surat Keterangan dari kantor untuk karyawan. Jangan lupa, fotokopi KTP tidak boleh dipotong, tapi harus dalam lembar A4. (setelah saya tanya, tujuannya adalah supaya tidak nyangkut di mesin scanner).
2. Kunjungan 2 - Penyerahan Formulir
Datang sepagi mungkin, kalau bisa sebelum jam 7 pagi dengan membawa semua dokumen dan formulir dan dimasukkan ke dalam map. Perhatian: jangan lupa bawa dokumen (KK, Akte Kelahiran, dll) yang ASLI.
Begitu sampai, langsung cari tumpukan map kuning yang ada di lantai di depan loket. Petugas baru mulai bekerja jam 8, sehingga sebelum jam 8 antrian dilakukan dengan menaruh map di lantai. Setidaknya ini yang terjadi di Kanwil Jaksel (saya rasa seharusnya sama saja di tempat lain). Jam 8, petugas akan datang dan menyerahkan nomor antrian sesuai dengan tumpukan map tersebut. Jika Anda datang sebelum jam 7, kemungkinan besar sebelum jam 9 Anda sudah dipanggil.
Setelah selesai, petugas akan memberikan slip dan memberitahu tanggal foto, dan menyuruh Anda untuk membayar di Kasir. Proses pembayaran di Kasir ini juga terkadang perlu mengantri lagi, namun tidak seberapa. Biayanya Rp 255.000. Setelah bayar, Anda boleh pulang.
3. Kunjungan 3 - Foto Paspor
Sekali lagi, datanglah sepagi mungkin dengan membawa slip permohonan. Setelah sampai, carilah paku tempat menancapkan slip di depan loket. Seperti proses sebelumnya, petugas baru mulai bekerja jam 8, jadi sebelum itu antrian dilakukan dengan menancapkan slip di paku tersebut. Setelah itu duduk, dan tunggu nama Anda dipanggil untuk ambil nomor antrian foto. Setelah dapat nomor, pergilah ke lantai 2 dan tunggu disana untuk melakukan foto, pengambilan sidik jari, dan wawancara singkat. Kalau Anda datang cepat (nomor antrian kurang dari 50), Anda bisa foto sebelum makan siang. Proses foto sebetulnya cepat, hanya 5 menit per orang. Namun antrian bisa mencapai ratusan padahal kecepatan mereka hanya 12 orang per meja per jam (ada 3 meja). Wawancara pun berlangsung singkat, dan jika ditanya kemana, bilang saja ingin ke Singapura, supaya tidak berkepanjangan. Setelah itu boleh pulang.
4. Kunjungan 4: Ambil Paspor
Setelah 5 hari kerja, paspor Anda sudah siap diambil. Datanglah setelah jam 10 pagi atau setelah makan siang. Lalu langsung kasih slip permohonan ke loket paling kiri (Pengambilan Paspor), atau bila ada paku, tancapkan di paku tersebut. Lalu tunggu nama Anda dipanggil.
Setelah dipanggil, Anda akan diberikan paspor Anda yang lama dan yang baru, namun Anda harus ke koperasi untuk fotokopi (orang koperasi sudah tahu bagian mana yang harus di-fotokopi dan harganya Rp 500). Setelah fotokopi, serahkan fotokopiannya ke loket Pengambilan Paspor, dan, selamat! Anda sudah selesai mengurus sendiri paspor Anda dengan biaya Rp. 260.500.

*Catatan: kunjungan pertama dan kedua dapat digabungkan namun akan lama karena harus mengisi formulir dulu baru setelah itu mengambil nomor antrian.

