Tuesday, December 16, 2008

Bali Komodo Part 4: Tujuan Terakhir

Saya masih terlelap ketika perahu yang kami tiduri terbalik. Laut pun seperti berubah menjadi bukit-bukit air yang bergerak cepat dan memporak-porandakan perahu kami, yang sekarang hanya terlihat ujungnya saja. Langit belum juga terang dan petir menyambar-nyambar.

Saya sedang bersusah payah agar tetap berada di atas air ketika sesuatu menyentuh kaki saya. Awalnya saya kira itu kaki teman saya yang akhirnya saya temukan. Sampai tiba-tiba dari permukaan air muncul monster laut yang sangat menakutkan.

"Lim?"

Ternyata itu semua hanya mimpi? Ya iyalah.. masa.. (silahkan lanjutkan sendiri).

Pagi itu sinar mentari menyapa kami dengan hangat. Kami masih bermalas-malasan di balik selimut ketika kapten kapal kami tiba-tiba menyalakan mesin dan perahu pun mulai bergerak ke Pulau Komodo. Asisten Kapten menyiapkan sarapan pagi yaitu sepiring pisang goreng dan bergelas-gelas teh manis. Sederhana namun nikmat.

Tak lama, kami pun sampai di Pulau Komodo. Tujuan utama kami. Perahu Sang Kapten tidak bisa menepi karena tidak ada dermaga dan kami dijemput oleh perahu kecil mirip sekoci berwarna kuning terang.


Di perahu kecil menuju Pulau Komodo

Dari luar, tampak Pulau Komodo lebih terurus daripada Rinca. Komodo lebih tampak seperti Taman Nasional yang eksotis namun artificial. Sedangkan Rinca adalah versi 'liar' dan penuh petualangan.


Di depan Pulau Komodo

Dari ukuran, Pulau Komodo jauh lebih besar daripada Pulau Rinca. Itu pula yang menyebabkan kami agak jarang melihat komodo di Pulau Komodo. Karena mereka tersebar di seluruh pulau. Sedangkan Rinca lebih kecil sehingga komodonya terkonsentrasi di beberapa tempat saja.

Setelah long trek kemarin di Pulau Rinca, disini kami memilih short trek saja dan di beberapa spot kami berpapasan dengan turis bule dari (kalau tidak salah) Australia. Kalau saya perhatikan yang banyak pergi ke Komodo adalah turis-turis bule yang sudah cukup berumur. Mungkin turis mudanya lebih memilih diving yang juga sangat banyak tempatnya di Flores.

Sepanjang trekking (ranger kami yang ini tidak se-asyik ranger kami sebelumnya, Ivan si mahasiswa dari Bandung). Suaranya kecil dan kurang informatif. Tidak seperti Ivan yang memperbolehkan kami memeluk seekor komodo. OK, menyentuh.

Setelah puas trekking (lebih karena capai dibanding puas), kami bersantai di Cafe Ora (orang lokal menyebut komodo dengan ora), sambil minum minuman ringan dengan harga selangit. Kami juga beli kaos Go Komodo! (juga dengan harga selangit), hanya karena kami butuh oleh-oleh dari Pulau Komodo. Karena setiap dari kami beli kaos yang sama, kami jadi seperti rombongan anak sekolah yang tersesat.


Di pantai memakai kaos Go Komodo!

Total total, mungkin kami hanya ada di Pulau Komodo selama empat jam. Setelah itu kami langsung naik perahu kami tercinta lagi dan bergerak menuju Pulau Bidadari (ya, namanya sama dengan sebuah pulau di Kepulauan Seribu). Setelah makan siang di atas perahu (kornet sapi yang dihangatkan, lalu dimakan dengan roti cokelat), kami kembali berjemur dan tidur di atas perahu.


Berjemur di atas perahu Kapten Iling

Sayangnya kami tidak punya banyak foto di Pulau Bidadari. Namun pulau itu mempunyai spot yang sangat indah untuk snorkeling. Mungkin setara dengan yang ada di Bunaken. Pantainya pun bagus dan nyaris tidak berombak (menyenangkan untuk yang mau berjemur atau snorkeling).

Matahari semakin turun dan setelah puas berenang kami kembali naik ke perahu untuk pulang ke Labuanbajo. Di pelabuhan, kami harus berpisah dengan Kapten Iling dan asistennya (setelah membayar ongkos tentu saja). Mereka berdua sangat saya rekomendasikan untuk yang mau ke Komodo. Orangnya baik, ramah, dan bahkan ketika kami snorkeling, Kapten Iling langsung memakai celana pendek dan berjaga layaknya lifeguard dari atas kapal. Oh, dan dia juga meminjamkan kami snorkle dan memasak pisang goreng untuk kami, di luar makan malam yang kami minta.

Dari pelabuhan, kami naik angkot ke Golo Hilltop, sebuah hotel di atas bukit dengan pemandangan menakjubkan ke arah pantai dan Pulau Rinca. Harga kamar tanpa AC-nya sebetulnya murah. Namun akhirnya kami menyerah dan jam 11 malam kami minta AC dinyalakan dan harga kamar langsung naik 2 kali lipat.


Tidur di balik kelambu

Namun sebelumnya kami turun ke kota untuk makan malam. Setelah berputar-putar, kami memutuskan untuk makan di Hotel Gardena (yang membuat saya berpikir, mengapa kami tidak menginap disini saja?). Makanannya cukup murah dan enak. Dan porsinya pun banyak.

Setelah makan, kami kembali jalan kaki menuju hotel (cukup jauh, namun kami tidak berhasil menemukan angkot). Di kamar, kami main kartu dan minum bir lagi sampai mengantuk. Akhirnya kami tidur di hotel ber-AC setelah 3 malam tidur dengan kipas angin dan angin laut. Tidak heran malam itu kami tidur nyenyak sekali.

Keesokan harinya, kami sarapan di hotel dengan menu pancake atau omelet plus buah-buahan yang sangat enak. Kami makan sambil menikmati pemandangan yang sulit ditandingi oleh hotel manapun juga.


Habis sarapan di Golo Hilltop

Habis makan, kami pun bergegas menuju airport dengan naik angkot yang memaksa kami bayar 10ribu per orang. Total 60ribu. Perjalanan angkot termahal yang pernah kami alami. Sampai di Airport Komodo, kami berharap pesawat Merpati kami sudah siap berangkat dan kami hanya perlu menunggu 4 menit.


Menunggu pesawat di Bandara Komodo..

Alih-alih 4 menit, kami harus menunggu 4 jam gara-gara di-cancel. Luar biasa. Kami sudah was-was karena takutnya tidak bisa mengejar pesawat Air Asia kami ke Jakarta malam harinya. Namun jam 4 sore kami mendapat pesawat pengganti dari Riau Airlines. Kalau tahu begini, kan kami bisa mengeksplor Labuanbajo lagi.

Sampai Bali, hari sudah sangat sore dan kami langsung naik mobil sewaan menuju tempat beli oleh-oleh, yaitu Kampung Jepang dan Titiles di Denpasar, lalu makan malam singkat di daerah Seminyak. Sangat singkat sampai Bapak yang menjaga warung bingung.

Kami pun kembali was-was karena takut ketinggalan pesawat. Berbekal peta dan pengalaman beberapa hari sebelumnya, akhirnya berhasil juga sampai bandara sekitar 10 menit sebelum waktu keberangkatan, dan kami malah sempat merekam kesan dan pesan kami tentang perjalanan ini dengan camcorder.

Pesawat Air Asia itu take-off tepat waktu, dan perjalanan terasa sangat singkat. Setelah mendarat, enam orang yang sudah bersama-sama dikejar-kejar komodo itu pun harus berpisah. Well, setidaknya sampai beberapa hari kemudian ketika kami bertemu kembali untuk berbagi foto.

Adios, amigos!

Sunday, November 30, 2008

Babi Buta yang Ingin Terbang



Babi Buta secara singkat bercerita tentang bagaimana rasanya menjadi orang Cina di Indonesia. Tanpa struktur yang jelas dan cerita berpindah-pindah dari masa kecil Linda (Ladya Cheryl), masa dewasa, dan diselingi dengan gambaran metafora seekor babi yang diikat ke sebuah batang pohon.

Begitu banyak yang bisa kita diskusikan mengenai film ini. Termasuk adegan disturbing oleh Joko Anwar, Pong Harjatmo, dan Wicaksono. Adegan apa itu, lebih baik ditonton sendiri. Hampir pasti, film ini tidak akan pernah diputar di bioskop di Indonesia (selain Kineforum tentunya). Selain muatan politis yang sangat berani, juga karena adegan disturbing itu tadi.

Cerita berjalan dengan subtle dan minim dialog. Sejak adegan pembuka yang berupa pertandingan internasional bulu tangkis Indonesia lawan China dengan angle statis dan hampir slow motion tanpa suara (hanya suara raket saja yang kita dengar), kita tahu bahwa ini bukan film Indonesia pada umumnya. Apalagi setelah mendengar dialog komentar seorang anak yang sedang menonton pertandingan itu: "Yang Indonesia yang mana?".

Sebuah lagu dari Stevie Wonder yang dinyanyikan ulang oleh Ramondo Gascaro dari Sore, diputar terus menerus sepanjang film ini. Mungkin saya perlu menyelidiki lebih jauh liriknya ( Saya baru saja ingin menelepon untuk bilang saya cinta kamu.. ) untuk menemukan hubungannya dengan cerita.

Awalnya saya tidak menyadari arti dari judul film ini. Namun Babi Buta itu paling mungkin mengacu pada karakter Halim (Pong Harjatmo) yang buta karena mengoperasi sendiri matanya agar terlihat lebih lebar, dan bermimpi untuk mendapatkan Green Card Lottery agar bisa terbang ke Amerika.

