Wednesday, May 2, 2012

Hong Kong Di Mata Saya (Bagian 3)

Perjalanan ferry dari dan ke Macau cukup membuat mabuk laut, terutama di awal dan di akhir ketika kecepatan masih rendah. Terminal ferry di Macau dan di Hong Kong cukup rapih dan efisien, meski saya sempat berada pada gate yang salah saat berangkat. Antrian imigrasi juga cukup cepat.

Di Sheung Wan (terminal ferry di Hong Kong), saya sempat kembali memuaskan keinginan saya untuk menikmati dessert serba mangga. Jadi dessert tersebut bernama "Mango Madness" dan terdiri dari jus mangga, potongan buah mangga yang berlimpah, es krim mangga, dan potongan kelapa. Hm...

Jembatan yang menghubungkan Sheung Wan dan Central

Dari mall (yang menjadi satu dengan terminal ferry itu) saya keluar, namun ternyata saya berada di lantai dua. Meski begitu, dari lantai dua itu ada jembatan yang panjang sekali dan menghubungkan semua gedung-gedung yang ada di sekitarnya. Sehingga orang-orang yang berjalan kaki tidak terkena hujan, tidak perlu menunggu lampu untuk menyeberang jalan, dan bisa menikmati pemandangan. Sungguh dimanja pejalan kaki disana.

Di ujung jembatan itu, tepatnya di depan mall ifc (memang ditulis dengan huruf kecil), saya melihat sebuah toko yang sangat keren dan serba kaca dan menjual barang-barang yang sangat diidam-idamkan banyak orang, yaitu: Apple Store. Jadilah saya masuk ke dalam toko tersebut dan melihat-lihat, meski tidak ada rencana membeli apapun. Sebetulnya Apple Store tersebut mirip saja dengan semua Apple authorized reseller yang lain, namun bedanya lebih besar dan dipenuhi penjaga toko yang semuanya berkaos biru. Dan juga, disamping setiap produk, ada sebuah iPad yang menampilkan informasi tentang produk tersebut. Wow.. 

Apple Store

Oke, sebaiknya saya tidak berlama-lama disana sebelum saya berubah pikiran dan mencomot sebuah iPod Nano. Sayapun pergi naik MTR ke Causeway Bay, daerah kedua yang paling terkenal di Hong Kong (setelah Tsim Sha Tsui di Kowloon). Causeway Bay adalah sisi metropolis dari Hong Kong dan dipenuhi pusat perbelanjaan (dengan suasana yang berbeda juga dengan pusat bisnis Hong Kong, yaitu daerah Central). Ngomong-ngomong pusat perbelanjaan, saya sempat mencari sebuah travel bag disana, dan masuk ke sebuah department store, yaitu Sogo (jauh-jauh ke Hong Kong belanjanya di Sogo juga). Saya bertanya pada petugas informasi, "where can I find travel bags?" dan dijawab, "Oh, you can find it at the bag section, at the tenth floor". Jadi ternyata Sogo-nya sepuluh lantai, saudara-saudara.

Naik ferry ke pulau Hong Kong

Satu hal yang saya selalu ingin coba di Hong Kong adalah naik tram, sebuah moda transportasi yang paling tua di Hong Kong. Ongkosnya pun murah, sekitar 2.10 HKD kalau saya tidak salah ingat, dan dapat menggunakan Octopus Card (memang canggih kartu ini, bisa dipakai untuk naik MTR, bus, tram, ferry, bahkan membeli minuman di 7 Eleven). Maka naik tram lah saya dari dekat Causeway Bay MTR station, tanpa tahu kemana tram itu pergi (toh ada rel-nya, tinggal menyusuri balik saja jika nyasar). Tram di Hong Kong unik, dengan bangku menyamping di lantai bawah, dan bangku biasa menghadap depan di lantai atas. Banyak sekali orang tua yang punya senior citizen card yang naik tram (mungkin karena mereka kesulitan naik MTR) dan mereka pun hanya perlu membayar 1 HKD saja alias 1200 rupiah. Bandingkan dengan mikrolet yang ongkosnya "Dekat, 2 ribu".