B. Dengan Apply Online

Berikut langkah-langkah untuk membuat paspor dengan pra-permohonan:

1. Isi Formulir Online
Pertama, buka situs www.imigrasi.co.id, dan pilih "Pra-Permohonan Paspor Online". Isi formulir online dan upload dokumen pendukung (tools di website tersebut cukup mudah dipahami). Sebelumnya Anda harus scan semua dokumen pendukung terlebih dahulu. Proses persiapannya kira-kira setengah jam, termasuk proses scan (jika punya scanner di rumah). Jika sudah selesai, submit, lalu print bukti Tanda Terima Pra Permohonan. Perhatikan tanggal dimana Anda harus datang ke Kantor Imigrasi pilihan.
2. Kunjungan 1: Penyerahan Formulir dan Foto
Datang sepagi mungkin (sebelum jam 8), lalu letakkan Tanda Terima Pra Permohonan di tumpukan map kuning. Setelah jam 8, beli map kuning di koperasi (tidak perlu membeli dan mengisi formulir, hanya map-nya saja). Tunggu nama Anda dipanggil, lalu Anda akan diberikan nomor antrian. Masukkan semua fotokopi dokumen ke dalam map lalu ketika nomor Anda dipanggil, serahkan semua dokumen di dalam map tersebut. Petugas akan meminta untuk menunjukkan dokumen asli.
Berikutnya, petugas akan menyuruh Anda ke Loket Tambah Nama. Segera antri di loket itu dan serahkan seluruh map ke petugas. Saran saya, jangan kemana-mana dan tunggu sampai petugas selesai melakukan entry. Petugas tidak memanggil nama kita jadi harus sering-sering mengecek sendiri ke loket itu. Jika sudah selesai, petugas akan memberi kita slip permohonan, dan menyuruh kita membayar di kasir (biayanya sama, Rp 255.000).
Setelah bayar, segera naik ke lantai atas dan serahkan slip permohonan ke petugas foto. Anda akan diberi nomor antrian. Kemungkinan besar, Anda akan mendapat nomor besar karena antrian sudah dimulai sejak sebelum jam 8 tadi. Jadi lebih baik keluar dulu makan siang atau istirahat, namun jangan sampai terlambat, karena jika nomor Anda dipanggil dan Anda tidak ada, Anda harus mengulang antrian keesokan harinya. Setelah foto, boleh pulang.
3. Kunjungan 2 - Ambil Paspor
Lihat Kunjungan 4 di bagian A
  
Dapat disimpulkan bahwa apply online hanya berguna untuk mempercepat proses (jumlah hari) pembuatan paspor karena Anda dapat langsung foto hari itu juga setelah menyerahkan dokumen, tapi tidak mempercepat antrian kita untuk foto dan menyerahkan dokumen itu sendiri. Jadi, apply online atau tidak, itu tergantung Anda mau datang 2 kali (dengan 1 kunjungan yang sangat lama), atau 3-4 kali dengan kunjungan yang relatif singkat-singkat.

Meskipun masih jauh dari praktis, namun berdasarkan pengalaman saya membuat paspor dari 10 tahun yang lalu, jelas ada peningkatan. Selain peningkatan teknologi, juga peningkatan citra. Sangat jelas di ingatan saya bahwa dulu Kantor Imigrasi adalah tempat yang penuh dengan petugas-petugas yang galak terutama pada proses wawancara. Namun pengalaman kemarin membuktikan lain. Petugas cukup ramah dan cenderung humoris dan mereka sabar menangani antrian pemohon paspor yang jumlahnya ratusan setiap harinya. Proses wawancara pun berlangsung santai dan cepat.

Semoga lima tahun lagi prosesnya akan menjadi lebih baik lagi.
  
Loket 1-3: Permohonan Paspor

Seorang calo sedang mempersiapkan dokumen

Anda sopan kami segan

Suasana loket dari lantai atas

Antri beli formulir di koperasi



Do not short and sandals?

Loket Tambah Nama, yang digunakan juga untuk menangani aplikasi online

Menunggu foto sampai lecek dan menatap layar monitor dengan hampa

Kasir

Thursday, July 7, 2011

Photoblog: B&W PIA, Color KLIA

I went to Penang last January and took this shots when returning home alone via KLIA. All b&w shots were taken with direct Grainy Film effect from my E-PL1, while the color ones edited later with Film Grain effect. I like grainy pictures!






















Wednesday, January 12, 2011

Trans North Borneo

Sejak tahun 2008 saya ingin mengunjungi Brunei Darussalam. Alasannya hanya karena jarang ada yang pergi kesana dan penasaran seperti apa, karena tidak ada yang tahu. Akhirnya rasa penasaran itu terpenuhi pada bulan Desember 2010 kemarin.