Ibunya, Verawati (pemain bulu tangkis di adegan pembuka tadi), pasrah saja dengan kondisinya. Ia berhenti bermain karena kehilangan identitas sebagai pemain Indonesia. Sehari-hari hanya membuat pangsit saja di rumah.

Namun Linda (Ladya Cheryl) tidak ambil pusing dengan keadaan orang tuanya. Ia lebih suka bermain petasan dengan temannya, Cahyono, seorang Jepang-Menado yang suka dipukuli teman-teman sekolahnya, hanya karena dia mirip orang Cina. Dan juga mengobrol dengan Opanya sambil bermain biliar.

Awalnya saya kurang mengerti arti dan tujuan dari adegan disturbing yang saya sebut di awal, termasuk seluruh subplot tentang Helmi dan Yahya. Namun ternyata adegan itu (dan karakter Helmi dan Yahya) cukup krusial dan menjadi metaphora dari keadaan yang sesungguhnya.

Babi Buta mengangkat isu-isu sensitif ke permukaan, tanpa menjadi terlalu politis. Namun ini bukan untuk penonton Indonesia pada umumnya. Saya rasa, Babi Buta lebih cocok ditonton oleh filmmaker-filmmaker lokal sebagai acuan bagaimana caranya mengangkat tema yang personal dan sensitif menjadi sebuah cerita yang menarik dan memiliki nilai estetis yang tinggi, lalu mengemasnya menjadi film yang lebih public friendly.

Babi Buta, salah satu film Indonesia terpenting yang pernah dibuat.

Bravo, Edwin!

Babi Buta yang Ingin Terbang
Sabtu, 22 November 2008
Kineforum, TIM

Tuesday, November 25, 2008

Bali Komodo Part 3: Berpetualang di Taman Jurassic

Pagi itu kami mendapat sarapan pagi dari hotel (saya rasa di Dua Dara kemarin juga seharusnya kami dapat sarapan. Sayangnya saya tidak minta). Setangkup roti panggang, kopi, teh, dan segelas besar jus (entah jus apa). Kurang lebih sama dengan yang ditawarkan hotel berbintang, namun dengan penyajian yang ala kadarnya.

Selesai makan, kami tersadar bahwa kami harus sampai di airport saat itu juga, padahal kami masih di Ubud (OK, sedikit berlebihan). Kami langsung check-out dan ngebut ke arah Denpasar. Ketegangan melanda kami semua dan perut saya sakit akibat jus tidak jelas tadi. Kami semua duduk terdiam di mobil sambil harap-harap cemas. Mudah-mudahan tidak nyasar lagi.

Untungnya, berkat bantuan peta dan pengalaman jalan pergi kemarin, kami bisa sampai airport tepat pada waktunya, yaitu 15 menit sebelum pesawat lepas landas. Setelah saya menyelesaikan urusan dengan perut di toilet airport yang tidak bisa di-flush, saya langsung menghampiri yang lain dan bergegas menuju ruang terminal. Semua dilakukan dengan sangat cepat dan tiba-tiba kami sudah duduk berhadap-hadapan di dalam bus airport menuju pesawat.

Saya mengira pesawat Merpati itu kecil. Ternyata memang kecil. Namun penerbangan sangat mulus (bahkan lebih mulus dari penerbangan Air Asia dari Jakarta). Dan kami bisa melihat keindahan Bali, Lombok, dan Flores dari udara.


Di depan Merpati, Bandara Komodo

Setelah mendarat di Bandara Komodo (ya, namanya memang itu), kami langsung disambut oleh tukang bemo (sebutan untuk angkot) dan tukang-tukang lainnya yang menggedor-gedor kaca ruang kedatangan. Kami merasa terancam! Walaupun saya juga agak merasa seperti selebritis yang disambut wartawan.

Kami pun memberanikan diri untuk menerobos orang-orang itu, lalu ke parkiran untuk negosiasi langsung dengan tukang bemo yang berdiri di samping bemonya. Setelah menawar, akhirnya mereka (supir dan keneknya) bersedia mengantar kami berenam ke pelabuhan dengan ongkos 30ribu.


Di Pelabuhan Labuanbajo

Pelabuhan di Labuanbajo cukup bagus dengan pemandangan indah ke laut lepas dengan dua dermaga panjang. Kami berjalan menyusuri dermaga sambil mencoba menawar perahu untuk mengantar kami ke Pulau Rinca dan Komodo. Setelah diskusi yang alot dengan seorang awak kapal berbahasa Inggris (memangnya kita di luar negeri?), akhirnya kita diselamatkan oleh yang nantinya akan menjadi kapten kapal kita tercinta, Pak Manjailing, atau akrabnya dipanggil Pak Iling, atau kalau mau lebih akrab lagi: Cap.

Pak Iling bersedia mengantar kami ke Pulau Rinca dan Komodo selama 2 hari 1 malam dengan tarif 1,5 juta termasuk makan malam dan menginap di atas kapal. Cukup pas dengan budget yang kami anggarkan, sekitar 250ribu per orang.

Kami memberi uang 200ribu ke Pak Iling untuk membeli bahan-bahan makanan untuk makan malam kami nanti, dan kami menunggu sambil makan siang di restoran di depan pelabuhan. Di restoran itu, mungkin saya makan ayam goreng terenak yang pernah saya makan.

Jam 1 tepat kami kembali ke pelabuhan dan Pak Iling sudah siap untuk berangkat dan sudah membeli bahan makanan. Kami pun naik ke perahu dan berangkat menuju Pulau Rinca. Kira-kira 3 jam dari Labuanbajo.


Perahu Pak Iling

Perahu Pak Iling kecil dan sederhana, tapi sangat menyenangkan. Ombak tidak terlalu besar dan angin sepoi-sepoi menerpa wajah kami sambil menikmati pemandangan laut dan pulau-pulau. Sepanjang perjalanan, tidak pernah kami berada di laut lepas tanpa pulau disamping. Selalu ada pulau di kanan atau kiri. Itu membuat kami merasa aman dan membuat pemandangan tidak membosankan.


Berjemur di perahu

Setelah puas berjemur di atas perahu Pak Iling, kami sampai di Loh Buaya, Pulau Rinca. Perlu Anda ketahui, Taman Nasional Komodo adalah taman nasional termahal di Indonesia. Satu orang untuk 3 hari kunjungan akan dikenakan biaya sebesar 87ribu belum termasuk biaya untuk Medium atau Long trek. Jadi total lebih dari 100ribu hanya untuk tiket masuk.

Kami sangat beruntung karena mendapat ranger yang gaul dan asyik yaitu Ivan yang ternyata adalah mahasiswa pariwisata di Bandung yang sedang magang menjadi Ranger Komodo. Ivan memperlihatkan kita komodo yang sedang pesta kerbau dan bahkan mengijinkan kita untuk memeluk salah satu komodo. Atau lebih tepatnya, menyentuh dengan ujung jari.

Menjelang sore, hujan turun rintik-rintik, namun dengan volume konstan dan terus-menerus. Akhirnya baju dan kamera kami basah. Untung saja tertolong dengan pepohonan yang rimbun (walaupun di beberapa tempat, tidak ada pohon sama sekali). Namun begitu kami tetap bersemangat (malah lebih bersemangat) untuk menjelajah Rinca dan foto-foto, meski ada resiko kamera kami rusak. Handycam saya pun sudah terkena tetes-tetes air.


Di Pulau Rinca

Setelah puas menjelajah dan menikmati matahari tenggelam, kami pun kembali ke arah Loh Buaya. Di malam hari komodo-komodo bersembunyi sehingga kami tidak melihat lagi. Sekarang giliran nyamuk-nyamuk sebesar komodo yang keluar. OK, berlebihan. Namun nyamuk disana sangat ganas dan membawa virus malaria. Akhirnya kami terus menerus menyemprot Off!, sebuah merk obat anti nyamuk untuk militer yang dibawa teman kami Joni dari Singapura. Sepanjang perjalanan kami di Flores, bau yang kami ingat adalah bau Off! ini.

Sampai di Loh Buaya, hari sudah betul-betul gelap, dan Pak Iling sudah menunggu di dermaga kecil itu. Kami langsung naik ke perahu dan ganti baju. Asisten Pak Iling yang saya lupa namanya juga menyiapkan teh manis untuk kami minum. Ivan dan beberapa orang lain pergi memancing di dermaga, di samping perahu kami.

Tak lama kemudian, makan malam dihidangkan dan kami pun makan dengan cukup lahap. Menu malam itu (yang dimasak Pak Iling dan asistennya) adalah ikan asam manis, sayuran seperti urap, dan indomie, dengan makanan penutup berupa pisang berwarna hijau.

Setelah selesai makan, kami mengobrol dengan Ivan dan yang lainnya di dermaga, sampai Pak Iling memberi tanda bahwa jangkar mau diangkat. Ternyata, kami tidak tidur menepi di Pulau Rinca, namun sekitar 100meter dari pulau. Atau dengan kata lain, di tengah lautan.


Bercengkerama sebelum tidur

Pak Iling menyingkirkan bangku ke samping, lalu menggelar kasur di tengah perahu. Lengkap dengan selimut dan bantal. Sebelum tidur, kami minum bir yang kami beli dengan harga mahal di Loh Buaya. Sambil bercerita, bergosip, dan membuat pengakuan.

Sekitar tengah malam, kami pun terlelap.

Besok: Akhirnya, Pulau Komodo.

Tuesday, November 18, 2008

First Mobile Post

Hi everyone!

This is my first mobile blogging post. I just noticed that blogger has this kind of feature and I thought it's really cool.

Well, actually, I just got this new smartphone, Samsung i600, and I want to make use of it. I know I still owe you guys Bali Komodo Part 3 and 4, but I promise I'll write those as soon as I can.

