Wednesday, May 27, 2009

3 Outstanding Films I Rented

Last week I rented three films from Subtitles Dharmawangsa. They're from the same section in that movie rental outlet, but turned out to be very different films. However, all has the same wow effect on me after watching.

Edward Scissorhands



This Frankenstein tale from Tim Burton may have misleading poster. I myself thought that it is a horror flick. But Edward Scissorhands is, hopefully it's right to say, safe for children. The character is adorable (though pitiful), the story is full of imagination (the story begins with a children asking "Grandma, where does snow come from?"), and the visual is jut great. One of Tim Burton's masterpiece.

Into The Wild



This biopic about Chris McCandless is very enjoyable to watch and brings out the anti-capitalism spirit within us. It uses the Shawshank Redemption approach where the naration about the main character is spoken by a supporting character, hence making the main character mysterious. The script somewhat has no structure kind of feeling (just follow his journey) but it's not boring. And I have to mention the music by Eddie Vedder which is an integral part of the storytelling. Great adaptation.

The Reader


We may familiar with a NAZI film like Schindler's List or The Pianist. But this one is different. The Reader is about a relationship between a law student and an ex SS guard. It raises questions such as, if your loving parents were killing people at the concentration camp, could you love them still? Are they guilty? This is heavy stuff hidden in a hot sexual relationship of a couple from two different generation. I like Stephen Daldry for The Hours alone. With The Reader, I think he'll become one of my favorite directors. And Kate Winslet deserves her Oscar.

Sunday, May 24, 2009

Midnight Cell: It's a Wrap!

Akhirnya.

Setelah hari pertama shooting pada bulan Maret, shooting terus tertunda bagai tak berkesudahan. Tapi akhirnya, hari Minggu tanggal 17 kemarin shooting Midnight Cell rampung juga. Sebetulnya beberapa voice over belum diambil. Namun anggap saja itu bagian dari post-production.

Shooting Day 2: Apartment Part 2

Shooting hari ke-2, yaitu hari terakhir kita shooting di apartment adalah shooting yang sangat sangat melelahkan. Ini tidak diduga karena jika dilihat adegannya tidak terlalu banyak dan shooting sudah pernah dilakukan disini sebelumnya.



Ternyata saya salah. Adegan-adegan ini belum pernah dilatih sebelumnya dengan kamera, dan banyak masalah properti (mulai dari kotak Blackberry yang terlupakan sampai amplop tiket pesawat yang tertinggal di atas ketika shooting di basement, dan juga masalah lift yang tidak bisa membuka terus).

Adegan di apartment baru selesai jam 8 malam, padahal rencana semula seharusnya itu sudah termasuk adegan di basement. Dan kondisi basement belum diketahui sebelumnya. Untung saja disana sepi dan ada banyak lampu yang bisa dijadikan sumber lighting.



Shooting berakhir jam 10 dan akhirnya saya pun bisa bernafas lega. Badan sudah letih dan kepanasan di dalam basement. Kru dan pemain yang tinggal berjumlah 5 orang pun bersiap-siap pulang. Salah seorang pemain mencoba men-starter mobilnya yang tadi dipakai untuk adegan "putus". Tidak bisa. Kebetulan adegan tadi mengharuskan dia untuk menyala-matikan mesin mobilnya beberapa kali.

Dicoba lagi, tetap tidak bisa. Tanya-tanya teman dan sekuriti di situ, tidak ada yang punya jumper. Akhirnya bengkel pun ditelepon dan mobil tersebut baru bisa nyala kembali kira-kira beberapa menit sebelum jam 12 malam. Saya sendiri sudah pulang duluan karena besoknya harus kerja.



Shooting Day 3: Blumchen Coffee

Sebetulnya saya dan kru sudah punya rencana lain untuk adegan ini, yaitu mengambilnya di sebuah kafe di bilangan Cikini dengan background kereta api yang melintas di atas jembatan. Namun sampai H-2 menjelang shooting, ijin belum juga di dapat. Ketika kita tanya berapa uang kompensasi shooting yang diminta, pemilik kafe menyebut angka yang membuat hati saya mencelos. Bahkan setelah ditawar pun masih terlalu tinggi. Kita independen, Bu! Bukan sejenis Rapi Film..

Akhirnya, kafe lain pun dicari. Salah satu targetnya adalah Blumchen Coffee di bilangan Fatmawati. Sehari sebelumnya saya dan kru survey kesana dan memutuskan untuk shooting diam-diam saja. Sebuah rencana yang langsung ditolak mentah-mentah oleh seorang aktor. Akhirnya, rencana kita adalah untuk meminta ijin langsung on the spot. Jika tidak diberi, baru kita cari kafe lain.