Karena cukup mahal untuk terbang langsung dari dan ke Brunei, dan karena ingin mengeksplor Borneo, saya memperluas rute perjalanan menjadi: Pontianak - Kuching - Miri - Brunei - Labuan - Kota Kinabalu, dengan total durasi tujuh hari. Tiket pesawat pun sudah dipesan sebelumnya untuk rute Jakarta - Pontianak, Kuching - Miri, dan Kota Kinabalu - Jakarta.

Tugu Khatulistiwa, Pontianak

Mendekati hari H, ternyata ada hal mendesak yang memaksa saya untuk menunda perjalanan sampai tanggal 22 dan mempersingkat lamanya menjadi lima hari saja. Saya harus mengganti itinerary tiket Garuda dan Air Asia yang sudah dibeli dengan biaya yang hampir sama dengan tiketnya. Tak apalah, daripada batal berangkat.

Perjalanan ini juga menjadi solo backpacking trip saya yang pertama, meski di awal tahun 2010 saya pernah ke Banjarmasin sendirian untuk melihat pasar terapung Lok Baintan. Namun itu hanya semalam dan dilakukan ketika saya ditugaskan di Balikpapan. Jadi cukup degdegan juga, apakah akan terasa sepi dan apakah akan aman-aman saja.

Tanggal 24 saya mengejar pesawat Garuda jam 6 pagi tujuan Pontianak. Sampai di Supadio saya langsung keluar dari bandara untuk naik ojek ke pusat kota (50ribu). Di perjalanan, si tukang ojek menawarkan untuk mengantar berkeliling. Setelah menawar, akhirnya saya setuju (70 ribu).

Anak kecil bermain sarung, Pontianak

Saya diantar ke pool bus Damri untuk memesan tiket bus ke Kuching nanti malam (165ribu), ke Tugu Khatulistiwa, ke rumah makan untuk mencoba Es Lidah Buaya (very refreshing), dan ke Mesjid Jami. Ternyata, tukang ojek itu tidak membawa saya ke Mesjid Jami, dan malah membawa saya ke mesjid baru yang memang terbesar se-Pontianak. Dan dia lupa kalau hari itu hari Jumat dan harus shalat Jumat. Akhirnya dia meminta ongkos saat itu juga dan mau mengantar saya pulang ke pool Damri.

Saya marah karena perjanjian awalnya tidak begitu. Awalnya bahkan dia bilang mau mengantar ke 4-5 tempat. Akhirnya saya mengalah dengan membayar tapi tetap minta diantar ke dermaga untuk naik sampan ke Mesjid Jami. Sebelumnya memang dia sudah mencoba untuk mengantar saya ke Keraton yang ternyata ada di samping Mesjid Jami. Namun air pasang dan motor tidak bisa lewat. Sepanjang perjalanan dari bandara tadi memang banyak terlihat rumah dan ruko-ruko yang terendam air semata-kaki.

Anak-anak kecil di depan Mesjid Jami, Pontianak

Saya naik sampan ke Mesjid Jami (10 ribu, pp) dan di depan mesjid saya bertemu dengan anak-anak kecil yang sedang bermain dengan membentangkan sarungnya di atas kepala sehingga tertiup angin kencang. Mereka menghampiri saya dan terlihat penasaran dengan “abang dari Jakarta” ini. Ada satu kakak-beradik kelas 2 dan 1 SD yang lucu dan saya ngobrol dengan mereka selama 10 menit, sebelum mereka ikut shalat Jumat.

Pada dasarnya orang Kalimantan itu baik-baik (kecuali mungkin tukang ojek tadi). Meski kesimpulan saya adalah semakin suatu kota ramai dengan turis, semakin banyak penipu yang memanfaatkan ketidaktahuan turis. Seperti Saigon dan Jogjakarta.