Setelah puas berkeliling naik tram (tram-nya juga sempat melewati Happy Valley Racecourse, tempat menonton pacuan kuda, meski hanya lewat depannya saja), hujan turun rintik-rintik. Saya pun menunggu hujan dengan berbelanja di supermarket Wellcome, untuk mencari oleh-oleh. Tak terasa, waktu sudah jam 6 sore, dan sudah waktunya saya kembali ke Tsim Sha Tsui untuk bertemu dengan teman saya yang sudah pulang bekerja.

Menikmati pulau Hong Kong dari Viewing Deck di Public Pier, Kowloon

Kami sempat mengganti tempat rendez-vous dari Clock Tower menjadi MTR station, dan ternyata, Tsim Sha Tsui MTR station besarnya kira-kira sebesar Tsim Sha Tsui itu sendiri. Kalau tidak percaya coba saja transit dari Tsim Sha Tsui ke East Tsim Sha Tsui. Pindah line di MRT Singapura tidak ada apa-apanya. Saya jadi kasihan dengan orang-orang tua yang harus naik MTR. Pasti capek.

Akhirnya kami pun berhasil bertemu di Exit D, dan langsung menuju Avenue of Stars, meski akhirnya batal karena lagi-lagi hujan turun. Akhirnya kami membeli pork pie dan milk tart di jalan, dan tentunya, pudding milk tea dari Gong Cha, lalu memakannya di hotel sambil ngobrol. Sekitar jam 10 malam saya pun sempat keluar untuk mencari egg balls (yang mirip waffle itu) dan saya.. nyasar. Sungguh bagi saya Tsim Sha Tsui adalah labirin..

Percaya atau tidak, ini adalah sebuah Starbucks
Keesokan harinya, adalah hari terakhir saya di Hong Kong (karena lusa pagi saya pulang), dan yang saya lakukan adalah: jalan kaki ke public pier di Kowloon, berfoto-foto di viewing deck (meski mendung), lalu naik ferry ke Hong Kong island. Naik ferry ini pun menjadi tujuan wisata sendiri karena sangat unik. Ongkosnya juga kalau tidak salah hanya 3 HKD.

Sebuah gedung di daerah Central

Di Hong Kong island, saya langsung menuju ke daerah Central untuk mencari sebuah Starbucks di Duddell Street, yang konon unik karena ber-design ala "old Hong Kong coffeshop". Dan ternyata memang sangat unik, meski bagian depannya tetap terasa Starbucks. Sarapan saya pagi itu adalah pineapple bun (yang khas Hong Kong juga, disajikan dengan sepotong butter tebal), dan hot mint mocha.

Seorang anak kecil lucu membawa backpack lebah di Man Mo Temple

Dari Starbucks itu, saya tidak mau mengakui saya pergi kemana. Oke, saya pergi ke H&M, dan membeli beberapa celana. Oke, lanjut. Dari Queens Street, saya pun berjalan kaki ke daerah Mid-levels lagi (yang di bawah bukit itu) dan pergi ke Man Mo Temple. Untuk masuk ke temple itu gratis, namun tersedia penyewaan audio guide (dengan alat seperti earphone dan media player) seharga 30 HKD. Berhubung uang saya sudah hampir habis (karena H&M), maka saya tidak mengambil audio guide. Man Mo Temple kecil saja namun cukup menarik dan masih didatangi orang-orang untuk bersembahyang.

Dari sana, saya pun pergi ke Lan Kwai Fong, sebuah daerah penuh bar, restoran, dan pub mirip SoHo berbentuk L yang sayangnya di siang hari kurang bagus suasananya. Saya pun tidak berlama-lama dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke Causeway Bay (lagi) untuk melihat Victoria Park, sebuah taman yang jika hari Minggu penuh dengan para TKW asal Indonesia yang piknik disana (saya pun sempat melihat mereka dari bus waktu ke Stanley Market).

