Sunday, April 29, 2012

Hong Kong Di Mata Saya (Bagian 2)

Pagi pertama, setelah sarapan di sebuah restoran di Tsim Sha Tsui (bacon, egg, french toast, and coffee) saya langsung naik MTR menuju Ngong Ping 360 di Tung Chung untuk naik cable car. Ada 2 jenis cable car yang tersedia, yaitu yang standard, dan glass-bottomed. Meski lebih mahal, tentu saja saya memilih yang glass-bottomed (188 HKD). Kapan lagi?

Glass-bottom

Cukup deg-degan juga ketika kereta gantung itu bergerak meninggalkan platform, karena kaki kita hanya menapak pada kaca transparan dan bisa melihat dengan jelas apa yang ada di bawahnya baik itu laut, hutan, bukit, ataupun jalan setapak nature path yang sangat panjang dan yang juga berakhir di Ngong Ping Village. Pemandangan di jendela pun cukup breathtaking. Tapi sebetulnya pengalaman naik cable car saya yang paling berkesan adalah di Genting, Kuala Lumpur, karena cable car yang kita naiki masuk ke dalam kabut dan semua menjadi putih dan siapa yang tahu jika ada monster di luar sana seperti dalam film The Mist..

Bird-eye view dari glass-bottomed cable car

Saya pun sampai di Ngong Ping Village dan atraksi utama disana adalah Giant Buddha, yang memang sangat.. besar. Namun sebetulnya tidak terlalu istimewa. Untuk naik ke Giant Buddha tidak dikenakan tiket. Namun jika ingin masuk ke dalamnya, kita harus membayar 25 HKD. Saran saya sih tidak perlu sampai masuk karena sepertinya tidak ada apa-apa juga.

Tiga anak bule di Giant Buddha

Di sekitar Giant Buddha ada beberapa monastery dan lagi-lagi menurut saya tidak terlalu menarik karena mirip-mirip saja dengan klenteng yang sering saya lihat di Indonesia. Namun itulah bedanya Indonesia dengan Hong Kong ataupun Singapura. Tourism board mereka sangat pandai mengemas objek-objek wisatanya sehingga yang biasa-biasa pun menjadi sangat menarik dan ramai dikunjungi. Coba saja kita bayangkan bila ada cable car di... Dieng Plateau misalnya. Wah!

Sebuah kafe di Stanley Market

Saya pun tidak berlama-lama dan harus merelakan untuk tidak berbelanja di Tung Chung mall yang sangat terkenal sebagai surga belanja karena adalah pusat outlet di Hong Kong dimana kita dapat membeli banyak pakaian, sepatu, atau tas bermerk dengan harga miring. Padahal harga barang di pusat kotanya pun sudah lebih murah jika dibandingkan dengan Singapura atau Jakarta.

Stanley Waterfront Mart

Setelah makan siang (menjelang sore) di Food Republic (saya memesan baked rice with pork chop and fish yang ternyata adalah makanan khas Macau), saya meninggalkan Tung Chung di Lantau Island menuju Stanley Market di ujung selatan pulau Hong Kong dengan menggunakan bus nomor 6X dari sekitar Causeway Bay (karena tidak ada MTR menuju Stanley Market). Bus ternyata melewati Ocean Park dan kita dapat melihat roller coaster-nya yang terletak di atas bukit. Sebelum sampai di Stanley Plaza, bus juga bergerak menyusuri pantai dan banyak turis dan penduduk yang berjemur dan berenang di pantai yang tenang tanpa ombak.

Sebuah pojok di Stanley Market

Kawasan Stanley Market awalnya hanyalah sebuah pasar dimana kita dapat membeli segala macam barang mulai dari pakaian, barang antik, lukisan, aksesoris, dan lainnya. Tentu saja dengan sistem tawar-menawar. Namun karena letaknya yang di pinggir pantai, akhirnya bermunculan pub dan bar di kawasan itu dan juga Stanley Plaza yang terbuka dan mempunyai banyak restoran dan juga ice cream stall. Suasananya begitu hidup dan laid back dan sepertinya menjadi tujuan favorit Hongkongers untuk berlibur. Sayangnya saya tidak sempat untuk masuk ke dalam Murray House, sebuah gedung bersejarah bergaya Victoria, yang direlokasi dari wilayah Central Hong Kong.

Bagian depan Stanley Market

Menjelang malam, saya pun kembali ke pusat kota Hong Kong dan menjelajah daerah Mid-levels. Daerah Mid-levels adalah daerah yang berkontur menanjak di antara pusat kota dan Victoria Peak. Yang paling menarik dari daerah ini adalah adanya moda transportasi berupa eskalator sambung menyambung (baik mendatar atapun menanjak) yang adalah rangkaian eskalator terpanjang di dunia. Kita dapat keluar di tengah-tengah dan menyusuri jalan yang bersilangan dengan eskalator, dan di kiri kanan terdapat banyak pub dan restoran berkelas yang menyajikan haute cuisine dan dipenuhi para bule. Jika saja tidak ada huruf-huruf Cina dimana-mana, rasanya seperti tidak berada di Hong Kong lagi namun di sebuah kota di Eropa. Meskipun saya belum pernah ke Eropa.