Kaca Seribu, Keraton, Pontianak

Mesjid Jami sendiri adalah mesjid tua yang cukup menarik, tapi saya tidak masuk karena sedang ada shalat. Sekitar 200m dari mesjid ada Keraton Pontianak yang hanya berupa rumah kuno saja tapi cukup menarik dan ada benda-benda bersejarah seperti Kaca Seribu dan Al-quran yang berumur 2 abad.

Saya kemudian naik angkot Gajah Mada untuk kembali ke pool Damri dan istirahat di lantai atas. Sekitar jam 4 saya mandi lalu naik ojek ke Jl. Pattimura yang ada banyak tempat makan. Saya mencoba Es Nona yang adalah salah satu es paling enak yang pernah saya coba. Lalu karena itu adalah malam Natal, maka saya sempatkan ke gereja disitu yang dijaga banyak polisi, dan makan malam di Coffeeshop Tubrux yang menyediakan wifi gratis.

Sampan ke Mesjid Jami, Pontianak

Jam 10 malam bus saya baru berangkat setelah ditunda 1 jam karena ada kemacetan. Saya sempat istirahat dulu di lantai atas dan ngobrol dengan seorang sopir bus asal Klaten dan penjaga warung asal Makassar. Perjalanan selama hampir 9 jam itu saya lewati dengan tidur dan kondisi bus cukup nyaman dengan AC dan recliner seat.

Saya sampai di perbatasan Entikong jam 6 pagi di hari Natal. Proses imigrasi berjalan lambat karena hanya ada dua loket. Dan kita harus jalan sendiri ke gerbang perbatasan, lalu mengantri imigrasi lagi di sisi Malaysia.

Es Nona, Jl. Pattimura, Pontianak

Sekitar jam 8 waktu setempat saya akhirnya tiba di Kuching dengan tanpa satu Ringgit pun. Untung ada money changer di foodcourt di sebelah terminal. Dan saya langsung ke bus-stop untuk mencari bus ke pusat kota. Ternyata di Kuching pun ada angkot berupa minivan. Sehingga saya naik itu untuk ke daerah Pasar.
Setelah berjalan kaki memikul backpack ke Serawak Museum (karena di Kuching saya juga masih belum punya hotel), saya mendapati museum itu tutup karena public holiday. Oh well. Akhirnya saya langsung menuju waterfront dengan menumpang mobil seseorang yang menawarkan untuk mengantar kesana.

Serawak Museum, Kuching

Waterfront Kuching bagus! Rindang, asri, sepi, dan terawat. Pada dasarnya selama 10 jam di Kuching saya hanya berputar-putar di sekeliling waterfront saja. Dan naik river cruise juga tentunya (19RM). Saya minum teh tarik di After 2 café dan beli oleh-oleh di handicraft center. Namun sayang karena perut sedang bermasalah akhirnya saya hanya makan siang di KFC dengan menu ayam goreng dan nasi Hainan. Sempat juga ke India Street tapi tidak beli apa-apa. Jam 8 malam saya harus meninggalkan Kuching untuk terbang ke Miri, meski belum puas. Mungkin suatu saat saya akan mengunjungi Kuching lagi.

Waterfront, Kuching

Miri adalah kota terakhir di Serawak sebelum Brunei. Tidak ada yang terlalu menarik dan kebanyakan turis hanya mampir untuk pergi ke Brunei atau ke Mulu National Park. Di Miri saya menginap di hostel (setelah melalui 2 kota tanpa menginap) bernama Highlands (25RM). Owner Highlands awalnya cukup galak ketika saya bilang ingin melihat kamar. Rupanya dia mengira saya ingin mengecek apakah ada bedbug atau tidak dan tersinggung. Padahal sebetulnya hanya ingin mengecek kenyamanannya saja.

Anak Perancis di river cruise, Kuching

Pagi-pagi saya ketinggalan bus menuju Brunei karena tidak menyangka bahwa bus berangkat jam 8 dari terminal jauh di luar kota, bukan terminal dalam kota. Untungnya owner hostel bilang bisa pakai private car, jam 11 (60RM, kalau naik bus 40RM). Saya jadi bisa keliling Miri dulu selama 3 jam dan ternyata Miri kota yang cukup besar juga.