Right now, 11.21pm at night, I'm on my bed after long hours at work. I'm rendering my Komodo video with my computer (most likely I will fall asleep before it's done, so I'll set the timer), and I want to read State of Fear by the late Michael Crichton on this smartphone. Maybe a chapter until I'm too sleepy to read.

Nighty night.

Monday, November 10, 2008

Laporan dari Pembukaan FFPK 2008

Saya datang cukup telat, sekitar jam 7.20 dari yang seharusnya jam 6.30 sore. Sudah telat, salah masuk pula. Saya malah masuk ke TIM 21. Saya lupa bahwa Kineforum mempunyai lobinya sendiri. Akhirnya saya keluar lagi dan melihat ke sebelah kiri dan baru terlihat keramaian yang saya cari, lengkap dengan meja tamu untuk tanda tangan dan ambil buku acara.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, si penjaga meja tamu agak terkesiap ketika saya bilang saya adalah peserta. Mungkin penampilan saya bukan penampilan peserta pada umumnya. Setelah tanda tangan, saya diberi nametag keren dan buku acara.


Saya merasa belum pantas disebut Pembuat Film

Saya pun langsung masuk ke dalam. Tadinya saya berharap acara ngaret dan baru dimulai. Tapi sepertinya cukup tepat waktu juga, dan ketika saya masuk ke dalam ruang pemutaran (bukan Studio 1 TIM, namun ruangan di sebelahnya), lampu sudah dimatikan, tandanya kata-kata sambutan panitia, juri, dan juga celotehan MC sudah berakhir.

Setelah saya duduk, di layar projeksi sedang diputar klip FFPK 2008 yang berisi potongan-potongan adegan dari film-film yang lolos seleksi diiringi lagu yang sungguh menyenangkan, dan tulisan-tulisan penjelasan tentang festival. Yang membuat saya bangga adalah ketika melihat footage dari in3cities pada klip itu. Saya merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar. Dua adegan yang diambil adalah:


Adegan di Bukit Batok Park, Singapura


Lampu-lampu mobil di Jl. Asia Afrika, Jakarta

Aneh juga sebetulnya mengapa lampu-lampu out of focus itu diambil. Tapi cukup pas dengan lagu dan gambar yang lainnya.

Setelah pemutaran klip itu (yang pasti akan diputar di setiap program pemutaran), kita diperlihatkan dua film pembuka, yaitu Ben, dan LASTRI, apa sing kowe goleti?. Ben adalah film yang agak aneh karena hanya berupa potongan video yang diperlambat sampai hampir diam, lalu ditambahkan voice over. Sedangkan Lastri adalah film Yogyakarta yang bercerita tentang seorang istri yang ingin pergi menjadi TKI di luar negeri, namun dilarang oleh suaminya.

Sejujurnya saya kurang menyukai keduanya, walaupun Lastri digarap dengan teknis yang sungguh baik dan akting yang natural dengan dialog sepenuhnya dalam bahasa Jawa. Namun masih terlalu pop dalam arti mengikuti cara-cara bercerita arus utama dan juga penggunaan musik yang kurang pas.

Setelah film pembuka diputar, tiba-tiba lampu dinyalakan dan acara pun selesai. Seorang usher menyapa saya dan memberitahu bahwa di belakang ada snack dan minuman. Saya pun mengucapkan terima kasih lalu berpapasan dengan Nia di Nata, yang cukup membuat saya salut karena dia mendukung film pendek kita. Riri Riza yang filmnya diputar saja tidak terlihat.

Ketika saya berjalan keluar, tiba-tiba ada seorang perempuan panitia yang memanggil saya lalu berkata, "Mas peserta kan? Boleh kita wawancara sebentar?". Ketika itu, sedang ada peserta lain yang sedang diwawancara (lengkap dengan kamera video dan lampu), sehingga saya harus menunggu sejenak.

Jika saya tidak salah ingat, ini adalah kali pertama saya diwawancara (selain wawancara kerja tentunya). Pertanyaannya berkisar antara: bagaimana perasaannya setelah filmnya lolos kali ini? (senang), apa pendapatnya tentang acara pembukaan? (maaf, saya telat), dan apa pendapat Anda tentang film pendek Indonesia (mungkin ada baiknya jika FFPK adalah bagian dari Jiffest).

Setelah wawancara, saya pun mengambil snack (air putih dan kue basah yang saya tidak tahu namanya), makan sambil melihat-lihat pengunjung lain, lalu pulang.

Mudah-mudahan besok seramai, atau kalau bisa, lebih ramai lagi dari ini.

Sunday, November 9, 2008

Gara-Gara Judi Bola


Tiba-tiba saja, Kalyana Shira mempunyai divisi bernama Happy Ending Pictures (yang mudah-mudahan film-filmnya tidak berakhir bahagia semua). Ok, mungkin tidak tiba-tiba. Tapi apakah perlu sampai membuat label baru untuk jenis film-film yang berbeda? Mungkin ya mungkin tidak.

Happy Ending Pictures memulai debutnya dengan Gara-Gara Bola, sebuah film yang, percayalah, sama sekali bukan tentang sepak bola. Perlu dipertanyakan juga, apa yang menyebabkan judul itu dipilih dan mengapa design judulnya mengikuti logo tabloid Bola.

Namun yang paling menyesatkan tentu adalah posternya. Saya yakin, semua penonton yang menonton film ini karena terpancing posternya, akan kecewa. Mereka pasti berharap menonton film semacam Bend It Like Beckham atau malah mungkin Shaolin Soccer versi Indonesia. Namun adegan lapangan hijau yang mereka dapatkan hanyalah pada adegan pembuka yang kurang signifikan.

Selebihnya? Tidak jauh-jauh dari uang, judi, banci, dan tentunya, sex. Namun apakah berarti Gara-Gara Bola film yang tidak berhasil? Tidak juga.

Cerita berputar di sekitar Heru (Junot) dimana dia tiba-tiba mempunyai hutang dua puluh juta karena kebodohan sobatnya, Ahmad (Winky). Lalu, dia terlibat hubungan cinta yang panas dengan anak dari bos mafia perjudian. Belum lagi dia dipecat oleh manager-nya di Bakmi Yona (yang suka menilep keuntungan jual bakmi untuk membuat album dangdut) karena jarang masuk kerja dan sering kasbon untuk bayar kos. Padahal, ayah Heru adalah pemegang saham Bakmi Yona.

Timeline yang hanya satu hari (mungkin kurang) dan dengan flashback-flashback yang singkat dan tiba-tiba, membuat film ini mempunyai ritme yang berbeda dibanding kebanyakan film lokal saat ini. Namun di bagian-bagian tertentu, film ini kurang bertutur dengan baik, seperti ketika memberi flashback pada adegan pencurian. Efeknya tidak terasa seperti ketika menonton Ocean's 11, tetapi hanya, lho, bukannya tadi memang begitu?

Pengaruh Joko Anwar kental sekali di film ini, termasuk ciri khas-nya seperti di permulaan film: "Ada tiga tipe penggemar bola. Yang suka main, suka nonton, dan suka judi bola". Sebetulnya lama-lama bosan juga dengan pengulangan seperti ini.

Winky dan Junot bermain cukup bagus. Terutama Winky dengan gaya rambut yang cukup mengganggu. Namun penampilan terbaik datang dari pemeran-pemeran pembantu seperti Indra Herlambang (sebagai penagih hutang galak namun manja) dan Farishad Latjuba (sebagai penagih hutang bersuara dalam dan berat). Cukup mengejutkan juga melihat Farishad di film ini. Karena setahu saya dia adalah sineas film pendek, bukan aktor.

Aida Nurmala pun meninggalkan akting kaku dan berlebihan di Arisan dan berubah menjadi cewek simpanan/manajer Bakmi Yona yang saking inginnya menjadi penyanyi dangdut terkenal, rela dipakai oleh produsernya dan mendiskon CD dangdutnya menjadi sepuluh ribu saja. Sedangkan disini Amink tetap menjadi Amink di Extravaganza (bukan sesuatu yang buruk juga sebetulnya).

Kejutan terbesar film ini adalah di pendatang baru Laura Basuki yang mungkin akan menjadi bahan pembicaraan orang-orang. Kemunculan pertama dia di film ini adalah pada adegan ciuman panas antara dia dan Junot. Sesuatu yang paradoks karena karakter Laura (ya, nama perannya juga Laura) adalah anak sekolah lugu yang polos.

Jika di film lain sesuatu yang serba kebetulan adalah menyebalkan, disini kebetulan itu menjadi sesuatu yang menyenangkan dan kocak. Akhir film yang seperti itu cukup memuaskan penonton, apalagi ditambah video klip Merem Melek oleh Mieke Asmara.

Saya kurang mengetahui tentang duo sutradara/penulis Agasyah Karim dan Khalid Kashogi. Tentang mengapa mereka menyutradarai film ini berdua, dan mengapa mereka memilih untuk diberi kredit dengan nama Karim/Kashogi. Namun yang pasti saya akan menanti-nantikan komedi berikut dari mereka.

Blok M 21, Studio 6, 17.45, H6

Tuesday, November 4, 2008

Bali Komodo Part 2: Diantara Sawah Hijau Ubud

TJam tujuh pagi lewat kami bangun dan bergegas menuju pantai Kuta. Dari kemarin saya sudah merengek minta ditemani main body boarding. Namun ternyata ketiga teman saya tidak ingin berenang.

Ke pantai Kuta tidak berenang? Menurut saya itu sama saja dengan ke restoran tapi tidak makan. Akhirnya, saya seorang diri menyewa sebuah body board, lalu berselancar sendirian sementara yang lain mencari kerang di pasir.


Seorang body boarder

Saya berselancar hanya sekitar satu jam. Namun cukup untuk memuaskan keinginan yang terpendam sejak lama, meskipun pagi itu ombak kurang cukup besar untuk menyeret saya sampai ke tepi pantai.