Membakar dupa di Man Mo Temple

Di sekitar Victoria Park pun banyak restoran Indonesia dan dengan mudah kita menjumpai perempuan yang berbahasa Jawa. Bahkan ada seorang perempuan yang duduk dan memegang kotak sumbangan bertuliskan "sumbangan untuk yatim piatu". Saya sempat duduk sebentar di taman tersebut sebelum makan siang (menjelang sore) di sebuah restoran hong kong noodle dan memesan yellow noodle with pork neck and fish balls. Selain dua item tersebut, yang mereka punya adalah pork intestine, bloodcake, dan segala jeroan mengerikan lainnya. Namun hong kong noodle-nya enak.

Victoria Park

Seorang TKW menjajakan penganan Indonesia di sebuah warung dekat Victoria Park

Setelah makan, saya kembali ke daerah Tsim Sha Tsui untuk mencari tempat yang saya ingin lihat sebagai pencinta sebuah film Hong Kong berjudul Chungking Express. Film tersebut ber-setting di sebuah gedung tua bernama Chungking Mansions. Maka saya pun mencari Chungking Mansions ini yang berada di dekat sebuah Exit dari MTR station. Chungking Mansions adalah sebuah melting pot dimana kita dapat berjumpa dengan orang dengan ras apapun dan dimana kita dapat menemukan tempat menginap yang paling murah di Hong Kong (meski spartan dan tanpa jendela). Disana pun kita dapat menemukan money changer dengan rate terbaik, dan juga food stalls yang menjual makanan India dan bahkan makanan Nepal.

Chungking Mansions, the melting pot.

Setelah puas mengambil foto, saya pun kembali ke hotel untuk menaruh barang belanjaan, untuk kemudian keluar lagi untuk pergi ke Wellcome dekat hotel. Kebetulan ada titipan teman yang belum saya temukan di Wellcome sebelumnya. 

Jam 7.30 malam, teman saya belum juga pulang, dan akhirnya saya memutuskan untuk pergi sendiri ke Avenue of Stars, karena jam 8 tepat ada laser show disana, dan sepertinya semua turis di Hong Kong berkumpul di tempat itu. Laser show tersebut adalah pertunjukan lampu-lampu dari gedung-gedung yang ada di Hong Kong island yang menyala dan bergerak seirama dengan musik yang mengiringi. Sebuah ide yang sangat brilian (dan pencapaian teknis yang tidak mudah) menurut saya dan terbukti bahwa apapun dapat menjadi tourist attraction di Hong Kong. Namun bagi saya pribadi, pertunjukan tersebut tidak terlalu menarik (mungkin karena musiknya). Malah lebih menarik pameran lukisan yang ada di sepanjang Avenue of Stars tersebut (yang ternyata adalah walk-of-fame meski saya tidak mengenal satupun nama-nama artis Hong Kong yang ada disana).

Pameran lukisan di Avenue of Stars
Malam pun saya lewati dengan berjalan-jalan di Harbor City dengan teman saya yang akhirnya menyusul, makan gorengan di jalanan di Tsim Sha Tsui, minum Gong Cha (lagi), dan makan beberapa penganan tidak jelas lainnya, sebelum akhirnya kami kecapaian dan pulang.

Dan keesokan harinya pun saya sudah harus kembali ke Jakarta naik penerbangan jam 11 siang. Awalnya saya ingin naik bus ke Airport Express Kowloon station, namun tidak menemukan bus-nya. Mau naik taksi, tidak ada taksi yang mau mengantar ketika saya meminta. Mungkin juga karena kendala bahasa. Akhirnya saya menenteng bawaan saya yang cukup banyak ke MTR station, untuk naik MTR ke Tsing Yi (sempat pindah line sekali), dan pindah lagi ke Airport Express line untuk menuju bandara. Untung saja tidak terlambat.

