Sunday, April 29, 2012

Hong Kong Di Mata Saya (Bagian 1)

Hong Kong adalah sebuah tempat yang intriguing untuk saya. Sebuah perpaduan east meets west dari Cina (tepatnya provinsi Guangdong) dan kolonialisme Inggris. Meski Hong Kong sudah diserahkan kembali ke Cina pada tahun 1997 (saya pun masih cukup ingat dengan seremoninya di televisi waktu itu), namun Hong Kong saat ini adalah salah satu Special Administrative Region (SAR, sering disebut Hong Kong SAR) dari Cina yang mempunyai hak otonomi khusus. Yang lainnya adalah Macau.

Sekitar awal bulan ini, saya mendapati kenyataan bahwa bulan ini: pekerjaan saya di kantor sedang low, kursus Perancis saya setiap hari Minggu sedang libur, dan seorang teman dekat ditugaskan di Hong Kong selama sekitar 6 bulan.

Menunggu pesawat di Old Town, Terminal 2 Soekarno Hatta. Overpriced.

Saya pun mulai mencari-cari tiket untuk berlibur di bulan ini, karena mulai bulan depan sepertinya akan susah untuk mendapat approval cuti. Awalnya saya memilih tujuan wisata lokal yang lebih hemat atau mungkin Bangkok, yang lebih dekat. Namun saya pikir, kapan lagi saya ke Hongkong, dan mendapatkan akomodasi gratis? Well, pada akhirnya nanti, saya menyewa extra bed seharga 100HKD per malam, tapi itu sangatlah murah.

Akhirnya, saya mendapatkan tiket Jetstar seharga 320USD dari Jakarta ke Hong Kong dengan layover di Singapura. Setelah dikurs, sekitar dua juta sembilan ratus. Lumayanlah! Namun yang baru saya betul-betul sadari kemudian adalah, ternyata saya berangkat pagi hari tanggal 21 April dan baru tiba jam 7.45 malam. Di Singapura pun akan susah untuk keluar dari Changi karena hanya transit selama 3 jam. Oh, well.

Cactus Garden

Pada hari H, saya pun berangkat dengan sebuah backpack (yang saya check-in-kan, karena takut menjadi beban saat transit, dan lagipula saya membawa beberapa liquid). Layover di Changi selama 3 jam tidaklah terasa lama. Waktu itu tepat waktu makan siang dan sayapun memesan sebuah tuna sandwich di Subway (yang entah kenapa belum juga kembali membuka outlet di Jakarta), dan juga segelas mango smoothies dari Boost Juice. Selepas makan, saya memutuskan untuk melihat Cactus Garden di Terminal 1 yang ternyata cukup menarik dengan berbagai jenis spesies kaktus yang belum pernah saya lihat sebelumnya.

Penerbangan ke Hong Kong dari Singapura berlangsung selama tiga setengah jam dan tanpa makanan! Saya cukup kecewa dan menyumpahi diri sendiri karena membuang roti cokelat dari penerbangan sebelumnya (yang ternyata dioperasikan oleh ValuAir). Hasilnya, saya mendarat di Hong Kong dengan kondisi sangat lapar. Suhu di Hong Kong saat itu tidak berbeda jauh dengan Jakarta atau Singapura, tapi memang lebih sejuk.

The platform

Saya pun langsung mengisi ulang Octopus Card saya (yang saya pinjam dari seorang teman) sebanyak 200HKD, dan diberi tahu bahwa tarif naik Airport Express ke Central Station adalah 100HKD (dapat menggunakan Octopus Card tersebut). Cukup mahal. Namun ternyata yang dinamakan Airport Express bukanlah MTR biasa (ya, MRT di Hong Kong bernama MTR), namun sebuah kereta super cepat yang bertempat duduk seperti kabin pesawat dan hanya berhenti di 3 stasiun, yaitu Tsing Yi (di Lantau Island), Kowloon, dan Hong Kong. Saya harus turun di Hong Kong Station. Aneh juga, saya baru saja mendarat di Hong Kong, dan sekarang saya naik kereta ke Hong Kong. Ternyata sebelumnya saya belum sampai di Hong Kong..