Ternyata, barista Blumchen baik dan membolehkan kita shooting disana. Shooting hari ini pun menjadi shooting yang sangat santai sembari ditemani beberapa cangkir kopi dan musik jazz. Tentu saja kita tidak bawa lighting atau bahkan tripod. Hanya handycam dan microphone saja.

Hujan sempat turun deras sekali dan akhirnya mewarnai dua adegan dalam film. Tidak apa-apa. Masih masuk dalam cerita kalau dipikir-pikir. Toh Days of Being Wild juga banyak diwarnai hujan. Jam 7 malam shooting pun selesai dan walau pencahayaan kurang, saya rasa hasilnya sangat baik.



Shooting Day 4: Time Travel


Seharusnya, shooting di Time Travel ini dilakukan pada hari ketiga, sebelum ke Blumchen. Namun, karena ternyata lift dikunci (waktu itu hari Minggu), akhirnya kita tidak bisa masuk. Akhirnya saya dan seorang aktor coba kesana pada hari biasa selepas jam kantor.

Adegan di Time Travel sebetulnya cuma satu dan sangat singkat dan tanpa dialog. Jadi shooting hari itu adalah shooting tercepat (hanya 15 menit) dan hanya melibatkan dua orang. Ternyata 2 orang kru inti yang lain tidak rela juga kesana hanya demi 1 adegan. Namun tidak apa-apa. Justru kalau terlalu banyak orang akan menimbulkan kecurigaan satpam.



Shooting Day 5: Midnight Cell

Sebuah pertanyaan yang sering diajukan kru dan pemain dari awal adalah "Dimanakah letak Midnight Cell?", dan saya selalu mengelak untuk menjawab, karena memang tidak tahu. Awalnya saya bingung, apakah lebih baik membuat setting sendiri atau pergi ke toko pulsa betulan. Setelah dipikir-pikir, kalau buat sendiri pasti akan terasa artifisial. Jadi akhirnya saya memutuskan: harus pakai toko pulsa betulan. Masalahnya, dimana?

Jadi beberapa bulan belakangan, jika sedang di jalan, saya banyak mengamati toko-toko di kiri-kanan, siapa tahu ada toko pulsa yang cocok. Dan akhirnya saya pun menemukan sebuah toko di bilangan Senayan, tepatnya di belakang Senayan City, yang sangat pas dengan imajinasi. Kebetulan tukang ojek saya suka lewat situ jika mengantar saya.



Strategi Blumchen pun dipakai kembali. Namun kali ini kurang begitu berhasil karena kita tidak bisa mengganggu bisnis toko itu. Jadi setelah minta ijin, kita diperbolehkan shooting, tapi jika ada pembeli, kita minggir.

Ternyata, toko pulsa itu sangat sangat laku. Akhirnya shooting pun sering terganggu dengan adanya pembeli, dan juga anak-anak kecil yang menonton shooting. Kru dan pemain pun protes, dan memaksa saya untuk memberi uang kompensasi, supaya shooting lancar.



Setelah memberi sejumlah uang (yang kalau dipikir-pikir kembali agak kebanyakan), shooting berjalan dengan lancar dan pembeli betulan yang ingin beli pulsa disuruh untuk beli lewat samping. Shooting yang dimulai jam 4 itu akhirnya sukses dan selesai jam 8 malam.

Harusnya kita merayakan rampungnya shooting dengan makan malam, namun saya ada urusan penting yang lain, jadi mungkin bisa ditunda makan-makannya sewaktu filmnya jadi nanti.



Sekarang proses post-production pun sudah hampir selesai, karena setiap kali habis shooting, saya langsung transfer footage-nya ke komputer dan langsung diedit. Adegan-adegan sudah tersambung semua, dan color correction juga sudah dilakukan. Hanya sound saja yang masih belum. Voice over, dering ponsel, mastering volume, dan yang paling sulit: musik.

Musiknya sendiri hanya akan memakai 2 lagu. Satu lagu dari sebuah band indie, dan satu lagi adalah score yang akan saya buat sendiri bersama teman yang punya home recording.



Mudah-mudahan, akhir Juni nanti filmnya jadi dan siap dikirim ke festival-festival film pendek di dalam negeri (dan juga, mudah-mudahan, luar negeri). Sekarang, nikmati dulu still photographs adegan dari Midnight Cell.

Trailer segera menyusul.

