Monday, September 5, 2011

Review: Tendangan Dari Langit














Oke. Mungkin waktu itu, situasinya adalah: Sang produser mendapat ide brilian untuk membuat film tentang sepak bola (yang mana premis awalnya sangat mirip dengan Garuda Di Dadaku atau King), lalu karena mereka punya uang, direkrutlah semua kru yang sudah punya nama di bidangnya, dan supaya lebih menjual, ditariklah Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan untuk ikut main dan dipajang besar-besar di poster.

Hasilnya?

Well, film ini masih bisa dinikmati jika Anda membuang logika sejauh mungkin dan menerima saja alur cerita tentang Wahyu, anak berbakat dari kampung Langitan (hence, the title), yang mewujudkan mimpinya, yaitu main bola. Eh, betul kan, main bola?

(contain mild spoilers beyond this point)

Yang pasti, Wahyu ingin bermain bola, tapi dia ditentang ayahnya. Lalu disogoklah Ayahnya dengan kuda (hasil kemenangannya dari satu - betul, satu - pertandingan), lalu sang Ayah pun luluh (!). Sebetulnya, film dapat berakhir disini dan akan menjadi film pendek yang masih bisa diterima.

Tapi tentu saja filmnya tidak sependek itu. Harus ada kisah cinta. Maka Wahyu pun naksir Indah, bunga di sekolahnya. Karena sesuatu hal yang tentu saja teramat sangat kebetulan, Wahyu mengecewakan Indah. Dan sang penulis skenario pun berkesimpulan bahwa Wahyu harus memilih: bola atau Indah. Meski pada kenyataannya, apa salahnya memilih keduanya? Kejadian sebelumnya hanyalah insting seseorang untuk menyelamatkan orang lain yang lebih lemah.

Lalu muncullah Coach Timo dan fisioterapisnya, Matias yang sedang latihan bola di Bromo, dan melihat Wahyu berlatih bola bersama sang Ayah (kebetulan? tentu saja). Coach Timo, yang sebelumnya berhutang budi dengan Wahyu (ini adalah kejadian kebetulan sebelumnya), pergi ke rumah Wahyu (tentu saja sangat mudah menemukan rumah Wahyu bukan?) dan menawarinya untuk try-out dengan Persema.

Tunggu, saya belum menyinggung tentang Agus Kuncoro, yang bermain sangat kocak di "?", tapi sangat overacting disini. Pak Hasan (nama karakternya), mengantarkan Wahyu ke lokasi try-out, dan tentu saja, dapat ditebak, ban motornya kempes di tengah jalan (film ini butuh konflik bukan?)

Tapi singkat cerita, Wahyu diterima di Persema, dan disinilah Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan numpang lewat, dan bermain bola bersama Wahyu. Tapi apa daya, ternyata Wahyu mempunyai sebuah penyakit yang tidak nampak dan tidak diindikasikan sekalipun dari awal film. Sehingga Wahyu, seorang anak SMA itu, tidak jadi masuk Persema.

Saya tidak habis pikir, mengapa Matias tidak langsung memberi tahu Wahyu bahwa penyakitnya ini berbahaya dan dia tidak boleh bermain bola dulu? Oh, tentu saja karena ini adalah turning point (akhir dari babak ke-2) dari struktur 3 babak dari film ini. Wahyu bermain bola, lalu tiba-tiba saja terjatuh dan kakinya tidak dapat digerakkan. Di bagian ini pula Irfan Bachdim mendapat peran pentingnya dalam film ini, yaitu sebagai sopir dan tukang angkat Wahyu yang ceritanya cedera serius. Bagaimana dengan Kim Kurniawan? Ya, tugas dia adalah mengangkat Wahyu bersama Irfan Bachdim.

Setelah itu, Wahyu masuk Persema, lalu menyelamatkan Persema dari kekalahan di pertandingan pertama yang diikutinya dengan sebuah tendangan dari langit yang.. kurang di-shoot dengan dramatis.

Penyutradaraan Hanung, seperti biasa, characterless, dan ala kadarnya, meski Yosie Kristanto berakting dengan sangat natural sebagai Wahyu (mungkin ini satu-satunya kelebihan film ini). Tapi tentunya saya akan diprotes orang-orang yang terpesona dengan keindahan alam Bromo di film ini. Namun Bromo memang dari sananya indah. Dan shot dari helikopter itu malah mengganggu. Saya agak merasa di banyak shot lupa dilakukan color correction. Yah, tapi setidaknya Faozan Rizal masih menunjukkan kualitasnya di banyak shot lain, dan keindahannya tidak selalu useless seperti misalnya panorama di film Serdadu Kumbang.

Ilustrasi musik tidak memorable (pun theme song dari Kotak). Tentang skenario, saya sebetulnya berharap lebih dari Fajar Nugros, yang sebelumnya adalah pembuat film pendek. Tapi terlalu banyak masalah logika disini. Meski mungkin dia mendapat banyak tekanan dari para produsernya.

Alasan saya menulis ini adalah karena saya sangat menyayangkan, dengan budget dan kru yang dimiliki, seharusnya film ini tidak segitu saja. Panorama indah dan pemain bola terkenal saja tidaklah cukup. Namun film ini masih layak tonton di musim liburan Lebaran (meski saya menyarankan Anda untuk ke studio sebelah untuk tonton Lima Elang bersama atau tanpa anak-anak).

Gandaria City, 4 September 2011, pemutaran jam 17.05.