Monday, December 21, 2009

South Vietnam Trip Part 1

Vietnam. Akhirnya keinginan lama untuk mengunjungi negara ini kesampaian juga. Berawal dari melihat iklan menggiurkan Air Asia rute Jakarta - Ho Chi Minh City yang bahkan lebih murah dari tiket ke Bali. Saya memutuskan untuk mengambil cuti awal Desember kemarin untuk pergi kesana selama empat hari tiga malam.

Ditemani dua orang teman, saya berangkat dari Cengkareng dengan penerbangan jam empat sore. Setelah saya ingat-ingat, ini adalah pertama kalinya saya ke luar negeri melalui Terminal 2 Soekarno Hatta sejak 12 tahun yang lalu. Karena tahun-tahun kemarin saya terbang dulu ke Batam untuk menyeberang ke negara tetangga.

Ini juga pertama kalinya saya merasakan ke luar negeri bebas fiskal, dengan kartu sakti NPWP. Dan ternyata prosesnya sangat cepat dan mudah (tidak perlu menyertakan fotokopi apapun dan dokumen lain apapun selain paspor dan boarding pass).


Pusat kota HCMC

Penerbangan ke Saigon (nama lama Ho Chi Minh City) kurang lebih tiga jam. Pesawat hanya terisi duapertiganya, dan saya pun bebas berpindah-pindah tempat duduk sesuai keinginan. Dan tentunya, untuk berhemat, kita tidak membeli makanan apapun di pesawat.

Sampai di Saigon jam 8 kurang, dan setelah melalui imigrasi dan sempat panik karena bagasi tidak muncul-muncul (ternyata ada yang menaruh tas kami di lantai), kami pun menukar 50 US Dollar ke Vietnamese Dong di money changer di Airport dengan rate sekitar 18500. Jadi kami mendapat hampir 900 ribu VND.

Lalu, saya bernegosiasi dengan supir-supir taksi, yang walaupun tidak segencar di Cengkareng, namun tidak ada yang mau menggunakan meter/argo. Akhirnya saya setuju dengan tarif 10 dollar ke Pham Ngu Lau St. Meskipun sepertinya mahal, namun lebih murah dari harga yang hostel kami tawarkan untuk menjemput, yaitu 16 dollar.

Ketika sampai di Pham Ngu Lao, saya bingung, My My Guesthouse, tempat menginap yang sudah dibooking tidak terlihat. Setelah menelusuri jalan sedikit, ternyata guesthouse itu terletak di dalam gang! Persis seperti kost-kostan di UI atau di Karet.

Saya pun check-in dan menaruh tas di kamar di lantai 4 yang harus dicapai dengan naik tangga. Dan ternyata kamarnya sangat kecil meskipun cukup sesuai dengan harganya yang 21 dollar untuk 3 orang.

Pemilik guesthouse cukup ramah dan saya membooking half-day trip ke Cu Chi Tunnel esok pagi dan tiket bus dan penginapan ke Mui Ne beach sore harinya. Trip ke Cu Chi Tunnel harganya 4.5 dollar. Tiket bus ke Mui Ne pun sama. Dan penginapan di Mui Ne 15 dollar untuk bertiga.


Makan pho kaki lima

Malam itu kami makan pho di pinggir jalan dengan kursi dan meja yang sangat pendek (rata-rata kaki lima di Saigon seperti ini). Murah dan enak, cuma 20000 VND. Malam itu juga lagi ada International Food Festival di taman di depan Pham Ngu Lao St. Jadi kami sempat berfoto-foto juga disana.

Setelah makan dan keliling sebentar akhirnya kami kembali ke guesthouse (yang ternyata sudah dikunci, dan sempat membuat kami panik). Lalu mandi (dengan cara satu per satu ke luar kamar, karena pintu kamar mandi transparan) dan tidur.

Pagi-pagi setelah sarapan roti baguette Vietnam yang enak dan minum kopi yang sangat kuat, kami dijemput seorang perempuan untuk menuju ke bus untuk ke Cu Chi Tunnel. Dia mengantar kami menelusuri gang-gang sampai akhirnya keluar ke jalan besar, yang sepertinya digunakan sebagai "terminal" bus. Dengan bahasa Inggris terbatas, dia menyuruh saya untuk "wait for him". Him?

Saya sempat cemas karena kami ditinggal disana tanpa tiket dan tanpa info mengenai nama bus dan sebagainya. Setelah 10 menit kami mencoba-coba bertanya apa ini bus menuju Cu Chi Tunnel? Dan akhirnya kami menemukan bus-nya. Peristiwa tadi adalah peristiwa pertama dari rentetan peristiwa berikutnya dalam masalah komunikasi kami dengan para Vietnamese.