Pemandangan dari luar jendela ketika pulang dari Hong Kong

Jujur, sebagai orang keturunan Cina, menjadi tekanan bagi saya karena berwajah Cina namun tidak berbahasa Mandarin ataupun Cantonese. Saya sering tidak dilayani dan seperti dianggap aneh. Meski saya tidak se-frustasi ketika saya ke Vietnam beberapa tahun lalu. Walaupun begitu, tidak ada yang bermaksud jahat ataupun menipu sama sekali. Jadi memang gaya mereka seperti itu dan tidak boleh kita ambil hati. Cepat, efesien, tanpa basa-basi.

Jadi, cita-cita saya adalah, belajar basic Cantonese untuk dapat membeli milk tea di Gong Cha, tanpa membuat 'mbak'-nya bingung.

Saya, di depan Chungking Mansions

See you again, Hong Kong!

Sunday, April 29, 2012

Hong Kong Di Mata Saya (Bagian 2)

Pagi pertama, setelah sarapan di sebuah restoran di Tsim Sha Tsui (bacon, egg, french toast, and coffee) saya langsung naik MTR menuju Ngong Ping 360 di Tung Chung untuk naik cable car. Ada 2 jenis cable car yang tersedia, yaitu yang standard, dan glass-bottomed. Meski lebih mahal, tentu saja saya memilih yang glass-bottomed (188 HKD). Kapan lagi?

Glass-bottom

Cukup deg-degan juga ketika kereta gantung itu bergerak meninggalkan platform, karena kaki kita hanya menapak pada kaca transparan dan bisa melihat dengan jelas apa yang ada di bawahnya baik itu laut, hutan, bukit, ataupun jalan setapak nature path yang sangat panjang dan yang juga berakhir di Ngong Ping Village. Pemandangan di jendela pun cukup breathtaking. Tapi sebetulnya pengalaman naik cable car saya yang paling berkesan adalah di Genting, Kuala Lumpur, karena cable car yang kita naiki masuk ke dalam kabut dan semua menjadi putih dan siapa yang tahu jika ada monster di luar sana seperti dalam film The Mist..

Bird-eye view dari glass-bottomed cable car

Saya pun sampai di Ngong Ping Village dan atraksi utama disana adalah Giant Buddha, yang memang sangat.. besar. Namun sebetulnya tidak terlalu istimewa. Untuk naik ke Giant Buddha tidak dikenakan tiket. Namun jika ingin masuk ke dalamnya, kita harus membayar 25 HKD. Saran saya sih tidak perlu sampai masuk karena sepertinya tidak ada apa-apa juga.

Tiga anak bule di Giant Buddha

Di sekitar Giant Buddha ada beberapa monastery dan lagi-lagi menurut saya tidak terlalu menarik karena mirip-mirip saja dengan klenteng yang sering saya lihat di Indonesia. Namun itulah bedanya Indonesia dengan Hong Kong ataupun Singapura. Tourism board mereka sangat pandai mengemas objek-objek wisatanya sehingga yang biasa-biasa pun menjadi sangat menarik dan ramai dikunjungi. Coba saja kita bayangkan bila ada cable car di... Dieng Plateau misalnya. Wah!

Sebuah kafe di Stanley Market

Saya pun tidak berlama-lama dan harus merelakan untuk tidak berbelanja di Tung Chung mall yang sangat terkenal sebagai surga belanja karena adalah pusat outlet di Hong Kong dimana kita dapat membeli banyak pakaian, sepatu, atau tas bermerk dengan harga miring. Padahal harga barang di pusat kotanya pun sudah lebih murah jika dibandingkan dengan Singapura atau Jakarta.

Stanley Waterfront Mart

Setelah makan siang (menjelang sore) di Food Republic (saya memesan baked rice with pork chop and fish yang ternyata adalah makanan khas Macau), saya meninggalkan Tung Chung di Lantau Island menuju Stanley Market di ujung selatan pulau Hong Kong dengan menggunakan bus nomor 6X dari sekitar Causeway Bay (karena tidak ada MTR menuju Stanley Market). Bus ternyata melewati Ocean Park dan kita dapat melihat roller coaster-nya yang terletak di atas bukit. Sebelum sampai di Stanley Plaza, bus juga bergerak menyusuri pantai dan banyak turis dan penduduk yang berjemur dan berenang di pantai yang tenang tanpa ombak.