Selesai berenang, kami menjemput dua teman kami di airport yang memang berangkat belakangan. Oke, sejujurnya saya tidak ikut menjemput karena harus mandi sehabis body boarding. Tapi itu demi menghemat waktu agar nanti cepat sampai di Ubud.

Setelah mereka tiba di Dua Dara, kami berkemas dan langsung mencari tempat untuk sarapan. Awalnya bingung juga mau makan dimana. Tapi lalu kami berpikir untuk cari makan di daerah Seminyak. Pilihan jatuh ke restoran pertama yang kelihatannya enak dan tidak terlalu mahal, yaitu Warung Ocha.

Menunya cukup oke, dari omelet, pancake, sampai ke makanan prasmanan juga ada. Tempatnya pun sangat cozy dengan nuansa alam. Kayu-kayuan dan daun-daunan. Tidak luas, namun malah membuat suasana jadi akrab.


Di depan Warung Ocha

Selesai makan tadinya kami ingin mencari hotel untuk malam kedua di Kuta. Tapi saya pikir, mengapa tidak menginap di Ubud? Akhirnya semua setuju dan kami langsung bergerak menuju Ubud dan mencari hotel disana.

Berdasarkan informasi dari Lonely Planet, penginapan murah banyak terdapat pada Jl. Kajeng. Maka kami pun kesana dan melihat-lihat beberapa penginapan. Kami memilih hotel yang termurah, yang terletak di paling ujung sebelah dalam, yaitu Puri Bebengan. Tarifnya 150ribu per malam untuk tiga orang.

Karena sudah waktunya makan siang, kami pergi ke warung Bu Oka untuk makan babi guling. Mau lihat babi gulingnya seperti apa? Ini dia:


Babi Guling Bu Oka

Nikmat, lezat, dan banyak. Tapi cukup mahal juga (25ribu per porsi), dan tentunya tidak sehat. Untung Bu Oka tidak membuka cabang di Jakarta. Jika tidak mungkin tiap minggu saya kesana. Namun karena waktu makan disini kebetulan saya masih dalam kondisi cukup kenyang, akhirnya saya hanya makan setengah porsi.

Dari Bu Oka, kami berjalan kaki sebentar menyusuri jalanan Ubud, lalu naik mobil menuju Museum Antonio Blanco, sebuah museum lukisan yang mungkin bisa juga disebut Taman Burung.


Bersama burung-burung di Antonio Blanco

Banyak sekali burung-burung berwarna-warni disini. Dari kakaktua sampai.. ups! Ternyata saya hanya tau jenis kakaktua saja. Tiket untuk turis domestik adalah 30ribu, termasuk welcome drink yang sangat menyegarkan.

Ternyata Antonio Blanco adalah pelukis beraliran naturalis (kayaknya). Objek-objek lukisannya banyak yang 'belum jadi' dan tidak jauh-jauh dari wanita tanpa busana. Berbeda sekali dengan anaknya, Mario Blanco (yang masih tinggal disitu), yang kebanyakan melukis buah-buahan (well, setidaknya masih tidak jauh-jauh dari buah). Kami tidak diperbolehkan memotret di dalam museum sehingga foto-foto kami hanya bersama burung-burung di luar ruangan.


Antonio Blanco palsu

Setelah puas melihat lukisan, kami kembali ke hotel untuk melihat sawah-sawah yang ada disekitarnya. Menyenangkan sekali berada di tengah-tengah sawah yang sangat hijau itu, walaupun tidak ada aktivitas lain selain foto-foto.


Diantara sawah

Ketika matahari mulai akan tenggelam, kami menyeburkan diri di kolam renang hotel yang serasa milik pribadi karena kebetulan yang tinggal di hotel itu hanya kita saja. Kolamnya cukup kecil dan tidak terawat, tapi toh kami tidak peduli. Hasrat berenang sore itu sangat tinggi.


Perenang indah Ubud

Malamnya, kami makan malam di restoran Bebek Bengil yang saking mahalnya, kami hanya mampu untuk makan seporsi untuk berdua. Ditambah satu nasi tentunya. Seporsi bebek bengil kira-kira 70ribu belum termasuk minum. Makanannya memang sangat enak dan suasannya pun sangat nyaman, meski ada nyamuk. Namun malam itu restoran cukup sepi dan kamipun tidak berlama-lama disitu.


Di Bebek Bengil. Bukan bete tapi tidak boleh senyum

Sebetulnya, alasannya adalah, handycam saya rusak. Pesan yang muncul di monitornya: Need Head Cleaning. Maka kami pun bergegas mencari toko yang menjual Head Cleaner, namun tidak jadi beli ketika mengetahui harganya 70ribuan. Kami pun mencari alternatif, yaitu cotton bud yang berharga 7ribu. Di mini market itu kami juga memberi roti, air putih, dan bir.


Main kartu sambil nge-bir

Setelah membersihkan kamera (berhasil, namun keesokkan harinya ternyata rusak lagi), kami menghabiskan malam itu di kamar sambil bermain kartu dan minum bir. Cukup menyenangkan. Mendekati tengah malam kami pun mengantuk dan tertidur ditemani suara-suara serangga yang cukup keras terdengar dari dalam kamar.

Besok: petualangan yang sebenarnya.

Thursday, October 30, 2008

Jadwal Pemutaran Festival Film Pendek Konfiden 2008



Minggu, 9 November
18.30 - 21.00 Pembukaan

Senin, 10 November
14.00-15.30 Program Kompetisi 4: Hati-hati Jalan Licin
15.30-17.00 Program Kompetisi 2: Bukan Jalan Umum
17.00-18.30 Program Kompetisi 1: Jauh Dekat
18.30-21.00 Program Kompetisi 3: Jalan Memutar

Selasa, 11 November
14.00-15.30 Program Khusus: FFVII 1999-2002
15.30-17.00 Program Kompetisi 1: Jauh Dekat
17.00-18.30 Program Kompetisi 4: Hati-hati Jalan Licin
18.30-21.00 Program Kompetisi 5: Jalan Berlubang

Rabu, 12 November
14.00-15.30 Program Kompetisi 5: Jalan Berlubang
15.30-17.00 Program Khusus: FFVII 1999-2002
17.00-18.30 Program Kompetisi 2: Bukan Jalan Umum
18.30-21.00 Program Kompetisi 3: Jalan Memutar

Kamis, 13 November
18.30 - 21.00 Penutupan


Program Kompetisi

Program Kompetisi 1: Jauh Dekat


Drum Lesson
Fiksi | Dur: 19'00 | 2008
Std: Tumpal Christian Tampubolon
Seorang nenek ingin belajar main drum untuk mengusir rasa sepi. Dia bertemu dengan seorang mantan
pemain drum band Death Metal yang bersedia mengajarkannya menabuh drum. Melalui musik dan drum
mereka menyadari perbedaan masing-masing namun melalui musik dan drum juga mereka dapat saling
memahami.

Kitos, Selamat Tinggal Kota Merah
Dokumenter | Dur: 24'12 | 2007
Std: Mahardika Yudha
Prd: Forum Lenteng
Catatan harian tentang pengalaman singkat di kota Tampere yang disebut sebagai Kota Merah. Sebuah
kisah sejarah kota industri dari kacamata pendatang dari Indonesia.

in3cities
Fiksi | Dur: 15'00 | 2008
Std: Samanta Limbrada
Prd: CahyaDalamGlap Production
Tiga orang di tiga kota yang berbeda. Masing-masing tokoh saling terhubung oleh kejadian yang serupa.
Sebuah komparasi subjektif dari pandangan pembuat film terhadap tiga kota tersebut.


Program Kompetisi 2: Bukan Jalan Umum

A Letter of Unprotected Memories

Dokumenter | Dur: 09'37 | 2008
Std: Lucky Kuswandi
Prd: Friday Night Films
Lucky Kuswandi mengajak kita untuk mengikuti perjalanan personal yang dialaminya ketika Imlek menjadi
'tanggalan merah'. Perayaan hari istimewa yang senantiasa membawanya kembali ke masa kecil saat
perayaan Imlek masih dilarang. Perayaan Imlek di kalangan terdekatnya, baik dulu maupun sekarang,
dengan beragam keunikannya dan pertanyaan besar yang terus diajukan Lucky setiap Imlek tiba.

Aku, Koran dan DVD
Fiksi | Dur: 06'45 | 2008
Std: Millaty Ismail
Prd: 25 Frames
Abdullah dan Milla, dua anak kecil, penjaja koran dan majalah di jalanan. Abdullah tergila-gila pada Peter
Pan, cara apapun rela ditempuhnya demi menyaksikan sang idola bernyanyi. Tak ada yang bisa melarang
Abdullah untuk mewujudkan keinginannya, termasuk Milla, sahabatnya di jalanan.

Tak Kau Kunanti
Fiksi | Dur: 07'00 | 2007
Std: Riri Riza
Prd: Miles Films Productions
Fatima tiba di ibukota dengan sekotak Nasi Durian. Ia menunggu instruksi dari rangkaian SMS dan panggilan
telepon singkat yang diterimanya. Dengan sejuta harapan ia pun bergerak dari satu tempat ke tempat yang
lainnya. Hingga ia tersadar bahwa dalam perjalanan ini, ia kembali harus berdansa sendirian.