Handycraft bagus tapi mahal (semua harga dalam dollar)

Sebelum sampai di Cu Chi Tunnel, bus berhenti dulu di toko souvenir yang harganya mahal-mahal. Mungkin tour guide-nya diberi komisi untuk setiap barang yang terjual. Namun kerajinan-kerajinan itu sangat bagus dan menarik memang. Dan mereka memperkejakan orang-orang cacat juga. Atau mungkin untuk meraih simpati? Entahlah. Yang pasti saya tidak membeli apa-apa karena mahal.

Lalu sampailah kami di Cu Chi Tunnel, yang adalah terowongan jaman perang dulu yang membuat Amerika kalah karena Vietcong (tentara Vietnam) berlindung di dalam terowongan ini.


Tentara palsu ini masuk dan menutupi diri dengan daun, hilang tanpa jejak.

Cu Chi Tunnel terdiri dari 3 level, dan struktur/petanya seperti terowongan di komik Doraemon. Level paling atas paling berbahaya, karena jika kena bom langsung hancur. Yang paling aman adalah level 3, namun paling susah juga masuknya. Saya dan rombongan tur mencoba untuk masuk ke terowongan level 1, yang meski sudah diperbesar agar turis bule bisa masuk, tetap harus dilewati dengan cara merangkak seperti bayi. Dan itu panjangnya kira-kira 100 meter.

Sangat iri melihat objek wisata yang sebetulnya sederhana ini (menjadi kaya hanya karena sejarahnya) dikunjungi turis yang tak kunjung habis. Mereka bisa mengemas paket tur ini menjadi sangat menarik dan emosional kalau kita membayangkan bagaimana rasanya hidup di terowongan sempit itu selama berminggu-minggu, yang meski saya hanya 10 menit saja di dalamnya sudah membuat saya claustrophobic.

Setelah merangkak kami dijamu penganan kecil yang sebetulnya adalah singkong rebus dengan bumbu kacang tanah. Enak, tapi tetap lebih enak singkong goreng dengan sambal.

Selanjutnya: Mui Ne Beach

Saturday, November 21, 2009

Blunder Berjudul Midnight Cell



Awal tahun ini, seperti yang waktu itu saya tulis di blog ini juga, saya memulai project film pendek baru yang waktu itu belum berjudul. Setelah diskusi dan brainstorming, akhirnya muncul ide untuk membuat tribut untuk Wong Kar Wai dengan mengadaptasi film Chungking Express dan mengganti restoran cepat saji menjadi toko pulsa, yang menjadi poros kehidupan karakter-karakternya.

Lalu saya ingin menyisipkan dua pesan di dalam cerita adaptasi itu, yaitu tentang susahnya mencari pekerjaan (dan rendahnya kualitas sumber daya manusia kita), dan juga tentang pembajakan, tanpa menjadikan dua pesan itu terlalu menonjol di dalam cerita.

Akhirnya dengan bantuan dua orang sahabat, Joni Lima dan Imy Ferica, saya berhasil menyelesaikan skenario berjudul Midnight Cell (yang adalah versi kita untuk Midnight Express di film Chungking Express). Dan waktu itu kami cukup percaya diri dengan skenario itu dan cukup ambisius karena kami sedang membuat tribut untuk seorang sutradara yang sangat terkenal di dunia film art-house.

Proses syuting berjalan sangat sangat lama. Mungkin ini adalah proses produksi terlama yang pernah kami lewati dengan rentang masa syuting lebih dari tiga bulan (meskipun in3cities juga lama, tapi itu karena saya menunggu datangnya banjir ke Jakarta). Bahkan sempat ada titik dimana saya pikir film ini tidak akan mungkin selesai, karena kebutuhan lokasi yang sulit dan juga pemain-pemain yang tidak punya jadwal yang fleksibel.

Namun akhirnya proses produksi berakhir juga di akhir Juni, dan pasca produksi yang sudah curi start selama produksi sedang idle juga bisa dirampungkan. Ada dua hal yang kami baru lakukan pertama kali di Midnight Cell, yaitu memakai lighting dengan bantuan dari teman kami ex-volunteer Minikino, Dian Siswandi, dan memakai score yang dibuat di studio musik oleh teman kami yang kuliah musik, Yoanne Theodora. Jadi pada intinya kami sangat optimis dengan film ini, yang memakan banyak waktu, biaya, dan energi.