Sebuah pojok di Stanley Market

Kawasan Stanley Market awalnya hanyalah sebuah pasar dimana kita dapat membeli segala macam barang mulai dari pakaian, barang antik, lukisan, aksesoris, dan lainnya. Tentu saja dengan sistem tawar-menawar. Namun karena letaknya yang di pinggir pantai, akhirnya bermunculan pub dan bar di kawasan itu dan juga Stanley Plaza yang terbuka dan mempunyai banyak restoran dan juga ice cream stall. Suasananya begitu hidup dan laid back dan sepertinya menjadi tujuan favorit Hongkongers untuk berlibur. Sayangnya saya tidak sempat untuk masuk ke dalam Murray House, sebuah gedung bersejarah bergaya Victoria, yang direlokasi dari wilayah Central Hong Kong.

Bagian depan Stanley Market

Menjelang malam, saya pun kembali ke pusat kota Hong Kong dan menjelajah daerah Mid-levels. Daerah Mid-levels adalah daerah yang berkontur menanjak di antara pusat kota dan Victoria Peak. Yang paling menarik dari daerah ini adalah adanya moda transportasi berupa eskalator sambung menyambung (baik mendatar atapun menanjak) yang adalah rangkaian eskalator terpanjang di dunia. Kita dapat keluar di tengah-tengah dan menyusuri jalan yang bersilangan dengan eskalator, dan di kiri kanan terdapat banyak pub dan restoran berkelas yang menyajikan haute cuisine dan dipenuhi para bule. Jika saja tidak ada huruf-huruf Cina dimana-mana, rasanya seperti tidak berada di Hong Kong lagi namun di sebuah kota di Eropa. Meskipun saya belum pernah ke Eropa.

Jajanan di Mid-levels

Tidak ada tempat di dalam pub? Tidak masalah. Duduk sambil minum di trotoar.

Jalan yang terkenal yang dilewati Mid-level Escalator adalah Hollywood Road dan SoHo (south of Hollywood) dimana seorang teman saya menunjukkan sebuah restoran hong kong noodle terkenal yang mendapat Michelin star. Saya pun makan disana dan memesan yellow noodle dengan beef dan fish ball yang memang sangat enak dan harganya pun hanya 26 HKD.

Mid-levels Escalators

Menjelang tengah malam saya pun kembali ke daerah Tsim Sha Tsui, dan kembali minum milk tea dari Gong Cha, dan juga mencoba sebuah penganan khas Hong Kong, yaitu waffle yang bulat-bulat dan tergulung dan disebut egg balls, dan juga sebuah mango tart dari Maxim's Cake (yang selalu ada di semua stasiun MTR). Hong Kong adalah surga bagi pencinta mangga karena mangga tersedia sepanjang tahun dan kualitasnya pun sangat baik. Saya ingin sekali mencoba mango cake bundar seloyang dan sepenuhnya tertutup oleh lembaran-lembaran (bukan potongan) mangga. Hm...

Mengambil taksi di SoHo

Keesokannya (hari Senin), saya harus berpegian sendirian karena teman saya harus bekerja. Dan saya pun memutuskan untuk pergi ke Macau setelah menyantap milk tart di jalan sebagai sarapan. Untuk ke Macau, kita dapat mengambil ferry dari Sheung Wan. Dan ferry terminal-nya pun menyatu dengan MTR station, sesuatu yang muskil terjadi di Indonesia, dimana tidak ada integrasi apapun antar moda transportasi.

Michelin star hong kong noodle

Vespa, hidran, dan sebuah cafe pinggir jalan.