Highlands hostel, Miri

Saya sampai di Brunei jam 4 sore karena private car yang dimaksud baru jalan jam 12 dari Miri dan sepanjang jalan harus menjemput dan mengantar penumpang lain. Sebetulnya praktek ini ilegal namun sudah menjadi moda transportasi yang biasa untuk orang lokal.

Miri

Brunei tidak semegah yang saya kira. Bahkan jalan menuju Bandar Seri Begawan rusak dan sepanjang jalan relatif tidak ada apa-apa. Saya diturunkan di Pusat Belia dan untung saja penjaga youth hostel-nya sedang ada di tempat. Karena ada yang harus menunggu sampai berjam-jam.

Waterfront, Miri

Kondisi hostel kurang begitu terawat tapi masih memadai dan nyaman. Kamar saya (B$10) seharusnya untuk 4 orang namun malam itu satu kamar milik saya sendiri. Sehabis menaruh tas, saya keluar untuk cari makan. Panas sekali sore itu di BSB. Matahari menyengat. Dan sepi. Sangat sepi. Sebagai orang dari Jakarta yang sangat padat saya merasa aneh. Saya melewati beberapa restoran India dan Melayu namun kurang berselera. Akhirnya saya masuk ke Jolibee, sebuah Filipinos fastfood yang ada di mall dekat Mesjid Omar Ali. Ternyata di Brunei memang ada banyak orang Filipina.

Ruang tamu / ruang bersama di Highland hostel, Miri

Setelah itu baru saya masuk ke mesjid berkubah emas dan ber-AC 24 jam seminggu itu. Mesjid Omar Ali membuat orang ternganga ketika masuk ke dalam aulanya yang dingin. Namun sayang sekali dilarang memotret di dalam mesjid. Jadi bagi yang ingin melihat memang harus datang sendiri kesana. Waktu itu saya mengenakan celana pendek dan penjaga bilang saya harus memakai jubah juga jika mau masuk. Jadilah saya mengenakan jubah hitam semata-kaki itu seperti pengunjung perempuan. Setidaknya tidak disuruh pakai scarf.

Dari mesjid saya jalan kaki ke Kampung Ayer, tempat tinggal warga Brunei yang memilih untuk hidup dengan cara tradisional dengan tinggal di rumah di atas air. Saya menyusuri jalan-jalan kayu di antara rumah-rumah dan sempat bermain juga dengan anak kecil di kampung itu. Anak kecil memang objek foto yang paling menarik!

Mesjid Omar Ali, Brunei Darussalam

Dan yang tidak boleh terlewat dari mengunjungi Kampung Ayer adalah keliling kampung dengan menggunakan water taxi alias perahu motor. Saat itu ada sepasang bule juga yang kemudian saya ajak untuk sharing perahu. Setelah menawar akhirnya disepakati per orangnya B$5. Tukang perahu itu membawa keliling Kampung Ayer selama kira-kira 40 menit, termasuk sampai ke dekat Istana Sultan. Ada sekawanan burung yang terbang berputar-putar di atas kepala.

Perahu permanen di depan Mesjid Omar Ali, Brunei Darussalam

Malamnya saya makan malam bersama sepasang bule tadi yang ternyata dari Belanda (berdasarkan pengalaman, saya hanya pernah bertemu turis bule asal Belanda, Jerman, Australia, dan Perancis). Mereka juga menginap di Pusat Belia dan sama-sama berencana untuk ke Kota Kinabalu besok. Maka saya meminta ijin untuk gabung.

Jalan di Kampung Ayer, Brunei Darussalam

Setelah makan malam saya berpisah dan memutuskan untuk pergi ke sebuah café kecil yang keren dan buka 24 jam untuk mencari wifi dan juga untuk menonton pertandingan final AFF antara Indonesia dan Malaysia (Indonesia kalah 3-0). Minuman disana mahal dan tidak enak. Dan mereka tidak punya alkohol karena alkohol dilarang di Brunei.