Film selesai edit pada bulan Juli dan kami mengadakan pemutaran perdana untuk teman-teman tanggal 8 Juli 2009 di Subtitles Dharmawangsa. Reaksi penonton sebetulnya sudah bisa diduga, yaitu mereka merasa filmnya bagus, tapi mereka tidak mengerti. Waktu itu kami mengira bahwa itu mungkin karena rata-rata mereka bukan penonton film pendek.

Lalu saya men-submit Midnight Cell ke Festival Film Pendek Konfiden 2009 dengan keyakinan bahwa film ini setidaknya akan lolos, seperti 4 film sebelumnya. Dan juga saya mengirimkan sebuah copy lagi ke Jiffest 2009, berharap dapat masuk ke dalam program S-Express Indonesia.

Setelah lama menunggu kabar dan tidak ada aktifitas promosi/screening lagi, akhirnya kabar datang dari Konfiden pada bulan Oktober lalu. Sebuah kabar yang sangat tak terduga, karena ternyata Midnight Cell tidak lolos dalam proses penjurian.

Saya berpikir, bagaimana mungkin film ini tidak lolos, sementara film-film kami sebelumnya lolos? Apakah memang Konfiden menaikkan standar kelolosan ataukah memang Midnight Cell sedemikian buruknya sampai mendapat 'score' yang lebih rendah dari anoiF atau Antara Satu dengan yang Lain.

Saya pun menghubungi panitia via email untuk meminta kritik. Namun dibilang bahwa catatan dewan juri tidak dapat dipublikasikan dan kalau memang ingin ber-dialog, bisa datang ke kantor Konfiden, atau pada saat festival berlangsung nanti. Saya rasa saya harus mendapatkan kritik ini karena jika tidak saya tidak akan tahu dimana letak kesalahannya.

Namun pada akhir Oktober, pihak Konfiden memberi kabar lagi bahwa Midnight Cell terpilih untuk diputar pada program Nonkompetisi, yang baru diadakan tahun ini untuk memutar film-film yang tidak lolos seleksi namun masih layak tayang. Yah, saya pikir, better than nothing karena pada intinya saya selalu bingung bagaimana caranya memutar film saya untuk umum. Meskipun, ketika jadwal diumumkan, ternyata Midnight Cell diputar hari Jumat jam 3 sore. Jam kerja. Jadi tidak ada perwakilan satupun dari kru yang bisa melaporkan pandangan mata bagaimana reaksi penonton.

Kemarin juga saya baru mendapat kabar dari Jiffest. Dan, sudah bisa ditebak, mereka memohon maaf karena tidak dapat memutar Midnight Cell. Pada akhirnya, saya hanya bisa berharap bahwa film ini bisa ditonton lebih banyak orang lagi dan kami bisa belajar dari tidak lolosnya film ini agar bisa membuat film yang jauh lebih baik lagi di tahun berikut, dan tidak malah berhenti membuat film.


Jakarta, 21 November 2009

Wednesday, November 4, 2009

Balikpapan Extended

Ini adalah minggu ke-4 di Balikpapan. Tadi siang dapat kabar dari management katanya sudah dipastikan bahwa saya akan di-extend disini sampai akhir tahun. Tentu saya senang karena saya agak kurang suka terlalu sebentar di projek dan juga saya masih ingin menikmati Balikpapan, kota yang bebas dari macet.

Bandara Sepinggan

Mungkin bulan November ini saya akan merencanakan untuk tidak mengambil flyback di salah satu weekend, dan menggunakan waktu untuk pergi ke Samarinda. Sayang juga jika saya lama disini namun tidak pernah ke Samarinda yang berjarak 2-3 jam perjalanan mobil.

Acara Blackberry Telkomsel

Saat ini keadaan pekerjaan membaik, karena saya sudah hampir terbebas dari memasukkan nomor-nomor NPWP ke kotaknya di form-form pajak. Minggu ini saya sudah bergerak ke unit berikutnya. Budget untuk mengubah form pajak itu memang 15 hari. Untung saya bisa menyelesaikan tepat waktu, meski sempat frustasi di awal-awal karena harus mengubah 12 form pajak yang cukup rumit itu.

Kamar hotel

Minggu ini cukup aneh, karena saya mendapat kamar yang sama dengan minggu lalu. Hal yang belum pernah terjadi pada senior saya yang sudah berbulan-bulan disini. Untung saja kamar ini cukup nyaman dengan tembok kamar mandi kaca dan berada di lantai tujuh (cukup tinggi). Namun bosan juga mendapat view kolam renang. Sering ada acara korporat yang bising. Mungkin minggu depan saya akan meminta kamar yang membelakangi kolam renang.