Saya pun bertemu dengan teman saya yang sedang ditugaskan di Hong Kong itu di MTR Central Station (hanya berbeda lantai dengan Hong Kong Station). Target malam itu adalah naik Peak Tram dan tentunya ke The Peak. Namun karena saya sangat lapar, saya pun makan sejenak di McDonalds di mall yang terhubung dengan Central Station tersebut.

Peak Tram

Sehabis makan, karena terburu-buru (The Peak tutup jam 11 malam), kamipun naik taksi ke Peak Tram, yang sebetulnya cukup dekat dengan Central Station, dengan ongkos 20HKD (tarif minimal) dan langsung membeli tiket tram pulang pergi dan tiket ke viewing terrace seharga 65HKD. Peak Tram adalah tram yang sangat bersejarah karena sudah ada sejak tahun 1888 dan tram-nya pun masih asli (meski sudah tidak terbuat dari kayu lagi) dan berfungsi dengan baik dan terkomputerisasi. Naik Peak Tram adalah pengalaman yang sangat unik karena tram menaiki bukit dengan kemiringan 45 derajat dan seolah-olah gedung-gedung di sekitarnyalah yang miring 45 derajat.

Telescope
 
Saya dan teman saya pun langsung bergegas menuju viewing terrace dimana kita dapat melihat pulau Hong Kong dari atas bukit (aslinya bernama Victoria Peak). Dan di atas sana udara cukup dingin (dan sedikit berkabut). Indah sekali gedung-gedung berwarna-warni di wilayah Hong Kong dan Kowloon yang dipisahkan oleh sebuah selat dan juga pemandangan di sekitarnya yang dapat kita lihat 360 derajat. Mungkin lain kali saya akan kembali kesini untuk menikmati matahari terbenam dan sinarnya yang keemasan menerpa gedung-gedung tinggi itu, yang satu-per-satu menyalakan lampunya..

Hong Kong

Waktu menunjukkan pukul 11 malam dan kami pun diusir dari teras karena akan segera tutup, meski masih sempat menikmati plaza yang berada di bawahnya. Kami memutuskan untuk menuju ke hotel (sebetulnya adalah serviced apartment) yang terletak di wilayah Tsim Sha Tsui (baca: Chim Sa Choy) di Kowloon dengan taksi karena tidak yakin MTR masih beroperasi (saat itu hampir jam 12 malam). Dan kamipun naik taksi dan menyeberangi selat di antara Hong Kong dan Kowloon dengan melewati terowongan yang cukup panjang. Saya pun terkesima karena belum pernah melewati terowongan bawah laut sebelumnya.

Portuguese egg tarts

 Saat turun di Tsim Sha Tsui, betapa kagetnya kami ketika sang supir meminta ongkos sebesar 180HKD! Apa! Kami pun protes meski sia-sia karena supir taksi kami tidak berbahasa Inggris. Akhirnya kami mengerti bahwa taksi tersebut adalah taksi dari Hong Kong Island, dan untuk melewati tunnel, dikenakan surcharge sebesar 45HKD, dan dia pun harus kembali lagi dari Kowloon melewati tunnel tersebut, sehingga total surcharge sebesar 90HKD. Sungguh mahal, mengingat secara jarak, Peak Tram dan Tsim Sha Tsui sangatlah dekat meski terpisah oleh selat Hong Kong. Akhirnya sopir taksi kami pun memberi keringanan sedikit dan kami boleh membayar 160HKD. Lesson learned. Jangan pernah naik taksi jika harus menyeberangi selat Hong Kong. Lebih baik naik ferry atau MTR (dan ternyata MTR beroperasi sampai jam 1 pagi!). Namun dengan MTR pun, jika kita melewati tunnel itu, akan dikenakan surcharge sebesar kira-kira 6HKD.

A pink sports car at Tsim Sha Tsui

 Sebelum ke hotel, saya dan teman saya sempat mencari dessert di wilayah Tsim Sha Tsui dan akhirnya menemukan sebuah tempat dan saya memesan mango with sago balls in coconut milk, squid balls, dan Portuguese egg tart. Dan memesan bubble tea dari tempat favorit kami, Gong Cha.
 
Gong Cha, bubble tea from heaven

bersambung..

2 comments:

  1. Tulisan yang sangat menarik . . . Membuat saya ingin mencoba backpacker travelling.

    ReplyDelete
  2. Gw jg plan mau ke hong kong nih sammmmm..what must see disana? *aledong*

    ReplyDelete