Jajanan di Mid-levels

Tidak ada tempat di dalam pub? Tidak masalah. Duduk sambil minum di trotoar.

Jalan yang terkenal yang dilewati Mid-level Escalator adalah Hollywood Road dan SoHo (south of Hollywood) dimana seorang teman saya menunjukkan sebuah restoran hong kong noodle terkenal yang mendapat Michelin star. Saya pun makan disana dan memesan yellow noodle dengan beef dan fish ball yang memang sangat enak dan harganya pun hanya 26 HKD.

Mid-levels Escalators

Menjelang tengah malam saya pun kembali ke daerah Tsim Sha Tsui, dan kembali minum milk tea dari Gong Cha, dan juga mencoba sebuah penganan khas Hong Kong, yaitu waffle yang bulat-bulat dan tergulung dan disebut egg balls, dan juga sebuah mango tart dari Maxim's Cake (yang selalu ada di semua stasiun MTR). Hong Kong adalah surga bagi pencinta mangga karena mangga tersedia sepanjang tahun dan kualitasnya pun sangat baik. Saya ingin sekali mencoba mango cake bundar seloyang dan sepenuhnya tertutup oleh lembaran-lembaran (bukan potongan) mangga. Hm...

Mengambil taksi di SoHo

Keesokannya (hari Senin), saya harus berpegian sendirian karena teman saya harus bekerja. Dan saya pun memutuskan untuk pergi ke Macau setelah menyantap milk tart di jalan sebagai sarapan. Untuk ke Macau, kita dapat mengambil ferry dari Sheung Wan. Dan ferry terminal-nya pun menyatu dengan MTR station, sesuatu yang muskil terjadi di Indonesia, dimana tidak ada integrasi apapun antar moda transportasi.

Michelin star hong kong noodle

Vespa, hidran, dan sebuah cafe pinggir jalan.

Saya pun memesan tiket return (291 HKD) dan memilih tiket pulang jam 3 sore dari Macau (karena saya berpikir tidak akan melihat show ataupun berjudi di casino). Sebuah keputusan yang saya sesali kemudian karena saya tidak menyangka Macau semenarik itu. Macau adalah sebuah kota yang sangat aneh menurut saya dan sangat berbeda dengan kota metropolis biasa dan banyak sekali yang dapat dilihat. Dan selalu terdapat signage dalam bahasa Portugis meskipun saya tidak pernah mendengar sekalipun ada orang yang berbahasa Portugis disana.

TurboJet ferry dari Hong Kong ke Macau

Pintu masuk menuju Ruines of St. Paul

Perjalanan laut ke Macau hanya memakan waktu 1 jam dan di terminal ferry di Macau kita dapat mengambil peta di visitor center dan bertanya-tanya ke petugasnya yang dapat berbahasa Inggris. Mayoritas pengunjung akan mengambil bus nomor 3 (3.10 MOP) dan menuju Ruines of St. Paul dan sekitarnya, termasuk saya. Kita dapat menggunakan HKD di Macau (yang nilainya sedikit lebih tinggi dari MOP, kira-kira 100 HKD = 109 MOP). Namun jika kita membeli sesuatu yang mahal, ada baiknya menukar HKD dengan MOP karena selisihnya terasa.


Ruines of St. Paul

Cathedral

Sesampainya di Rua de Sao Paulo, semua turis pun turun dari bus. Dan mulailah saya menyusuri jalan yang tidak boleh dilalui mobil itu sampai ke Ruines of St. Paul, sisa reruntuhan gereja St. Paul yang terbakar pada tahun 1835 dan hanya menyisakan sebuah tembok di bagian selatan. Sialnya, hari itu mendung dan hujan pun turun. Turis-turis lari berteduh dan membeli payung. Saya tidak memotret terlalu banyak karena takut terkena air dan akhirnya saya menyusuri pinggir-pinggir dari koridor-koridor di dekat kompleks itu yang terlindung dari air. Dan saya pun masuk ke sebuah cafe Portuguese kecil dan memesan caldo verde (sup kentang) dan cafe late sambil menunggu hujan. Sebelumnya, saya juga sempat membeli dendeng pesanan teman di Pasteleria Kei Koi yang banyak terdapat di jalan kecil menuju St. Paul. Ternyata memang dendeng adalah oleh-oleh Macau yang paling terkenal. Dan juga menyantap pork burger dan tentunya, portuguese egg tart.

Silencio!