Pemandangan dari kamar

Di samping hotel saya, ada sebuah taman yang cukup asri dan banyak digunakan orang untuk nongkrong atau menghabiskan waktu. Menurut saya Jakarta memerlukan taman seperti ini di tengah kota. Meskipun tidak terlalu luas namun cukup untuk menjadi ruang publik yang menurut saya adalah keharusan untuk setiap kota.

Taman ruang publik

Saya sudah lebih dari tiga minggu disini, namun masih belum tahu persis apa sebetulnya makanan khas Balikpapan. Balikpapan memang kota pendatang, sehingga makanannya pun kebanyakan makanan Jawa, Padang, atau Sulawesi. Satu-satunya makanan khas hanya makanan laut khususnya kepiting kenari. Selain itu ada Soto Banjar yang sebetulnya sangat mirip dengan soto-soto lain di Jawa. Namun ada satu sayuran yang sering hadir di berbagai menu seperti ayam penyet atau bandeng presto, yaitu terong. Jadi mungkin makanan khas Balikpapan ya, terong ini.

Rumah makan Padang terenak di Balikpapan

Mudah-mudahan saya bisa memanfaatkan semaksimal mungkin dinas saya ini. Sempat terpikir untuk menjelajah Kalimantan sampai ke Malaysia, namun rasanya tidak mungkin bila tidak ambil cuti. Yah, setidaknya bisa melihat Samarinda.

Adios!

Balikpapan, 4 November 2009

Wednesday, October 14, 2009

Sebulan di Balikpapan

Hari Kamis lalu tiba-tiba saja saya ditelepon manager saya yang mengabarkan bahwa mulai hari Senin saya di-assign ke Balikpapan. Such a sudden notification! Walaupun ada perasaan belum siap karena belum pernah (ini adalah assignment luar kota pertama saya setelah tiga tahun bekerja sebagai konsultan), namun saya sangat excited untuk alasan yang sama.

Setelah melalui proses approval dan booking tiket, ternyata pesawat hari Senin sudah fully-booked, dan saya terpaksa baru berangkat hari Selasa kemarin dengan penerbangan jam enam pagi. Itu memaksa saya untuk bangun pukul 3.15 agar sempat check-in jam 4.30. Tapi ternyata Garuda Indonesia punya aturan yang lebih longgar untuk check-in. Bahkan tiba jam 5.30 di airport pun masih bisa. Maklum, biasa naik budget flight jadi tidak tahu.

Bangun sepagi itu dan dari bandara langsung menuju kantor client membuat saya ngantuk sepanjang hari. Untungnya tidak begitu banyak yang harus dilakukan di hari pertama, karena masih menunggu ID. Siang hari pertama itu saya diajak makan siang di eWalk, mall yang baru buka bulan lalu yang terletak di dalam Balikpapan Super Block. Sangat nyaman walaupun masih terasa dipaksa buka walau belum siap.


Pojok saya di kantor disini dengan dua komputer. Satu untuk chatting satu untuk browsing.

Saya akan berada disini selama sebulan (itu yang direncanakan, realisasinya tidak ada yang tahu), dan diberi fasilitas flyback seminggu sekali. Setidaknya tidak akan homesick walaupun sebetulnya tertarik juga untuk mengeksplor Balikpapan di akhir minggu.

Dan disinilah saya sekarang. Sebuah kamar hotel di Balikpapan yang terletak cukup dekat dengan laut. Kamar ini cukup nyaman walaupun terletak di pojok lorong (yang gelap waktu malam). Dan dibalik tembok sebelah kanan sebetulnya ada laut. Andaikan tembok itu diganti jadi kaca juga..


Pemandangan dari kamar hotel jam 5.45 pagi

Balikpapan adalah kota yang kaya karena minyak, dan kompleks Pertamina itu sangat mewah dan seperti di luar negeri saja. Namun ironisnya, setiap hari dari jam 5 sore sampai jam 10 malam disini mati lampu ( berdasarkan pemberitahuan dari surat di kamar).

Sekarang pukul sebelas malam dan sudah cukup mengantuk. Besok harus bangun pagi untuk melanjutkan pekerjaan yang cukup berat. Nanti saya lanjutkan ceritanya.

Balikpapan, 14 Oktober 2009

Saturday, October 10, 2009

Addicted to Twitter



Yes, I admit it. I'm addicted to Twitter, even if I don't own a Blackberry or an iPhone. Mostly I access Twitter through a mobile friendly web-based Twitter client called dabr.co.uk. It's great, efficient, low on bandwidth (only 3kb per page), and has everything I need.