Esok paginya saya sudah meninggalkan Pusat Belia jam 7.10 dan pergi ke terminal bus untuk naik bus 37 (atau 38) menuju Muara (B$1). Perjalanan bus di Brunei ini sangat menyenangkan karena sopir bus mengenal semua orang dan menurunkan semua orang di tempat masing-masing tanpa mereka perlu bilang apa-apa. Suasananya seperti keluarga. Saling tegur sapa dan bercanda. Bus-nya pun meski sudah tua namun nyaman dan dingin.

Anak kecil Kampung Ayer, Brunei Darussalam

Dari Muara saya harus naik bus lain lagi ke Serasa Ferry Terminal. Saat itu ada satu sopir bus yang mau mengantar kita di sela-sela shift-nya, karena bus yang dimaksud belum datang. Mungkin dia tahu kita sudah telat jadi mau mengantar (B$1 juga per orang). Jadilah 3 orang diantar pakai 1 bus besar..

Naik water taxi keliling Kampung Ayer, Brunei Darussalam

Serasa Ferry Terminal pun sepi dan untungnya saya belum telat. Perjalanan ke Labuan memakan waktu 1 jam, lalu transit di Labuan 3 jam (sempat makan siang dan foto-foto juga, meski tidak terlalu ada yang menarik), lalu berangkat lagi ke Kota Kinabalu selama 3 jam.

De Royalle Cafe, Brunei Darussalam

Sampai di Kota Kinabalu sudah jam 4 sore. Jesselton Point (ferry terminal) sangat menarik dan laid back. Sepertinya menyenangkan melihat matahari terbenam disana sambil minum teh. Setelah berputar-putar di kota, saya memutuskan untuk menginap di Hotel Capital (130RM), karena sedang ingin memanjakan diri setelah 1 malam di bus dan 2 malam di hostel.

Memberi makan burung, Labuan

Kota Kinabalu punya atmosfer yang sedikit seperti Bali meski tidak semenyenangkan itu. Waterfront-nya menarik dan ada bagian khusus untuk warung-warung penjual makanan seperti ikan bakar, barbeque, es buah, dll. Suasananya lebih seperti di Indonesia dibanding di Penang misalnya.

Jesselton Point, Kota Kinabalu

Setelah tidur cukup di hotel, jam 8 pagi saya keluar mencari sarapan, karena hotel itu tidak menyediakan sarapan! Namun di samping hotel ada foodcourt semacam kopitiam yang enak dan saya sarapan mee goreng dan kopi disana. Dan membeli steam bun (bakpao) juga di jalan pulang.

Sabah Museum, Kota Kinabalu

Saya jalan kaki ke Sabah Museum selama kurang lebih 40 menit, sambil melihat-lihat dan mengambil gambar. Namun saya sarankan untuk naik bus ke Wawasan Plaza, dan lanjut lagi bus 13 ke museum, masing-masing 50sen. Sabah Museum (8RM) biasa saja, namun Heritage Village-nya bagus, meski tidak sebesar TMII. Hutan tanaman obat-obatannya juga menarik. Museum itu memang sangat luas dan memiliki hutan sendiri.

Pohon di hutan Sabah Museum, Kota Kinabalu

Sore harinya sewaktu saya berencana untuk ke handicraft center dan ke pasar ikan, hujan turun dengan lebatnya. Akhirnya saya tidak bisa kemana-mana dan terperangkap di sebuah mall (atau pasar?) yang jelek dan terpaksa makan disana juga.

Sabah Museum, Kota Kinabalu

Hujan tidak berhenti juga sampai saat-saat saya harus mengejar pesawat untuk pulang ke Jakarta. Padahal saya ingin sekali melihat sunset di waterfront. Saya sempat menunggu bus untuk ke airport namun bus-nya tidak datang-datang. Daripada ketinggalan pesawat, akhirnya terpaksa naik taksi (25RM). Memang yang paling tidak enak dari backpacking sendirian adalah harus membayar taksi sendiri, terutama dari dan ke airport.

Patung lumba-lumba di waterfront, Kota Kinabalu

Saya nanti ingin mengunjungi Kota Kinabalu lagi untuk mendaki Mt. Kinabalu. Dan ingin ke Kuching lagi untuk ke Serawak Museum dan untuk jalan-jalan santai di waterfront. Dan mudah-mudahan nggak sendirian.

Sekian.