Beberapa gereja yang ada di Macau juga sangat menarik dan terbuka untuk umum meskipun ada bagian-bagian yang tidak boleh kita masuki, kecuali jika memang ingin berdoa. Ternyata memang ada orang keturunan Portugis (atau campuran Cina-Portugis) di Macau yang dinamakan ras Macanese, dan mereka berbahasa Portugis dan beragama Katholik atau Protestan.

La Bonne Heure, Macau

Satu hal yang juga mejadi perhatian saya adalah di pusat kota Macau itu terdapat banyak sekali bunga segar yang sepertinya diganti secara rutin oleh petugas pertamanan kota. Landscape kota pun menjadi penuh bunga berwarna-warni dan lampu-lampu taman yang digunakan untuk menerangi jalan.


Petugas pertamanan kota Macau

Tidak terasa, waktu saya pun hampir habis dan saya berjalan menyusuri jalan utama menuju halte bus yang ada di tengah-tengah persimpangan besar yang terdapat banyak kasino dan kembali ke ferry terminal untuk pulang ke Hong Kong. Lain waktu, saya akan mengunjungi Macao kembali untuk melihat show cirque du soleil dan mungkin mengunjungi kasino-kasino disana yang pastinya sangat menarik untuk dikunjungi di malam hari.

Sebuah kasino di Macau

masih bersambung..

Hong Kong Di Mata Saya (Bagian 1)

Hong Kong adalah sebuah tempat yang intriguing untuk saya. Sebuah perpaduan east meets west dari Cina (tepatnya provinsi Guangdong) dan kolonialisme Inggris. Meski Hong Kong sudah diserahkan kembali ke Cina pada tahun 1997 (saya pun masih cukup ingat dengan seremoninya di televisi waktu itu), namun Hong Kong saat ini adalah salah satu Special Administrative Region (SAR, sering disebut Hong Kong SAR) dari Cina yang mempunyai hak otonomi khusus. Yang lainnya adalah Macau.

Sekitar awal bulan ini, saya mendapati kenyataan bahwa bulan ini: pekerjaan saya di kantor sedang low, kursus Perancis saya setiap hari Minggu sedang libur, dan seorang teman dekat ditugaskan di Hong Kong selama sekitar 6 bulan.

Menunggu pesawat di Old Town, Terminal 2 Soekarno Hatta. Overpriced.

Saya pun mulai mencari-cari tiket untuk berlibur di bulan ini, karena mulai bulan depan sepertinya akan susah untuk mendapat approval cuti. Awalnya saya memilih tujuan wisata lokal yang lebih hemat atau mungkin Bangkok, yang lebih dekat. Namun saya pikir, kapan lagi saya ke Hongkong, dan mendapatkan akomodasi gratis? Well, pada akhirnya nanti, saya menyewa extra bed seharga 100HKD per malam, tapi itu sangatlah murah.

Akhirnya, saya mendapatkan tiket Jetstar seharga 320USD dari Jakarta ke Hong Kong dengan layover di Singapura. Setelah dikurs, sekitar dua juta sembilan ratus. Lumayanlah! Namun yang baru saya betul-betul sadari kemudian adalah, ternyata saya berangkat pagi hari tanggal 21 April dan baru tiba jam 7.45 malam. Di Singapura pun akan susah untuk keluar dari Changi karena hanya transit selama 3 jam. Oh, well.

Cactus Garden

Pada hari H, saya pun berangkat dengan sebuah backpack (yang saya check-in-kan, karena takut menjadi beban saat transit, dan lagipula saya membawa beberapa liquid). Layover di Changi selama 3 jam tidaklah terasa lama. Waktu itu tepat waktu makan siang dan sayapun memesan sebuah tuna sandwich di Subway (yang entah kenapa belum juga kembali membuka outlet di Jakarta), dan juga segelas mango smoothies dari Boost Juice. Selepas makan, saya memutuskan untuk melihat Cactus Garden di Terminal 1 yang ternyata cukup menarik dengan berbagai jenis spesies kaktus yang belum pernah saya lihat sebelumnya.

Penerbangan ke Hong Kong dari Singapura berlangsung selama tiga setengah jam dan tanpa makanan! Saya cukup kecewa dan menyumpahi diri sendiri karena membuang roti cokelat dari penerbangan sebelumnya (yang ternyata dioperasikan oleh ValuAir). Hasilnya, saya mendarat di Hong Kong dengan kondisi sangat lapar. Suhu di Hong Kong saat itu tidak berbeda jauh dengan Jakarta atau Singapura, tapi memang lebih sejuk.