Twitter is such a fenomena, but I agree that Twitter has a very bad first impression. Many users signed up, looked around, and never came back. One of them was me. I had no follower when I signed up on 17 April 2009 (off course!) and it's simply stupid to post anything since nobody would read it (back then I didn't know about reply). Through Facebook (which is so last year), I was followed by friends who are already on Twitter. So I came back and tried to use it again. By August, I became an active user.

Twitter is not just about us and our friends. It's about the larger circle. It's about the world since we can follow any public account. I stopped checking my Facebook account because people who update their statuses are not the ones I want to read, and it's getting boring for anti-Facebook-apps people like me, so I only use it for photo sharing (Flickr is really good but it's not free).

That's not the thing with Twitter. On Twitter, we can follow everyone, and we don't have to follow our followers. And just with one account we have access to our friends, news, and what the celebrities are doing right now. Ha!

Ps: one of my best Twitter experiences is: I know my favorite band's unpublished gig through Twitter. And ordered tickets by replying the tweet!

Monday, September 7, 2009

Filmografi Cahyadalamglap

Biasanya, untuk men-submit film ke sebuah festival, salah satu data yang dibutuhkan adalah filmografi sutradara. Selama ini saya tidak punya dokumentasi lengkap dan akhirnya setiap tahun saya harus mengkompilasi lagi judul-judul film dan festival yang pernah diikuti.

Maka saya pikir, di-post saja biar memudahkan dan bisa diakses dari mana saja. Sampai dengan tahun 2009, filmografi Cahyadalamglap adalah sebagai berikut (kebetulan sejauh ini, saya bertindak sebagai sutradara, tapi kemungkinan tahun depan akan berubah):

Tentang Natasha (2004)

Pemain: Devita Christiani, Grace Monica, Dian Paramita, Irwan Lawardi
Sinopsis: Natasha bermimpi menjadi penulis. Setelah selalu gagal, ia mencoba menulis tentang dirinya sendiri dengan didukung sahabatnya, Moni. Jika gagal juga, ia akan mengubur mimpinya dalam-dalam.
Durasi: 31 menit
Festival/Screening: Minikino Desember Terbuka 2004

Stuck(2005)

Pemain: Dian Paramita, Jozef.thenu@gmail.com, Wennie, Grace Monica, Devita Christiani
Sinopsis: Fajar harus menyerahkan pekerjaannya ke kantor, menjemput adiknya di sekolah, dan mengantar pacarnya (dan seorang teman) ke sebuah konser musik. Sementara itu, Fajar terjebak di kemacetan Jakarta.
Durasi: 15 menit
Festival/Screening: Minikino Desember Terbuka 2005

anoiF(2005)

Pemain: Devita Christiani, Krisanti Gondokusumo, Jozef.thenu@gmail.com, Michael Witanto
Sinopsis: Fiona hamil. Meski pacarnya mau bertanggung jawab, ia memilih untuk menghindarinya. Apa yang sebenarnya terjadi?
Durasi: 15 menit
Festival/Screening: Festival Film Pendek Konfiden 2006, Slingshort Film Festival 2006, emFest 2006

Antara Satu dengan yang Lain(2006)

Pemain: Krisanti Gondokusumo, Nadya Loretta Lavinia, Wennie, Theresia Junaidy, Jozef.thenu@gmail.com, Dax Permana, Arif Budisantoso, Arman Pramono
Sinopsis: Film non-linear tentang cinta segi banyak dan pencurian mobil.
Durasi: 11 menit
Festival/Screening: Festival Film Pendek Konfiden 2006, Minikino Desember Terbuka 2006, S13FFEST 2007, Film Pendek TVOne 2009

Little Statues behind the Door(2007)

Pemain: Krisanti Gondokusumo, Jozef.thenu@gmail.com
Sinopsis: Seorang gadis menemukan patung-patung kecil di balik sebuah pintu yang terlupakan di rumahnya.
Durasi: 7 menit
Festival/Screening: Festival Film Pendek Konfiden 2007

in3cities(2008)


Pemain: Dian Paramita, Emily Titti Fondia Salim, Wennie
Sinopsis: Tiga wanita di tiga kota yang berbeda. Mereka saling terhubung oleh kejadian-kejadian yang sama. Merupakan perbandingan subjektif terhadap ketiga kota tersebut dari sudut pandang pembuatnya.
Durasi:
15 menit
Festival/Screening: Nominasi Film Pendek Fiksi Terbaik - Festival Film Pendek Konfiden 2008, Mafvie Fest 2008, Videoroom: Parade Film Pendek Indonesia (Semarang) 2009, Melbourne Indonesian Film Festival 2009