Dompet
Fiksi | Dur: 15'00 | 2007
Std: Yudha Kurniawan Suprayoghi
Prd.: New Film Production
Persahabatan dua orang bocah (Tomo dan Ayok) yang bekerja di kereta api sebagai pengamen dan penyapu
gerbong, hampir pecah dan bertengkar hanya gara-gara sebuah dompet yang ditemukan Tomo.
Sekretariat: Yayasan Konfiden | Jl. Cilandak Bawah V No. 55, Jakarta 12430, Indonesia | +6221 765 1722
festival@konfiden.or.id | www.festivalfilmpendek.konfiden.or.id

Sugiharti Halim
Fiksi | Dur: 09'52 | 2008
Std: Ariani Darmawan
Prd: Kineruku
Sinopsis: Apa artinya sebuah nama? Bagi Sugiharti Halim, ternyata nama berarti sejumlah pertanyaan
panjang. Kadang kocak, kerap menjengkelkan, dan yang jelas penuh kontradiksi: Apa benar seseorang perlu
nama 'asli'? Apa betul nama bisa dijual? Apa iya identitas bisa disamarkan di balik sebuah nama? Sugiharti
Halim menawarkan sebuah cara pandang yang jenaka, 'nyelekit', sekaligus kontekstual untuk ditilik lagi hari
ini.


Program Kompetisi 3: Jalan Memutar

Hovering Leaf

Fiksi | Dur: 20'00 | 2008
Std: Rahabi Mandra
Prd: FFTV IKJ
Trisna, bocah ultracerdas berusia 10 tahun yang berusaha keras memecahkan misteri "Ï€", bilangan yang
menurutnya transidental dan irasional. Di balik semua itu, siapa yang menyangka kecerdasan Trisna justru
berarti ancaman bagi keselamatan orang-orang terdekatnya?

Pasangan Baru
Fiksi | Dur: 15'00 | 2008
Std: Salman Aristo
Prd: Salto Production
Sinopsis: Kisah tentang kaum urban, tentang Jakarta yang dipenuhi oleh pasangan baru. Pasangan yang
bisa asing satu sama lain atau malah mengancam untuk kebanyakan orang.

Hulahoop Soundings
Fiksi | Dur: 07'00 | 2008
Std: Edwin
Prd: babibutafilm
Lana, gadis pekerja hotel yang selalu bermain hulahoop setiap pagi di atap hotel yang datar sambil melayani
obrolan telepon seks dari pelanggannya. Lana dan hulahoopnya memiliki daya tarik magis yang menarik Nico
untuk melupakan yang lainnya.


Program Kompetisi 4: Hati-hati Jalan Licin

Balada Hari Raya

Fiksi | Dur: 18'00 | 2008
Std: Riezky Andhika Pradana,
Prd: Forum Lenteng
Pemandangan di Stasiun Tanah Abang yang berseberangan dengan kawasan bongkaran dan kereta api
ekonomi menyusuri gubuk-gubuk penghuni pinggiran rel, menjadi saksi pertemuan Karjan dan Parmin.
Nostalgia mereka diwakili oleh seekor kambing yang diberikan Parmin kepada Karjan. Petualangan Karjan
dengan kambing yang bermuara pada kesialan Karjan.

Eve Renatha
Fiksi | Dur: 26'00 | 2008
Std: Ronald Airlangga
Prd: +62 Pictures
Kisah tentang cinta, cinta antarmanusia dan juga cinta antara manusia dan film.

Sekolah Kami, Hidup Kami
Dokumenter | Dur: 11'45 | 2008
Std: Steve Pillar Setiabudi
Prd: Commonsense
Murid-murid kelas tiga di sebuah SMA di Solo yang berusaha melakukan perubahan di sekolahnya.
Dengan cara yang matang dan sistematis, mereka berhasil mengumpulkan sejumlah bukti praktik korupsi
yang selama ini berlangsung di sekolah mereka. Inilah titik balik bagi para remaja itu dalam memahami
bahwa masa depan yang lebih baik ada di tangan mereka sendiri.
Sekretariat: Yayasan Konfiden | Jl. Cilandak Bawah V No. 55, Jakarta 12430, Indonesia | +6221 765 1722
festival@konfiden.or.id | www.festivalfilmpendek.konfiden.or.id


Program Kompetisi 5: Jalan Berlubang

Segelas Kopi Manis

Fiksi | Dur: 15'00 | 2008
Std: Fredy Aryanto
Prd: Kamaratas Studio Works
Apakah segelas kopi panas manis mampu menggagalkan ulah seorang mandor yang telah mengkorupsi
uang proyek dan gaji para kuli bangunannya?

Sepeda
Fiksi | Dur: 06'00 | 2006
Std: Harvan Agustriansyah
Prd: Star Palace
Seorang suami memberi hadiah kejutan kepada istrinya sebuah sepeda. Namun, bukan pujian yang didapat
dari dari sang istri melainkan ungkapan tidak puas pada kenyataan hidup.

Orde
Fiksi | Dur: 25'00 | 2007
Std: Harvan Agustriansyah
Prd: FFTV IKJ
Seorang supir berjuang keras memperbaiki mobilnya yang mogok di tengah jalan untuk bisa meneruskan
perjalanan. Sementara, orang asing yang menjadi penumpangnya menunjukkan ketidaksabarannya, terus
minta dilayani, dan bersikeras tidak mau keluar dari mobil tersebut.

Huan Chen Guang
Fiksi | Dur: 15'00 | 2008
Std: Ifa Isfansyah
Prd: Four Colours Films
Chen Guang adalah perempuan Cina berusia 21 tahun dan tinggal di Beijing. Ibunya yang warga Indonesia
wafat saat terjadi kerusuhan di bulan Mei 1998 di Jakarta. Sejak saat itu Chen Guang senantiasa mencoba
menghapus keperihan yang menghantuinya. Chen Guang pun pergi ke Korea. Di sana ia berjumpa dengan
seorang gadis Cina seusianya, pertemuan yang memulai sebuah perjalanan.

Monday, October 20, 2008

Bali Komodo Part 1: Matahari Terbenam di Uluwatu

Ketika alarm berbunyi pukul empat kurang dini hari, saya masih di alam mimpi. Namun alarm tersebut tidak juga berhenti, dan menarik saya kembali ke dunia nyata. Kamar saya. Lalu saya tersadar mengapa alarm tersebut berbunyi di pagi buta itu. Its komodo time! Saya langsung bergegas mandi dan berangkat ke airport.

Jam masih menunjukkan pukul lima lewat sedikit ketika saya sampai di terminal 1A. Air Asia berangkat dari terminal 1A bukan?

Ternyata, mulai beberapa minggu yang lalu, Air Asia dipindahkan ke terminal 1C, dan ayah saya yang tadi mengantar sudah terlanjur pulang. Alhasil, saya harus mengejar waktu dengan berlari dari terminal 1A ke terminal 1C dengan memanggul backpack saya yang berkapasitas 65 liter. Saat itu matahari sedang terbit. Ketika saya mulai berlari, langit masih cukup gelap. Ketika saya sampai, langit terang benderang. Silahkan mengira jaraknya.


Saya harus berlari menyusuri jalur ini dengan memanggul tas yang besar

Ketiga teman saya sudah sampai terlebih dahulu disana dan ternyata mereka sudah check-in untuk kita semua. Untung saja, karena antrian masih cukup panjang. Namun lalu saya teringat, saya masih harus memasukkan tas saya ke bagasi. Saya pun masuk ke dalam antrian.

Setelah sekitar 5 menit, saya tiba di barisan depan, dan meletakkan tas saya di atas timbangan, dan memperlihatkan tiket. Petugas langsung berkata, "Ini akan kena charge tiga puluh ribu, Pak". Saya bilang, "Tapi ini boleh dibawa masuk ke kabin?". Petugas itu bilang, boleh.

Kebetulan teman-teman saya membawa tas yang berukuran lebih kecil sehingga mereka tidak men-check-in-kan (bahasa yang aneh, tapi mau bagaimana lagi) tas mereka. Setelah menunggu sejenak, kami pun boarding, dan pesawat lepas landas menuju Denpasar, Bali.

Mobil sewaan kami (Avanza, 165 ribu per hari) sampai kira-kira 15 menit setelah kami mendarat. Lalu kami pun bergegas menuju Poppies Lane untuk mencari penginapan. Berhubung Poppies Lane adalah gang yang sempit, mobil diparkir dulu di Legian Parking. Pilihan dijatuhkan kepada Dua Dara (100 ribu per malam, double bed), penginapan pertama yang kami temukan. Dengan alasan kami cukup suka dengan suasananya, meski kondisi kamarnya sangat seadanya.


Monumen Bom Bali

Kami langsung pergi menuju Monumen Bom Bali untuk bertemu dengan seorang teman yang tinggal dan bekerja di Bali. Monumen ini cukup bagus dan segera menjadi landmark baru untuk Legian. Namun karena tidak ada pepohonan, berada di sekitar Monumen ini bisa membuat kulit cepat terbakar oleh matahari yang ganas.

Setelah makan siang di Warung Murah (kira-kira 20 ribu termasuk minum), Jl. Double Six (nama jalan yang sungguh aneh), kami bergegas menuju Garuda Wisnu Kencana yang ada di daerah selatan pulau Bali.

GWK (tiket 15 ribu) adalah sebuah kompleks kebudayaan yang belum betul-betul jadi. Saya cukup takjub dengan blueprint kompleks ini. Betul-betul megah dan lengkap. Namun karena ini adalah sesuatu yang baru dibuat, GWK menjadi tidak mempunyai nilai sejarah dan kurang menarik turis asing. Mayoritas hanya turis lokal yang datang dengan bus-bus pariwisata.


Garuda Wisnu Kencana

Setelah puas menjelajah GWK, termasuk meneguk Es Kelapa Muda (15 ribu) di kafetaria, kami melanjutkan perjalanan menyusuri pantai selatan Bali, menuju Pura Uluwatu. Kami tidak mendapat informasi bahwa untuk memasuki Pura Uluwatu, kita harus mengenakan celana panjang. Namun mayoritas turis yang pergi kesana, terutama turis asing, juga mengenakan celana pendek. Maka para pemakai celana pendek harus menutupi kaki mereka dengan sarung-sarung berwarna norak seperti ungu atau kuning, yang malah membuat pemandangan disana menjadi unik.