Saya pun memesan tiket return (291 HKD) dan memilih tiket pulang jam 3 sore dari Macau (karena saya berpikir tidak akan melihat show ataupun berjudi di casino). Sebuah keputusan yang saya sesali kemudian karena saya tidak menyangka Macau semenarik itu. Macau adalah sebuah kota yang sangat aneh menurut saya dan sangat berbeda dengan kota metropolis biasa dan banyak sekali yang dapat dilihat. Dan selalu terdapat signage dalam bahasa Portugis meskipun saya tidak pernah mendengar sekalipun ada orang yang berbahasa Portugis disana.

TurboJet ferry dari Hong Kong ke Macau

Pintu masuk menuju Ruines of St. Paul

Perjalanan laut ke Macau hanya memakan waktu 1 jam dan di terminal ferry di Macau kita dapat mengambil peta di visitor center dan bertanya-tanya ke petugasnya yang dapat berbahasa Inggris. Mayoritas pengunjung akan mengambil bus nomor 3 (3.10 MOP) dan menuju Ruines of St. Paul dan sekitarnya, termasuk saya. Kita dapat menggunakan HKD di Macau (yang nilainya sedikit lebih tinggi dari MOP, kira-kira 100 HKD = 109 MOP). Namun jika kita membeli sesuatu yang mahal, ada baiknya menukar HKD dengan MOP karena selisihnya terasa.


Ruines of St. Paul

Cathedral

Sesampainya di Rua de Sao Paulo, semua turis pun turun dari bus. Dan mulailah saya menyusuri jalan yang tidak boleh dilalui mobil itu sampai ke Ruines of St. Paul, sisa reruntuhan gereja St. Paul yang terbakar pada tahun 1835 dan hanya menyisakan sebuah tembok di bagian selatan. Sialnya, hari itu mendung dan hujan pun turun. Turis-turis lari berteduh dan membeli payung. Saya tidak memotret terlalu banyak karena takut terkena air dan akhirnya saya menyusuri pinggir-pinggir dari koridor-koridor di dekat kompleks itu yang terlindung dari air. Dan saya pun masuk ke sebuah cafe Portuguese kecil dan memesan caldo verde (sup kentang) dan cafe late sambil menunggu hujan. Sebelumnya, saya juga sempat membeli dendeng pesanan teman di Pasteleria Kei Koi yang banyak terdapat di jalan kecil menuju St. Paul. Ternyata memang dendeng adalah oleh-oleh Macau yang paling terkenal. Dan juga menyantap pork burger dan tentunya, portuguese egg tart.

Silencio!


Beberapa gereja yang ada di Macau juga sangat menarik dan terbuka untuk umum meskipun ada bagian-bagian yang tidak boleh kita masuki, kecuali jika memang ingin berdoa. Ternyata memang ada orang keturunan Portugis (atau campuran Cina-Portugis) di Macau yang dinamakan ras Macanese, dan mereka berbahasa Portugis dan beragama Katholik atau Protestan.

La Bonne Heure, Macau

Satu hal yang juga mejadi perhatian saya adalah di pusat kota Macau itu terdapat banyak sekali bunga segar yang sepertinya diganti secara rutin oleh petugas pertamanan kota. Landscape kota pun menjadi penuh bunga berwarna-warni dan lampu-lampu taman yang digunakan untuk menerangi jalan.


Petugas pertamanan kota Macau

Tidak terasa, waktu saya pun hampir habis dan saya berjalan menyusuri jalan utama menuju halte bus yang ada di tengah-tengah persimpangan besar yang terdapat banyak kasino dan kembali ke ferry terminal untuk pulang ke Hong Kong. Lain waktu, saya akan mengunjungi Macao kembali untuk melihat show cirque du soleil dan mungkin mengunjungi kasino-kasino disana yang pastinya sangat menarik untuk dikunjungi di malam hari.

Sebuah kasino di Macau

masih bersambung..

Hong Kong Di Mata Saya (Bagian 1)

Hong Kong adalah sebuah tempat yang intriguing untuk saya. Sebuah perpaduan east meets west dari Cina (tepatnya provinsi Guangdong) dan kolonialisme Inggris. Meski Hong Kong sudah diserahkan kembali ke Cina pada tahun 1997 (saya pun masih cukup ingat dengan seremoninya di televisi waktu itu), namun Hong Kong saat ini adalah salah satu Special Administrative Region (SAR, sering disebut Hong Kong SAR) dari Cina yang mempunyai hak otonomi khusus. Yang lainnya adalah Macau.