Midnight Cell (2009)

Pemain: Ayub Firdaus, Wennie, Dax Permana, Jozef.thenu@gmail.com, Krisanti Gondokusumo, Joan Natalie
Sinopsis: Dua cerita berbeda dengan setting yang sama dan saling bersinggungan. Merupakan adaptasi bebas dari sebuah film Hongkong berjudul Chungking Express dan merupakan tribute kecil untuk Wong Kar Wai.
Durasi: 20 menit
Festival/Screening: -

Saturday, August 22, 2009

Jakarta Tidak Macet



Menurut Google Maps, jarak dari rumah saya ke kantor klien yang sekarang adalah 5.5 kilometer. Pada kenyataannya mungkin lebih jauh sedikit dari itu karena rute yang ditampilkan bukanlah rute yang biasa saya ambil.

Saya sangat bersyukur dengan jarak itu. Karena kita tahu, untuk kebanyakan orang, angkanya lebih besar dari itu. Bahkan mungkin jauh lebih besar, terutama para komuter dari daerah suburban.

Yang membuat saya bangga adalah, jarak yang 5.5 kilometer itu bisa saya tempuh dalam waktu kurang dari 30 menit. Mungkin sekitar 20 menit saja. Bagaimana caranya?

Tentu saja saya tidak membawa mobil di hari kerja. Moda transportasi saya adalah ojek langganan dan TransJakarta. Mungkin naik ojek setiap hari agak boros, tapi katanya time is money. Dan waktu yang bisa saya hemat dengan naik ojek membuat ojek itu mempunyai nilai ekonomi tinggi. Apalagi jalur yang ojek saya ambil adalah jalur yang hanya mungkin dilewati oleh motor.

Jalur TransJakarta yang saya naiki juga sangat nyaman, di jam berapapun. Saya biasa naik dari halte Bundaran Senayan sampai Bendungan Hilir, yang kalau dihitung, memang hanya berbeda tiga halte. Waktu tunggu sangat sebentar (kurang dari 3 menit), dan jarang terlalu penuh.

Pulang pun saya mengambil jalur yang sama. Naik TransJakarta sampai Senayan, lalu dijemput tukang ojek langganan, yang nomor handphone-nya sudah saya simpan (bahkan bayarnya pun mingguan).

Dengan kata lain: saya termasuk sebagian kecil warga Jakarta yang jarang mengalami kemacetan. Pernyataan berikut mungkin menjengkelkan bagi orang lain, namun sangat nikmat naik TransJakarta melaju kencang sementara pada saat yang sama, di sebelah kiri semua mobil nyaris berhenti. Demikian juga naik motor dengan kemampuan nyelap-nyelip yang tinggi. Jika saya naik taksi dari Senayan, mungkin saya perlu minimal 20 menit tambahan untuk menembus kemacetan.

Mengapa tidak bawa motor saja? Well, saya tidak bisa naik motor. Itu sebab utama. Alasan lain: untuk mencapai kantor klien saya saat ini dengan motor, saya harus memutar sangat sangat jauh karena motor tidak boleh naik jembatan Semanggi. Dan juga tarif parkir yang tidak murah. Lebih baik uangnya buat bayar ojek saja dan saya tidak perlu repot mencari parkir dan memutar jauh. Tapi sekali lagi memang masalah utamanya adalah saya tidak bisa naik motor.

Sekarang ini saya sangat menghimbau teman-teman untuk jangan manja dan hanya mau naik mobil pribadi saja kemana-mana. Kalau memang tidak nyaman untuk mengambil kendaraan umum dari rumah menuju halte TransJakarta terdekat, naiklah ojek atau bawa kendaraan ke halte terdekat, parkir, lalu lanjut dengan TransJakarta atau kendaraan umum lainnya.

Selain menghemat waktu dan mungkin uang (karena pengeluaran untuk bensin dan parkir diminimalkan), efek lain yang juga penting adalah jejak karbondioksida yang berkurang. Kebetulan saya baru saja pulang ke rumah setelah pergi ke Megaria di Jakarta Pusat. Daripada saya membawa mobil sampai Megaria, saya memarkir mobil saya di Plaza Senayan untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan bus Patas. Nyaman dan hemat bensin.

Oh, tentu saja gambar di atas adalah Jalan Sudirman di hari Lebaran. Di hari lain, tentunya kondisinya tidak jauh dari ini:



Setelah motto I only drive on the weekends, saat ini saya sedang berpikir untuk membeli Seli. Sepeda Lipat.