Menikmati matahari terbenam di Uluwatu

Pura Uluwatu (tidak ada tiket, hanya tips) pada dasarnya adalah pura yang dibangun di tebing di tepi laut. Puranya sendiri tidak luar biasa, namun pemandangan ke laut bebas itu yang luar biasa, terutama untuk menikmati matahari terbenam. Sebetulnya ada juga pertunjukkan tari Kecak di malam hari (50 ribu), namun karena terasa mahal dan belum makan, kami kembali ke kota untuk mencari makan.

Pilihan jatuh kepada Kafe Tahu, sebuah kafe di kawasan Seminyak, yang mempunyai menu serba tahu dengan harga terjangkau (rata-rata menu tahu dibandrol dengan harga belasan ribu saja). Suasana pun cukup menyenangkan dengan gazebo-gazebo dari bambu dan ruang terbuka yang nyaman. Hanya saja ada cukup banyak nyamuk disana.


Di Kafe Tahu, Seminyak

Setelah kenyang oleh tahu, kami pergi menuju Adabar di daerah Kuta untuk minum-minum. Menyenangkan juga bar yang dimiliki oleh orang Perancis dan orang Jakarta ini. Dengan satu meja biliar dan bar yang cukup kecil membuat suasana akrab. Kekurangannya hanya nyamuk, dan musik yang bercampur dengan musik dari bar di sebelah jika kita duduk di sebelah luar.

Minuman pun mempunyai harga yang menyenangkan. Segelas Arak Attack (yang tentunya tidak dicampur Attack) dijual seharga 10 ribu rupiah saja dan merupakan pilihan favorit dibanding Bintang yang standar dan lebih mahal. Sepertinya Bali memungkinkan kita untuk keluar malam dan menikmati musik dan minuman beralkohol tanpa menguras kantong. Meski ada juga tempat seperti Ku De Ta pastinya.


Di Adabar, setelah meneguk Arak Attack

Setelah Adabar, kami sudah kehabisan energi dan sudah cukup mengantuk. Kami pun berpamitan dengan teman yang lain dan kembali menuju Dua Dara untuk tidur.

Besok: Makan babi guling dan berfoto dengan burung-burung beraneka warna di Ubud

Wednesday, October 8, 2008

Pergi ke Pulau Komodo

Selamat Idul Fitri.

Tanggal 1 dan 2 kemarin adalah hari libur Lebaran dan tanggal 3 adalah hari libur tambahan dari kantor. Lalu saya mengambil cuti lagi dari tanggal 6 - 15 Oktober (karena masih punya banyak cuti dan ingin menghabiskan dan karena belum bersemangat untuk kerja) sehingga alhasil saya libur dari tanggal 1 - 15 Oktober.

Setengah bulan penuh.

Namun seminggu pertama libur tidak saya manfaatkan dengan sangat baik. Terutama karena tenggorokan yang kembali bengkak sehingga harus banyak istirahat. Namun tiga hari pertama dihabiskan bersama keluarga besar yang sedang berkumpul di Jakarta. Jadi sebetulnya berkualitas juga liburannya.

Dan tibalah saatnya untuk liburan yang sebenarnya.

Besok pagi, saya harus bangun sebelum jam 4 subuh untuk mengejar pesawat jam 6.35 menuju Denpasar. Apakah saya akan berlibur di Bali? Ya dan tidak. Karena sebetulnya Bali hanya sebagai tempat persinggahan saja. Namun karena kebetulan saya terakhir ke Bali sudah sekitar 6 tahun yang lalu, maka saya memutuskan untuk memperpanjang singgah saya di Bali menjadi 2 malam.

Lalu setelah dari Bali?



Saya akan terbang ke Labuanbajo, Flores, untuk mengunjungi Pulau Komodo, yang terletak di sebelah barat Labuanbajo empat jam perjalanan laut. Namun semoga saja komodo-komodo disana tidak seganas komodo yang di foto.

Nantikan laporan dari Flores!

Monday, September 29, 2008

Laskar Pelangi: My Review

Pada awal tahun ini (atau mungkin akhir tahun lalu), saya mendengar kabar bahwa Riri Riza akan mengadaptasi sebuah novel laris berjudul Laskar Pelangi. Pada waktu itu saya sama sekali belum mengetahui apapun tentang novel tersebut. Hanya pernah melihatnya di toko buku, namun tidak terlalu tertarik untuk baca.

Saya langsung berpikir, apakah Riri Riza mulai ingin mengikuti trend mengadaptasi buku, terutama karena sebulan sebelumnya Hanung Brahmantyo sukses besar lewat Ayat-Ayat Cinta. Namun saya tetap berpikir positif dan seperti biasa tetap menanti-nantikan film berikut dari salah satu sutradara favorit saya ini.

Bulan lalu, berita tentang film ini mulai banyak dibicarakan, dan akhirnya saya tahu bahwa film ini adalah tentang anak-anak sekolah di Belitung, atau seperti pengucapan lokalnya, Belitong (gara-gara novel ini, semua tulisan "Belitung" di Kampung Gantung diganti menjadi "Belitong". Dan Kampung Gantung menjadi "Kampong Gantong").


Anggota Laskar Pelangi dan Bu Muslimah

Harapan saya mulai bangkit untuk sebuah film anak-anak yang sangat Indonesia (setelah Riri kurang berhasil lewat Untuk Rena), dan seperti biasa, film yang bukan semata-mata untuk mengeruk keuntungan seperti yang dilakukan pengusaha dari India itu, tetapi film yang membawa pesan.

Namun harapan itu sempat jatuh sedikit ketika saya tahu Riri mempercayakan penulisan naskah kepada Salman Aristo. Menurut saya Salman bukan penulis skenario yang buruk, namun saya lebih menyukai jika Riri menulis sendiri skenarionya berdasarkan buku tersebut. Karena akan lebih personal.

Sebetulnya apa yang diharapkan oleh seorang pembaca buku jika buku favoritnya dibuat menjadi film? Apakah ia mengharapkan bahwa filmnya harus sama persis dengan bukunya? Jika benar begitu, maka sesungguhnya film tersebut tidak perlu dibuat.

Namun Riri dan tim-nya berhasil mengambil esensi dan inti dari Laskar Pelangi dan menterjemahkannya menjadi bentuk film. Salah satu contoh konkrit-nya adalah dengan memunculkan tokoh Pak Zulkarnaen, yang sebetulnya tidak ada di buku, namun dirasa sangat mewakili citra PN Timah dan orang yang berkecukupan di era kejayaan timah tersebut.

Tentang jalan cerita, mungkin dengan mudah didapat dari review atau blog lain. Yang perlu diberi perhatian khusus dari film ini (diluar penyutradaraan dan cerita yang menyentuh) adalah akting dari pemeran-pemerannya dan tata artistik film ini.


Karnaval 17 Agustus

10 anak asli Belitong (dipertengahan film bertambah menjadi 11) seperti tidak berakting disini. Ini bersumber pada bakat alami dan penyutradaraan brilian dari Riri Riza. Saya lihat hanya Suhendri (A Kiong) yang masih terlihat berakting, terutama pada adegan dia bersama Lintang dan A Ling. Meski begitu, Kiong tetap mencuri perhatian di setiap adegan, terutama karena dia satu-satunya murid SD Muhamadiyah yang keturunan Cina.

Jika harus memilih anak-anak dengan akting yang sungguh potensial, mereka adalah Verrys Yamarno (Mahar) dan Zulfanny (Ikal). Perhatikan betul-betul ketika Mahar mempersiapkan tarian untuk karnaval dan Ikal ketika bertemu A Ling.

Dari jajaran aktor dewasa, Cut Mini (Bu Mus) dan Ikranagara (Pak Harfan) adalah yang paling cemerlang, dan mendapat porsi paling banyak juga. Akting berlebihan ditampilkan oleh Matias Muchus; dan Robby Tumewu adalah cameo favorit saya di film ini.

Sebetulnya ada satu lagi karakter dalam Laskar Pelangi, yaitu Pulau Belitong itu sendiri. Meski keindahan pantainya tidak tereksplorasi dengan baik, namun rasanya saya sudah bisa cukup memastikan bahwa pariwisata Belitong akan melonjak setelah film ini beredar. Akan banyak orang-orang yang ingin melihat batu-batu besar di pantai tempat Laskar Pelangi melihat pelangi, dan juga replika SD Muhamadiyah yang dibangun oleh tim tata artistik film ini, yang saya harap belum dirubuhkan. Mudah-mudahan juga itu semua tidak lantas menjadikan Belitong menjadi terlalu komersil seperti Bali.


Lintang, Ikal, dan Mahar

Laskar Pelangi bukan tanpa kelemahan. Seperti ketidakfokusan cerita karena banyaknya karakter, dan juga subplot tidak jelas mengenai Mahar dan ketertarikannya dengan dunia okultisme dengan mengajak anggota Laskar Pelangi untuk pergi ke dukun, dan adegan dengan buaya yang kurang banyak mendapat porsi long-shot (mungkin demi keselamatan Ferdian), sehingga adegan tersebut kurang berhasil. Namun itu semua tidak ada artinya dibanding kelebihan film ini yang membuat 4 film lokal lain yang dirilis berbarengan (untuk mengambil momen Lebaran) terlihat seperti batu-batu besar yang mengelilingi pelangi.

Sempat terbersit juga pertanyaan, apakah film ini akan sukses besar? Atau nasibnya akan seperti Untuk Rena? Tanggal 26 kemarin pertanyaan itu terjawab. Sepertinya, Laskar Pelangi akan merobek rekor Ayat-Ayat Cinta sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa. Mengapa?

Sukar juga memulai analisa dari mana. Karena setelah dipikir-pikir, banyak sekali hal-hal yang membuat semua orang ingin menonton film ini.