Sekitar awal bulan ini, saya mendapati kenyataan bahwa bulan ini: pekerjaan saya di kantor sedang low, kursus Perancis saya setiap hari Minggu sedang libur, dan seorang teman dekat ditugaskan di Hong Kong selama sekitar 6 bulan.

Menunggu pesawat di Old Town, Terminal 2 Soekarno Hatta. Overpriced.

Saya pun mulai mencari-cari tiket untuk berlibur di bulan ini, karena mulai bulan depan sepertinya akan susah untuk mendapat approval cuti. Awalnya saya memilih tujuan wisata lokal yang lebih hemat atau mungkin Bangkok, yang lebih dekat. Namun saya pikir, kapan lagi saya ke Hongkong, dan mendapatkan akomodasi gratis? Well, pada akhirnya nanti, saya menyewa extra bed seharga 100HKD per malam, tapi itu sangatlah murah.

Akhirnya, saya mendapatkan tiket Jetstar seharga 320USD dari Jakarta ke Hong Kong dengan layover di Singapura. Setelah dikurs, sekitar dua juta sembilan ratus. Lumayanlah! Namun yang baru saya betul-betul sadari kemudian adalah, ternyata saya berangkat pagi hari tanggal 21 April dan baru tiba jam 7.45 malam. Di Singapura pun akan susah untuk keluar dari Changi karena hanya transit selama 3 jam. Oh, well.

Cactus Garden

Pada hari H, saya pun berangkat dengan sebuah backpack (yang saya check-in-kan, karena takut menjadi beban saat transit, dan lagipula saya membawa beberapa liquid). Layover di Changi selama 3 jam tidaklah terasa lama. Waktu itu tepat waktu makan siang dan sayapun memesan sebuah tuna sandwich di Subway (yang entah kenapa belum juga kembali membuka outlet di Jakarta), dan juga segelas mango smoothies dari Boost Juice. Selepas makan, saya memutuskan untuk melihat Cactus Garden di Terminal 1 yang ternyata cukup menarik dengan berbagai jenis spesies kaktus yang belum pernah saya lihat sebelumnya.

Penerbangan ke Hong Kong dari Singapura berlangsung selama tiga setengah jam dan tanpa makanan! Saya cukup kecewa dan menyumpahi diri sendiri karena membuang roti cokelat dari penerbangan sebelumnya (yang ternyata dioperasikan oleh ValuAir). Hasilnya, saya mendarat di Hong Kong dengan kondisi sangat lapar. Suhu di Hong Kong saat itu tidak berbeda jauh dengan Jakarta atau Singapura, tapi memang lebih sejuk.

The platform

Saya pun langsung mengisi ulang Octopus Card saya (yang saya pinjam dari seorang teman) sebanyak 200HKD, dan diberi tahu bahwa tarif naik Airport Express ke Central Station adalah 100HKD (dapat menggunakan Octopus Card tersebut). Cukup mahal. Namun ternyata yang dinamakan Airport Express bukanlah MTR biasa (ya, MRT di Hong Kong bernama MTR), namun sebuah kereta super cepat yang bertempat duduk seperti kabin pesawat dan hanya berhenti di 3 stasiun, yaitu Tsing Yi (di Lantau Island), Kowloon, dan Hong Kong. Saya harus turun di Hong Kong Station. Aneh juga, saya baru saja mendarat di Hong Kong, dan sekarang saya naik kereta ke Hong Kong. Ternyata sebelumnya saya belum sampai di Hong Kong..

Saya pun bertemu dengan teman saya yang sedang ditugaskan di Hong Kong itu di MTR Central Station (hanya berbeda lantai dengan Hong Kong Station). Target malam itu adalah naik Peak Tram dan tentunya ke The Peak. Namun karena saya sangat lapar, saya pun makan sejenak di McDonalds di mall yang terhubung dengan Central Station tersebut.