The platform

Saya pun langsung mengisi ulang Octopus Card saya (yang saya pinjam dari seorang teman) sebanyak 200HKD, dan diberi tahu bahwa tarif naik Airport Express ke Central Station adalah 100HKD (dapat menggunakan Octopus Card tersebut). Cukup mahal. Namun ternyata yang dinamakan Airport Express bukanlah MTR biasa (ya, MRT di Hong Kong bernama MTR), namun sebuah kereta super cepat yang bertempat duduk seperti kabin pesawat dan hanya berhenti di 3 stasiun, yaitu Tsing Yi (di Lantau Island), Kowloon, dan Hong Kong. Saya harus turun di Hong Kong Station. Aneh juga, saya baru saja mendarat di Hong Kong, dan sekarang saya naik kereta ke Hong Kong. Ternyata sebelumnya saya belum sampai di Hong Kong..

Saya pun bertemu dengan teman saya yang sedang ditugaskan di Hong Kong itu di MTR Central Station (hanya berbeda lantai dengan Hong Kong Station). Target malam itu adalah naik Peak Tram dan tentunya ke The Peak. Namun karena saya sangat lapar, saya pun makan sejenak di McDonalds di mall yang terhubung dengan Central Station tersebut.

Peak Tram

Sehabis makan, karena terburu-buru (The Peak tutup jam 11 malam), kamipun naik taksi ke Peak Tram, yang sebetulnya cukup dekat dengan Central Station, dengan ongkos 20HKD (tarif minimal) dan langsung membeli tiket tram pulang pergi dan tiket ke viewing terrace seharga 65HKD. Peak Tram adalah tram yang sangat bersejarah karena sudah ada sejak tahun 1888 dan tram-nya pun masih asli (meski sudah tidak terbuat dari kayu lagi) dan berfungsi dengan baik dan terkomputerisasi. Naik Peak Tram adalah pengalaman yang sangat unik karena tram menaiki bukit dengan kemiringan 45 derajat dan seolah-olah gedung-gedung di sekitarnyalah yang miring 45 derajat.

Telescope
 
Saya dan teman saya pun langsung bergegas menuju viewing terrace dimana kita dapat melihat pulau Hong Kong dari atas bukit (aslinya bernama Victoria Peak). Dan di atas sana udara cukup dingin (dan sedikit berkabut). Indah sekali gedung-gedung berwarna-warni di wilayah Hong Kong dan Kowloon yang dipisahkan oleh sebuah selat dan juga pemandangan di sekitarnya yang dapat kita lihat 360 derajat. Mungkin lain kali saya akan kembali kesini untuk menikmati matahari terbenam dan sinarnya yang keemasan menerpa gedung-gedung tinggi itu, yang satu-per-satu menyalakan lampunya..

Hong Kong

Waktu menunjukkan pukul 11 malam dan kami pun diusir dari teras karena akan segera tutup, meski masih sempat menikmati plaza yang berada di bawahnya. Kami memutuskan untuk menuju ke hotel (sebetulnya adalah serviced apartment) yang terletak di wilayah Tsim Sha Tsui (baca: Chim Sa Choy) di Kowloon dengan taksi karena tidak yakin MTR masih beroperasi (saat itu hampir jam 12 malam). Dan kamipun naik taksi dan menyeberangi selat di antara Hong Kong dan Kowloon dengan melewati terowongan yang cukup panjang. Saya pun terkesima karena belum pernah melewati terowongan bawah laut sebelumnya.

Portuguese egg tarts

 Saat turun di Tsim Sha Tsui, betapa kagetnya kami ketika sang supir meminta ongkos sebesar 180HKD! Apa! Kami pun protes meski sia-sia karena supir taksi kami tidak berbahasa Inggris. Akhirnya kami mengerti bahwa taksi tersebut adalah taksi dari Hong Kong Island, dan untuk melewati tunnel, dikenakan surcharge sebesar 45HKD, dan dia pun harus kembali lagi dari Kowloon melewati tunnel tersebut, sehingga total surcharge sebesar 90HKD. Sungguh mahal, mengingat secara jarak, Peak Tram dan Tsim Sha Tsui sangatlah dekat meski terpisah oleh selat Hong Kong. Akhirnya sopir taksi kami pun memberi keringanan sedikit dan kami boleh membayar 160HKD. Lesson learned. Jangan pernah naik taksi jika harus menyeberangi selat Hong Kong. Lebih baik naik ferry atau MTR (dan ternyata MTR beroperasi sampai jam 1 pagi!). Namun dengan MTR pun, jika kita melewati tunnel itu, akan dikenakan surcharge sebesar kira-kira 6HKD.

A pink sports car at Tsim Sha Tsui

 Sebelum ke hotel, saya dan teman saya sempat mencari dessert di wilayah Tsim Sha Tsui dan akhirnya menemukan sebuah tempat dan saya memesan mango with sago balls in coconut milk, squid balls, dan Portuguese egg tart. Dan memesan bubble tea dari tempat favorit kami, Gong Cha.
 
Gong Cha, bubble tea from heaven

bersambung..