Saturday, August 1, 2009

Tentang Pixar

Saya tidak habis pikir, bagaimana Pixar bisa membuat film-film animasi luar biasa, tahun demi tahun. Semenjak Finding Nemo, hanya Cars yang menurut saya biasa saja. Saya tidak bisa protes ketika Academy Awards memilih Happy Feet sebagai Best Animated Feature tahun itu. Karena meski Cars tidak buruk dan mempunyai pesan dan gambar yang sangat baik, Happy Feet masih lebih unggul (mungkin juga karena penguin yang bisa ngomong lebih lucu daripada mobil yang bisa ngomong).

Karakter favorit: Dory

Tapi di luar kasus itu, Pixar selalu sukses dalam membuat animasi-animasi terbaik dengan Finding Nemo, The Incredibles, Ratatouille, WALL-E, dan yang paling gres, Up. Semula saya mengira bahwa film-film tersebut disutradarai oleh orang yang sama. Ternyata berbeda, walaupun hanya ada 3 orang, yaitu: Brad Bird (The Incredibles, Ratatouille), Andrew Stanton (Finding Nemo, WALL-E), dan Peter Docter (Up dan juga Monsters, Inc.).

Karakter favorit: Jack Jack

Secara visual pun Pixar terus berkembang. Kita sudah melihat dunia laut yang terlihat sangat nyata, keluarga superhero dalam full-action yang kocak, tikus lucu di kota Paris, robot yang jatuh cinta di bumi yang hancur, dan terakhir, bapak tua dan anak pramuka yang berpetualang naik rumah yang diikat balon udara. Menonton film-film Pixar seringkali membuat saya lupa bahwa yang saya tonton adalah gambar animasi.


Karakter favorit: Remy

Namun sebetulnya, kekuatan Pixar bukan terletak pada gambarnya. Kalau kekuatannya (hanya) pada gambar, lihat kasusnya pada Final Fantasy: The Spirit Within. Film itu memakan biaya sangat besar untuk membuat karakter manusianya terlihat seperti sungguhan (dan memang, salah satu karakternya hampir terlihat nyata). Namun The Spirit Within adalah film yang sangat membosankan dari segi cerita, dan semua gambar-gambar canggih itu jadi mubazir. Lain halnya dengan Pixar yang beberapa filmnya bahkan dinominasikan untuk Best Screenplay di ajang Oscar.


Karakter favorit: WALL-E

Dan di dalam cerita dari film-film Pixar yang luar biasa itu, ada komponen yang paling penting yang menentukan kesuksesan film-filmnya selama ini: all Pixar movie comes with a heart. Butuh penguasaan yang baik untuk menyampaikan pesan moral tanpa bersikap menggurui. Dan Pixar bahkan dapat menyampaikan itu semua dengan cara yang so sweet dan lucu.


Karakter favorit: Russell

Terakhir, saya mau komen tentang film 3D pertama Pixar, yaitu Up. Sementara film-film 3D lain yang sedang booming pasti mengeksploitasi habis-habisan efek 3D seperti antara lain melempar piring ke arah penonton, Up menggunakan 3D untuk memperkuat cerita. Efek 3D saat adegan di Paradise Falls membuat adegan itu menjadi sangat indah. Dan juga banyak shot jauh dimana Russell dan Carl terlihat dekat dengan kita dengan latar belakang jauh disana.

Namun, tanpa 3D pun, Up adalah film pertama tahun ini yang membuat saya begitu senang dan puas ketika keluar dari bioskop. Bahkan sampai saat ini pun saya masih tersenyum jika mengingatnya. Dan ringtone SMS saya saat ini adalah suara bel, suara pintu dibuka, lalu Russell menyapa (sambil membaca): "Good afternoon! Are you in need of any assistance today, sir?"

Tuesday, July 21, 2009

Renovasi Rumah

Mungkin kebanyakan orang yang baru bekerja beberapa tahun menabung untuk jalan-jalan ke luar negeri, kredit mobil baru, beli Blackberry, kamera DSLR, atau mungkin mempersiapkan pesta pernikahan. Tapi saya memilih untuk menguras tabungan saya untuk merenovasi rumah orang tua saya, yang, well, masih saya tinggali juga.


Atap geradakan, lampu hampir copot.

Tentu saja saya tidak merenovasi seluruhnya (kalau iya, saya mungkin butuh beberapa tahun lagi untuk mengumpulkan uangnya). Saya hanya merenovasi dari pagar sampai ruang tamu saja. Karena bagian itu yang paling kronis kondisinya. Selama ini dibiarkan saja karena ekonomi keluarga sedang susah. Setelah saya bekerja, gatal juga melihat rumah berantakan. Akhirnya saya mulai menabung.


