Sunday, July 20, 2008

Slip Tilang Merah yang Berubah Menjadi Biru (Part 1)

Di pagi yang sial, seorang ABAPer sedang dalam perjalanan menuju kantor bersama sang Kakak melalui rute yang sama yang ditempuh setiap hari. Dan dari hari ke hari, di perempatan itu, sang ABAPer selalu mengambil jalur arah balik di sebelah kanan untuk berbelok ke kanan. Jalan yang melintang di depan adalah jalan satu arah, sehingga itu memungkinkan. Maka pada pagi hari itu pun, ia mengambil jalur paling kanan itu lagi.

Namun di pagi yang sial itu sang ABAPer mengambil jalur itu terlalu cepat. Sangat terlalu cepat. Ketika perempatan itu masih dua puluh meter di depan, lampu lalu lintas sudah berganti warna. Dan di samping lampu ada polisi yang menatap tajam ke arah ABAPer yang terjebak di jalur yang salah pada waktu yang salah. Sang Polisi pun memberi gestur memanggil dan sang ABAPer tidak punya pilihan lain.

Seperti biasa, SIM dan STNK pun diminta untuk diperlihatkan. Lalu seperti biasa juga, sang Polisi pura-pura tidak tahu prosedur dan menanyakan kepada ABAPer: “Jadi bagaimana, Pak?”

Sang ABAPer yang sudah pernah membaca email tentang slip biru pun menjawab: “Maaf, Pak, saya mengaku salah. Saya minta maaf. Sekarang saya minta ditilang dengan slip warna biru”. Ditembak seperti itu, sang Polisi gemuk pun langsung memberi argumen terbata-bata yang tidak jelas dan tidak berujung pangkal.

“Tidak bisa. Semua harus lewat persidangan.”
“Kalau begitu, nanti semua akan minta slip biru dan tidak disidang.”
“Sebetulnya kita sudah tidak bekerja sama dengan BRI lagi.”

Dan sebagainya. Berulang kali sang ABAPer meminta slip biru namun diberi argumen seperti itu. Akhirnya sang ABAPer pasrah dan menandatangani slip merah yang sudah ditulis oleh sang Polisi (sebetulnya slip merah dan biru itu ber-rangkap. Slip mana yang diberikan ke pelanggar, itu tergantung sang Polisi).

Karena kesal tidak diberi slip biru, sang ABAPer mengambil sebuah kertas dan bolpen, lalu mencatat nomor kendaraan dan nama sang Polisi, di depan mata sang Polisi itu. Melihat itu, sang Polisi pun gusar.

“Saya nggak suka Bapak catat-catat nama saya. Terserah Bapak, tapi kalau terjadi apa-apa, Bapak yang salah. Ingat itu,” kata Polisi itu sambil meletakkan satu kaki di ujung mobil sang ABAPer.

Sudah melanggar prosedur, Polisi yang satu ini juga memberikan ancaman. Mungkin di negara dimana hukum dijunjung tinggi, sang ABAPer bisa menuntut Polisi ini dan ia bisa dibebas-tugaskan. Namun ini Indonesia. Dan melaporkan Polisi adalah tindakan yang sangat bodoh. Pada akhirnya, entah kita akan diancam, atau dipaksa untuk tutup mulut dengan menggunakan kekerasan.


Sang ABAPer meminta maaf. Dan sang Polisi menerima permintaan maaf, namun tetap tidak mau memberikan slip biru, ataupun “damai” di tempat, dengan alasan slip merah sudah dibuat. Sebelum pergi, sang Polisi sempat berkata, “Kalau mau, nanti datang saja ke Polda jam tiga sore.”

Sang ABAPer pun meninggalkan sang Polisi dengan keadaan tidak ber-SIM dan melanjutkan perjalanan menuju kantor, sambil berpikir, apa bisa SIM-nya diambil di Polda sore nanti?

Jam tiga kurang sepuluh, sang ABAPer meminta ijin kepada sang Manajer untuk menebus SIM di Polda. Untung sang Manajer adalah orang yang sangat pengertian, dan ia langsung memberi ijin dan simpati. Untungnya lagi (sudah kena tilang pun masih untung), Polda terletak di sebelah gedung tempat ABAPer sedang ditugaskan.

Siapapun yang pernah ke Polda, pasti akan bingung harus menuju ke gedung atau pos mana. Polda adalah sebuah kompleks sangat luas yang bahkan mempunyai lapangan sepak bola sendiri. Namun sebetulnya yang perlu dilakukan cukup mudah, yaitu bertanya.

“Pak, kalau mau titip sidang dimana?”, tanya sang ABAPer kepada seorang Polisi yang berjaga di pintu belakang Polda.

“Sidang? Sidang tilang? Coba saya lihat surat tilangnya.”
Sang ABAPer memberikannya.
“Ditilang pagi tadi ya? Kantor tilang di sebelah sana Pak.”
“Oh baik, Pak.”
“Mau dibantu nggak nih?”
”Saya kesana dulu deh Pak.”

Sang ABAPer menemukan kantor tilang yang dimaksud, mengetuk pintu, lalu masuk, dan menanyakan pertanyaan yang sama seperti pada polisi pertama tadi. Sang Polisi meminta menunjukkan surat tilang juga.

“Tadi pagi ya kena tilangnya?”
“Ya, Pak”
“Laporan tilangnya belum masuk, Mas. Petugasnya masih patroli di lapangan.”
“Kalau mau titip sidang?”
“Sekarang tidak bisa titip sidang ke polisi, Mas. Semua harus melalui proses sidang sendiri.”
“Kalau saya tidak sempat bagimana?”
“Boleh diwakilkan.”

Sebetulnya sang ABAPer agak curiga, mengapa sang Polisi yang menilang tadi menyuruhnya ke Polda jam tiga sore, namun laporan tilang belum masuk, dan batang hidung sang Polisi itu pun tidak kelihatan.

Akhirnya sang ABAPer menunduk menyerah, lalu keluar, dengan maksud menghampiri sang Polisi yang sedang berjaga di depan tadi.

“Pak, saya mau deh dibantu.”
“Tadi Mas kenapa sudah masuk duluan? Sekarang saya jadi tidak enak.”
”Tapi saya belum menunjukkan suratnya kok, Pak,” sang ABAPer berbohong.
“Oh begitu.”
“Ya, Pak. Bisa tidak?”
“Kamu siap dana berapa?”
“Ya jangan mahal-mahal, Pak”.

Beliau meminta delapan puluh ribu rupiah. Sang ABAPer merasa terlalu mahal, namun ia cukup suka dengan Polisi yang satu ini karena cukup ramah.

“Nggak bisa kurang lagi, Mas. Itu aja udah nekad.”
“Tujuh puluh deh, Pak.”
“Nggak bisa, Mas. Oh ya, itu Mas kenanya tadi pagi?
“Iya.”
“Oh, belum balik itu Mas petugasnya. Besok pagi saja kesini lagi.”
“Jam makan siang?”
“Boleh. Mau makan dimana kita?”

Bersambung.