Faktor-faktornya antara lain:
- pembaca Laskar Pelangi yang ratusan ribu orang itu pasti akan menonton film ini,
- setelah para pembaca itu menonton, mereka pasti akan menceritakannya ke teman-teman mereka dan memaksa mereka untuk nonton,
- faktor poster yang menarik dan sangat berbeda dengan film-film Indonesia yang lain (sejauh ini mungkin kasusnya masih mirip dengan Ayat-Ayat Cinta),
- namun lalu film ini punya judul yang sangat menjual dan tidak se-corny Ayat-Ayat Cinta,
- film ini adalah film tentang anak-anak, dan muncul saat libur puasa. Berbeda dengan Ayat-Ayat Cinta yang lebih untuk orang dewasa, Laskar Pelangi menarik penonton dari segala lapisan umur,
- promosi yang baik dari Miles Production,
- kekosongan film-film blockbuster Hollywood,
- trailer dan foto-foto yang memperlihatkan keindahan pantai di pulau Belitong,
- dan, pada dasarnya, karena Laskar Pelangi adalah film yang berhasil.

Sunday, September 28, 2008

Tikus di dalam Piano

Note: Dulu, saya suka menulis cerita pendek. Dengan percaya diri berlebihan, sempat mengirimkannya ke majalah-majalah dan surat kabar. Tentu saja, cerita-cerita tersebut langsung masuk ke tempat sampah redaksi-redaksi. Sekarang saya bersyukur sekali akan hal itu, karena jika dimuat, mungkin saya akan sangat malu untuk mengakui bahwa itu karya saya. Namun demikian, ada satu cerita yang saya tidak malu untuk dibaca orang, namun cerita itu tidak mempunyai jalan untuk sampai ke orang-orang. Maka saya pikir, apa salahnya mempublikasikan cerita itu di blog ini, meski tidak akan dibaca terlalu banyak orang juga. Namun setidaknya Tikus di dalam Piano sekarang punya akses menuju dunia.

Begini naskahnya:

SUATU MALAM (ATAU PAGI TEPATNYA) JAM DUA BELAS LEWAT, KETIKA AKU MASIH menatap layar komputerku yang sudah mulai berbayang, ada dentingan aneh berasal dari luar kamar. Ah, mungkin hanya pikiranku saja. Lalu dentingan itu berulang. Piano. Seseorang bermain piano. Tapi tidak ada orang di luar. Namun ketika nada-nada yang terdengar tidak membentuk rangkaian nada apapun, malah cenderung berbunyi aneh, aku berkesimpulan bahwa itu adalah tikus di dalam piano. Terjebak dan tidak bisa keluar, lalu kerjaannya hanya membunyikan dawai-dawai piano untuk mengusir kebosanan.

Keesokan harinya, aku berangkat kerja seperti biasa, ke kantor yang sama, dengan semangat yang sama. Atasanku, pria gemuk berdasi garis-garis dengan kemeja garis-garis pula dengan arah dan warna berbeda (istrinya pasti kurang berselera tinggi dalam berpakaian), berkata bahwa ada bagian uang yang hilang dalam hasil penjualan bulan lalu. Dan ia akan mencari kemana uang itu pergi. Itu bisa berarti pemecatan sepihak bila pelakunya diketemukan.

Setelah beberapa hari, atasanku tidak berhasil menemukan si pencuri uang itu. Ia akhirnya menganggap, “Ah, mungkin ada kesalahan hitung. Lagipula nominalnya tidak besar.” Pendapat itu bertahan sampai laporan keuangan bulan berikutnya datang. Si pencuri uang itu berulah lagi. Kali ini dengan nominal yang lebih besar. Sang atasan pun marah besar.
“Sistem harus diubah!”
Ia sudah ber-presentasi sebaik-baiknya. Namun, apadaya, Komisaris kurang menghargai pendapatnya. Dewan itu beralasan, “Terlalu besar biaya dan usaha yang harus dikeluarkan untuk merubahnya”. Sang atasan pun maklum.

***

SUATU MALAM DI HARI LAIN KETIKA AKU SEDANG MENGETIK DOKUMEN, AKU mendengar kembali beberapa dentingan dari pianoku. Entah pendengaranku salah atau tidak, tapi aku yakin sekali, dentingan itu membentuk alunan. Alunan nada. Aku merinding, mungkin tikus itu semakin lama semakin pintar. Ia bosan mengetuk-ngetuk dawai saja. Ia mulai membentuk nada.
Walaupun takut, aku tidak begitu ambil pusing. Piano itu mungkin sudah busuk di dalam. Tapi yang penting dari luar masih terlihat cantik.

***

“INI TIDAK BISA DIBIARKAN!” KATA ATASANKU, SEMAKIN HARI DASINYA SEMAKIN nggak kompak dengan kemejanya. Semrawut, seperti pikirannya. Bagaimana tidak, pencuri itu, cepat atau lambat, mengancam keberlangsungan perusahaan. Komisaris pun setuju, akhirnya dibuat suatu sistem baru, yang terlihat amat bagus, sehingga tidak mungkin seorang pun dari dalam maupun dari luar yang bisa melakukan pencurian. Kecuali, orang itu ada di dalam posisi yang lain. Di dalam Komisaris, misalnya. Atau di dalam diri Sang Atasan sendiri.

Entah bagaimana caranya, pencuri itu mengingatkanku akan tikus di dalam piano. Mirip sekali ulahnya. Dan sama-sama misterius. Mungkin keduanya mempunyai entitas yang sama. Jiwa yang sama. Pencuri dan tikus. Menggerogoti dari dalam.

***

“SEBETULNYA GAMPANG MEMBASMI TIKUS ITU,” KATA SEORANG TEMAN SUATU KALI. Tentu saja aku tidak bercerita tentang tikus yang mendentingkan nada. Hanya mendentingkan dawai saja yang aku katakan. Tapi aku merasa tak tega. Aku terlanjur cinta dengan tikus itu. Bahkan aku menunggu nada-nadanya pada malam hari, yang terkadang menjadi nada pengantar tidur untukku.

Menangkap pencuri (atau para pencuri) itu mungkin juga sama mudahnya dengan menangkap tikus di dalam piano. Namun entah mengapa, penangkapan itu sering dihalang-halangi, dipersulit, dan ditolak. Mungkin pencuri itu menyogok seseorang yang memiliki kedudukan penting di dalam perusahaan. Dan keduanya saling merengguk kenikmatan. Tak sadar, tingkahnya membuat bangkrut perusahaan, yang sebetulnya, akan membangkrutkan dirinya sendiri jika terlalu lama. Mungkin baginya tidak, karena dia tidak ambil pusing dengan keberlangsungan perusahaan. Atau mungkin juga ya, sebab tidak ada lagi pohon uang yang gampang ditendang-tendang, lalu dirontokkan daunnya.

Kejadian mengagetkan yang sejujurnya tidak terlalu membuatku kaget adalah, pada suatu malam, tikus di dalam piano itu tidak lagi memainkan nada-nada. Ia memainkan sebuah lagu. Lagu utuh. Lagu yang indah, walaupun paradoks dengan kenyataan bahwa piano itu cepat atau lambat akan rusak. Busuk dari dalam. Tapi biar saja, lagu itu cukup meyakinkanku bahwa piano itu akan baik-baik saja. Lagu indah yang menjadi lagu pengantar tidurku, pengganti nada-nada terpisah yang dulu ia mainkan.

***

AKHIRNYA ATASANKU (BAJUNYA SEKARANG HITAM, POLOS, TIDAK BERGARIS-GARIS) mengundurkan diri. Tidak tahan dirinya menghadapi sang pencuri nakal itu. Padahal dirinya dulu berhasil terpilih oleh mayoritas karyawan di kantor, lantaran senyumnya yang simpatik. Tapi sekarang ia tak berdaya melawan pencuri, yang pasti tak lama lagi akan membuat perusahaan harus dinyatakan pailit.

Jika perusahaan bangkrut, dan aku tidak punya pekerjaan, apa yang harus kulakukan? Apa harus kujual saja pianoku, beserta tikus di dalamnya?






Jakarta, Maret 2005

Tuesday, September 2, 2008

Karaoke Birthday Party

Where: XKTV Senayan City
When: July 19, 2008
It was so much fun. Be surprised with the song choices.


Saturday, August 2, 2008

I Hate Bikers



Well, have to admit, it was both our faults. I didn't look the rear window twice when turning right, and the biker (not sure if he knew it or not), but he insisted on going straight ahead, not expecting me to turned right.

We clashed.

A policemen approached and asked for my license. But he saw that I'm the one who's being hit. And I blinked my reversing light. So he let me go.

The worst part of it (other than the wounded biker) is, I don't even have a car insurance.

Slip Tilang Merah yang Berubah Menjadi Biru (Part 2)

Siang itu sang ABAPer makan siang dengan cepat lalu bergegas ke Polda dengan menumpang bus SCBD yang lewat di depan BEJ. Ketika sampai di depan gerbang Polda, mata sang ABAPer memindai dari kiri ke kanan, mencari Pak Polisi yang kemarin.

Tidak ada! Sang ABAPer melakukannya lagi berulang kali, namun batang hidung Pak Polisi yang kemarin tidak juga terlihat. Maka berjalanlah sang ABAPer menyusuri kompleks Polda yang sangat luas, lalu menghampiri seorang Polisi dan bertanya. Namun Polisi itu pun tidak tahu keberadaan Pak Polisi yang kemarin. Dengan langkah gontai, sang ABAPer tidak punya pilihan lain selain menuju ke kantor tilang yang kemarin. Pintu diketuk beberapa kali, lalu sang ABAPer masuk.

"Permisi Bu. Saya mau titip sidang tilang."
"Mas ditilangnya kapan?"
"Kemarin pagi, Bu."
"Coba saya lihat surat tilangnya."

Bu Polisi dengan paras wajah yang cukup berintegritas mengamati surat tilang tersebut.