Saturday, May 2, 2009

The Jak Anjing, Viking Anjing



Ketika memutuskan untuk menonton Romeo Juliet, saya sudah lupa sebagian besar dari lakon Shakespeare ini. Hanya bagian permusuhan dua keluarga saja, dimana sang anak saling jatuh cinta, yang saya ingat. Jadi saya menonton tanpa harapan bahwa Andibachtiar Yusuf akan mengadaptasi lakon itu mentah-mentah ke dalam film tentang kebrutalan supporter sepak bola ini.

Film dibuka dengan sebuah bentrokan antara The Jak dan Viking, yang begitu realistisnya sampai-sampai saya mengira itu adalah sebuah dokumenter (walaupun mungkin sebagian footage-nya memang sungguhan). Inilah kali pertama Rangga (Edo Borne), supporter Persija, dan Desi (Sissy Prescillia), supporter PERSIB bertemu, dan, ya, mereka jatuh cinta.

Tidak ada adegan balkon di film ini, dan saya kurang yakin apakah Agus (Ramon Y Tungka) adalah Mercutio. Namun harus saya akui bahwa pemilihan adaptasi Romeo and Juliet untuk menceritakan tentang permusuhan The Jak dan Viking adalah ide yang brilian.

Film mengalir dengan baik, dengan tata kamera yang tidak malas bereksplorasi, walaupun kadang-kadang pergerakan kamera handheld pada adegan-adegan perkelahian agak berlebihan dan memusingkan.

Warna di film ini dibagi dua mengikuti lokasi. Adegan-adegan di Jakarta untuk The Jak berwarna jingga, dan adegan-adegan di Bandung untuk Viking berwarna kebiruan. Bahkan di beberapa adegan, untuk lebih mengangkat hal ini, gambar dibuat hitam putih, lalu bagian-bagian tertentu diwarnai dengan warna biru. Sedangkan untuk adegan akhir, kalau saya tidak salah, warna dibuat netral.

Cerita sangat menarik di awal sampai ke tengah. Kita sangat terlibat dalam kisah cinta 'terlarang' antara Rangga dan Desi, yang diperankan cukup baik oleh Edo Borne dan Sissy Prescillia. Ramon Y. Tungka seperti biasa, overacting, namun saya akui tokoh Agus cukup memberi warna untuk film ini dan sangat sering memicu tawa penonton dengan celotehannya.

Namun babak ketiga film ini agak kedodoran dan konflik seakan sudah habis. Saya kehilangan atensi di sepertiga terakhir film ini, meskipun adegan percintaan antara Edo dan Sissy, yang di cut-to-cut dengan massa di stadion adalah adegan yang bagus dan sarat makna.

Apakah ending tetap mengikuti lakon asli dimana Juliet meminum racun bohongan untuk pura-pura mati, lalu Romeo meminum racun sungguhan, dan akhirnya Juliet menusuk dirinya sendiri dengan pisau Romeo? Well, yang pasti, tidak ada racun di film ini. Namun tentunya happy ending tidak mungkin terjadi di film adaptasi Romeo and Juliet bukan? Karena itu adalah esensinya. Maka itu saya kurang suka crazy credit di akhir film.

Perlu dipertanyakan apakah dentingan piano overdramatic dari Ananda Sukarlan (yang membuat saya kecewa karena mengharapkan sesuatu yang lebih classical dari dia) adalah score yang tepat untuk film brutal ini. Termasuk lagu bernuansa opera yang dinyanyikan Bernadeta Astari dan Joseph Kristanto, yang mengingatkan saya akan lagu serupa di Biola Tak Berdawai. Hanya saja lagu garapan Addie MS lebih membekas.

Jika Upi pernah memberi pernyataan bahwa Radit dan Jani adalah film yang brutally romantic, sekarang rasanya pernyataan itu lebih cocok diberikan kepada Romeo Juliet, sebuah film penting yang tidak pernah kita lihat sebelumnya, yang membuka mata orang-orang yang tidak mengetahui seluk beluk supporter sepak bola Indonesia, termasuk orang-orang Indonesia sendiri, dan dibungkus dengan kemasan yang cukup menjual melalui adaptasi lakon super terkenal.

Rangga (menatap Desi dalam-dalam): Viking anjing..
Desi (menatap Rangga dalam-dalam): The Jak anjing..

Blok M Square 21, Jumat, 1 Mei 2009, 19.00 (bioskop seperti Plaza Senayan XXI dengan skala lebih kecil dan harga tiket luar biasa murah).