Peak Tram

Sehabis makan, karena terburu-buru (The Peak tutup jam 11 malam), kamipun naik taksi ke Peak Tram, yang sebetulnya cukup dekat dengan Central Station, dengan ongkos 20HKD (tarif minimal) dan langsung membeli tiket tram pulang pergi dan tiket ke viewing terrace seharga 65HKD. Peak Tram adalah tram yang sangat bersejarah karena sudah ada sejak tahun 1888 dan tram-nya pun masih asli (meski sudah tidak terbuat dari kayu lagi) dan berfungsi dengan baik dan terkomputerisasi. Naik Peak Tram adalah pengalaman yang sangat unik karena tram menaiki bukit dengan kemiringan 45 derajat dan seolah-olah gedung-gedung di sekitarnyalah yang miring 45 derajat.

Telescope
 
Saya dan teman saya pun langsung bergegas menuju viewing terrace dimana kita dapat melihat pulau Hong Kong dari atas bukit (aslinya bernama Victoria Peak). Dan di atas sana udara cukup dingin (dan sedikit berkabut). Indah sekali gedung-gedung berwarna-warni di wilayah Hong Kong dan Kowloon yang dipisahkan oleh sebuah selat dan juga pemandangan di sekitarnya yang dapat kita lihat 360 derajat. Mungkin lain kali saya akan kembali kesini untuk menikmati matahari terbenam dan sinarnya yang keemasan menerpa gedung-gedung tinggi itu, yang satu-per-satu menyalakan lampunya..

Hong Kong

Waktu menunjukkan pukul 11 malam dan kami pun diusir dari teras karena akan segera tutup, meski masih sempat menikmati plaza yang berada di bawahnya. Kami memutuskan untuk menuju ke hotel (sebetulnya adalah serviced apartment) yang terletak di wilayah Tsim Sha Tsui (baca: Chim Sa Choy) di Kowloon dengan taksi karena tidak yakin MTR masih beroperasi (saat itu hampir jam 12 malam). Dan kamipun naik taksi dan menyeberangi selat di antara Hong Kong dan Kowloon dengan melewati terowongan yang cukup panjang. Saya pun terkesima karena belum pernah melewati terowongan bawah laut sebelumnya.

Portuguese egg tarts

 Saat turun di Tsim Sha Tsui, betapa kagetnya kami ketika sang supir meminta ongkos sebesar 180HKD! Apa! Kami pun protes meski sia-sia karena supir taksi kami tidak berbahasa Inggris. Akhirnya kami mengerti bahwa taksi tersebut adalah taksi dari Hong Kong Island, dan untuk melewati tunnel, dikenakan surcharge sebesar 45HKD, dan dia pun harus kembali lagi dari Kowloon melewati tunnel tersebut, sehingga total surcharge sebesar 90HKD. Sungguh mahal, mengingat secara jarak, Peak Tram dan Tsim Sha Tsui sangatlah dekat meski terpisah oleh selat Hong Kong. Akhirnya sopir taksi kami pun memberi keringanan sedikit dan kami boleh membayar 160HKD. Lesson learned. Jangan pernah naik taksi jika harus menyeberangi selat Hong Kong. Lebih baik naik ferry atau MTR (dan ternyata MTR beroperasi sampai jam 1 pagi!). Namun dengan MTR pun, jika kita melewati tunnel itu, akan dikenakan surcharge sebesar kira-kira 6HKD.

A pink sports car at Tsim Sha Tsui

 Sebelum ke hotel, saya dan teman saya sempat mencari dessert di wilayah Tsim Sha Tsui dan akhirnya menemukan sebuah tempat dan saya memesan mango with sago balls in coconut milk, squid balls, dan Portuguese egg tart. Dan memesan bubble tea dari tempat favorit kami, Gong Cha.
 
Gong Cha, bubble tea from heaven

bersambung..