"Ini berkas-berkasnya sudah dibawa ke tempat sidang Mas. Jadi harus disidang."
"Tapi kemarin sore saya kesini katanya petugasnya belum kesini, Bu. Masa begitu cepat?"
"Iya, tadi pagi sudah diantar ke tempat sidang. Lagipula, sekarang sudah tidak bisa titip sidang, Mas."
"Kenapa Bu? Bukannya saya punya tiga pilihan?"
"Sekarang tidak bisa, Mas. Harus melalui sidang."
"Kalau tidak sempat?"
"Boleh diwakilkan. Kalau Mas dapat slip tilang merah, harus lewat sidang. Kalau biru, Mas boleh bayar denda langsung ke BRI".
"Saya kemarin minta slip biru, Bu. Tapi tidak dikasih."
"Ya, karena kita sebetulnya sudah akan berhenti untuk bekerja sama dengan BRI."
"Jadi tidak bisa Bu?"

Sang ABAPer menunduk sedih. Kecewa. Lalu Bu Polisi tampak iba. "Duduk dulu Mas. Coba saya cek."

Sang ABAPer duduk, lalu Bu Polisi mengecek daftar tilang di sebuah buku besar, "Oh tadi saya kira nomor tiga lima, Mas." Lalu Bu Polisi menyuruh bawahannya untuk mengambil berkas tilang sang ABAPer (yang masih terlipat rapih, bersama setumpuk berkas tilang lain. Jadi tadi Bu Polisi bohong?) lalu menyuruh ABAPer untuk pergi ke BRI cabang Menara Mulia untuk membayar tilang sebesar Rp 50.600,- sesuai tabel denda, lalu kembali lagi kesitu untuk mengambil SIM.

Sang ABAPer menganga tidak percaya. Oke, terlalu berlebihan. Namun sang ABAPer tidak mampu menyembunyikan perasaan bahagianya atas keadaan yang berubah 180 derajat. Jadi sang ABAPer meninggalkan kantor tilang dengan senyuman lalu bergegas menuju Menara Mulia. Meski tahu sempat dibohongi, namun kenyataan bahwa ABAPer akhirnya dapat ditilang sesuai prosedur dan tidak menyuap polisi sepeserpun membuat hati sang ABAPer berbunga-bunga. Kondisi yang kronis sebetulnya. Untuk ditilang sesuai prosedur pun harus memohon-mohon terlebih dahulu.


Slip bukti pembayaran tilang (sayang sekali slip merah dan slip biru harus dikembalikan ke polisi dan tidak sempat dipindai)

Singkat cerita, sang ABAPer berjalan kaki menuju BRI cabang Menara Mulia, lalu membayar Rp 50.600,- ke teller Bank setelah menunggu sekitar 10 menit, dan kembali lagi ke kantor tilang dan menebus SIM-nya, yang menjadi benda yang sangat dirindu-rindukan ABAPer selama dua hari belakangan ini.

Sang ABAPer pun kembali ke kantor dengan senyuman.

Sunday, July 20, 2008

Slip Tilang Merah yang Berubah Menjadi Biru (Part 1)

Di pagi yang sial, seorang ABAPer sedang dalam perjalanan menuju kantor bersama sang Kakak melalui rute yang sama yang ditempuh setiap hari. Dan dari hari ke hari, di perempatan itu, sang ABAPer selalu mengambil jalur arah balik di sebelah kanan untuk berbelok ke kanan. Jalan yang melintang di depan adalah jalan satu arah, sehingga itu memungkinkan. Maka pada pagi hari itu pun, ia mengambil jalur paling kanan itu lagi.

Namun di pagi yang sial itu sang ABAPer mengambil jalur itu terlalu cepat. Sangat terlalu cepat. Ketika perempatan itu masih dua puluh meter di depan, lampu lalu lintas sudah berganti warna. Dan di samping lampu ada polisi yang menatap tajam ke arah ABAPer yang terjebak di jalur yang salah pada waktu yang salah. Sang Polisi pun memberi gestur memanggil dan sang ABAPer tidak punya pilihan lain.

Seperti biasa, SIM dan STNK pun diminta untuk diperlihatkan. Lalu seperti biasa juga, sang Polisi pura-pura tidak tahu prosedur dan menanyakan kepada ABAPer: “Jadi bagaimana, Pak?”

Sang ABAPer yang sudah pernah membaca email tentang slip biru pun menjawab: “Maaf, Pak, saya mengaku salah. Saya minta maaf. Sekarang saya minta ditilang dengan slip warna biru”. Ditembak seperti itu, sang Polisi gemuk pun langsung memberi argumen terbata-bata yang tidak jelas dan tidak berujung pangkal.

“Tidak bisa. Semua harus lewat persidangan.”
“Kalau begitu, nanti semua akan minta slip biru dan tidak disidang.”
“Sebetulnya kita sudah tidak bekerja sama dengan BRI lagi.”

Dan sebagainya. Berulang kali sang ABAPer meminta slip biru namun diberi argumen seperti itu. Akhirnya sang ABAPer pasrah dan menandatangani slip merah yang sudah ditulis oleh sang Polisi (sebetulnya slip merah dan biru itu ber-rangkap. Slip mana yang diberikan ke pelanggar, itu tergantung sang Polisi).

Karena kesal tidak diberi slip biru, sang ABAPer mengambil sebuah kertas dan bolpen, lalu mencatat nomor kendaraan dan nama sang Polisi, di depan mata sang Polisi itu. Melihat itu, sang Polisi pun gusar.

“Saya nggak suka Bapak catat-catat nama saya. Terserah Bapak, tapi kalau terjadi apa-apa, Bapak yang salah. Ingat itu,” kata Polisi itu sambil meletakkan satu kaki di ujung mobil sang ABAPer.

Sudah melanggar prosedur, Polisi yang satu ini juga memberikan ancaman. Mungkin di negara dimana hukum dijunjung tinggi, sang ABAPer bisa menuntut Polisi ini dan ia bisa dibebas-tugaskan. Namun ini Indonesia. Dan melaporkan Polisi adalah tindakan yang sangat bodoh. Pada akhirnya, entah kita akan diancam, atau dipaksa untuk tutup mulut dengan menggunakan kekerasan.


Sang ABAPer meminta maaf. Dan sang Polisi menerima permintaan maaf, namun tetap tidak mau memberikan slip biru, ataupun “damai” di tempat, dengan alasan slip merah sudah dibuat. Sebelum pergi, sang Polisi sempat berkata, “Kalau mau, nanti datang saja ke Polda jam tiga sore.”

Sang ABAPer pun meninggalkan sang Polisi dengan keadaan tidak ber-SIM dan melanjutkan perjalanan menuju kantor, sambil berpikir, apa bisa SIM-nya diambil di Polda sore nanti?

Jam tiga kurang sepuluh, sang ABAPer meminta ijin kepada sang Manajer untuk menebus SIM di Polda. Untung sang Manajer adalah orang yang sangat pengertian, dan ia langsung memberi ijin dan simpati. Untungnya lagi (sudah kena tilang pun masih untung), Polda terletak di sebelah gedung tempat ABAPer sedang ditugaskan.

Siapapun yang pernah ke Polda, pasti akan bingung harus menuju ke gedung atau pos mana. Polda adalah sebuah kompleks sangat luas yang bahkan mempunyai lapangan sepak bola sendiri. Namun sebetulnya yang perlu dilakukan cukup mudah, yaitu bertanya.

“Pak, kalau mau titip sidang dimana?”, tanya sang ABAPer kepada seorang Polisi yang berjaga di pintu belakang Polda.

“Sidang? Sidang tilang? Coba saya lihat surat tilangnya.”
Sang ABAPer memberikannya.
“Ditilang pagi tadi ya? Kantor tilang di sebelah sana Pak.”
“Oh baik, Pak.”
“Mau dibantu nggak nih?”
”Saya kesana dulu deh Pak.”

Sang ABAPer menemukan kantor tilang yang dimaksud, mengetuk pintu, lalu masuk, dan menanyakan pertanyaan yang sama seperti pada polisi pertama tadi. Sang Polisi meminta menunjukkan surat tilang juga.

“Tadi pagi ya kena tilangnya?”
“Ya, Pak”
“Laporan tilangnya belum masuk, Mas. Petugasnya masih patroli di lapangan.”
“Kalau mau titip sidang?”
“Sekarang tidak bisa titip sidang ke polisi, Mas. Semua harus melalui proses sidang sendiri.”
“Kalau saya tidak sempat bagimana?”
“Boleh diwakilkan.”

Sebetulnya sang ABAPer agak curiga, mengapa sang Polisi yang menilang tadi menyuruhnya ke Polda jam tiga sore, namun laporan tilang belum masuk, dan batang hidung sang Polisi itu pun tidak kelihatan.

Akhirnya sang ABAPer menunduk menyerah, lalu keluar, dengan maksud menghampiri sang Polisi yang sedang berjaga di depan tadi.

“Pak, saya mau deh dibantu.”
“Tadi Mas kenapa sudah masuk duluan? Sekarang saya jadi tidak enak.”
”Tapi saya belum menunjukkan suratnya kok, Pak,” sang ABAPer berbohong.
“Oh begitu.”
“Ya, Pak. Bisa tidak?”
“Kamu siap dana berapa?”
“Ya jangan mahal-mahal, Pak”.

Beliau meminta delapan puluh ribu rupiah. Sang ABAPer merasa terlalu mahal, namun ia cukup suka dengan Polisi yang satu ini karena cukup ramah.

“Nggak bisa kurang lagi, Mas. Itu aja udah nekad.”
“Tujuh puluh deh, Pak.”
“Nggak bisa, Mas. Oh ya, itu Mas kenanya tadi pagi?
“Iya.”
“Oh, belum balik itu Mas petugasnya. Besok pagi saja kesini lagi.”
“Jam makan siang?”
“Boleh. Mau makan dimana kita?”

Bersambung.