Teras yang rusak, kotor, tak terurus.

Setelah uang yang terkumpul kira-kira cukup, saya minta ijin ke Bapak-Ibu untuk renovasi rumah. Mereka setuju, lalu saya mencari kontraktor. Setelah mencari kesana kemari akhirnya ada teman lama saya yang bersedia. Proses perencanaan berjalan dari bulan Desember 2008 (meeting pertama), dan pengerjaan baru dimulai pada bulan April 2009.


Tali jemuran menggantung disana-sini, pintu utama rusak, tidak bisa dikunci.

Waktu perencanaan sangat lama karena ternyata design awal jauh melampaui budget. Akhirnya ada banyak komponen yang dikurang-kurangi dan juga diakali supaya budget bisa mengecil. Masalah lain adalah Oma yang meributkan masalah feng-shui dan juga masalah hari baik untuk memulai renovasi. Oh please..


Taman jadi-jadian


Pagar yang macet, tidak bisa dibuka dan acak kadul warnanya.

Setelah melalui proses renovasi yang memakan waktu sangat lama dan juga setelah uang yang dihabiskan sudah sangat banyak, eksterior rumah saya sekarang tampak seperti ini:


Pagar baru, tampak luar baru.


Garasi baru


Taman baru dengan pot air mancur


Ruang tamu baru dengan pintu geser


Tembok putih, kusen putih, kaca bening, dan atap mulus.

Terima kasih Tuhan untuk berkat ini. Mudah-mudahan saya bisa menabung lagi untuk merenovasi bagian dalam rumah he he he.

Monday, June 29, 2009

Seperempat Abad

Ulang tahun kali ini cukup istimewa. Pertama, karena saya genap berusia seperempat abad. Kedua, karena jatuh pada akhir pekan.

Hari Sabtu siang (hari H), saya mengajak Dian dan Mikael makan di Pizza e Birra, Plaza Indonesia (enak, tapi servis buruk dan agak mahal). Kami memesan Peking duck dan Lord of the Onion Ring pizza yang tidak sanggup dihabiskan karena salah memesan ukuran. Lalu lanjut ke Honeymoon Dessert di depannya (ada durian pancake yang harus dicoba). Harusnya ada Satria juga namun dia sedang ada urusan dalam penjajakan dan pendekatan.


Dengan Audrey Hepburn

Sorenya saya ke Sudirman Park untuk shooting eksterior tambahan untuk Midnight Cell sampai sekitar jam tujuh. Lalu saya, Joni, Dax, dan Imy (dan juga Vale yang menyusul) makan malam di HEMA, Menteng Huis (baca: Menteng Heis!) dan diakhiri dengan minum kopi di Bakoel Koffie, dimana Imy diam-diam membelikan saya tiramisu dengan lilin yang menyala, tepat setelah saya berkata "My, beli kue yuk?". Sungguh timing yang tepat, My.

Sebuah hari yang cukup menyenangkan, apalagi ditambah sms dan telepon dari saudara dan teman yang memberikan selamat. OK, sebetulnya, ada sisi kurang menyenangkan juga dari ulang tahun kali ini, karena keluarga besar saya ramai-ramai pergi pulang kampung ke Makassar. Jadilah ulang tahun kali ini agak berbeda karena tidak ada misoa di pagi hari.


Having Sex on the Beach together (well, not litteraly)


Hari Minggu-nya, saya pergi ke Plaza Indonesia (lagi), dengan rencana awal adalah menonton pawai untuk merayakan HUT Jakarta sekaligus jogging karena hari itu jalan Thamrin - Sudirman ditutup. Namun rencana hanyalah rencana. Alih-alih jogging kami malah makan di Ootoya (yang memberikan diskon 25% untuk siapapun yang berulang tahun di bulan itu). Tapi setidaknya kami masih melihat sisa-sisa pawai (yang sebetulnya sangat jarang ada di Jakarta) dan sempat berfoto-foto seperti orang desa di Bundaran HI.

Dan tibalah saatnya malam hari yang menjadi Highlight of the (Birth)day. Saya mengajak Imy, Joni, Dax, dan Wewe ke Tartine di fX. Sebuah restoran Perancis baru yang selalu menyita perhatian saya kala menunggu ojek di depan fX. Ternyata Tartine sungguh menyenangkan dengan dekorasi tembok bata-bata merah, lantai menyala, dan poster Audrey Hepburn besar.


After drinking


Makanan dan minuman sangat enak dan servis memuaskan. Kami memesan tartine (sandwich ala Perancis), escargot, calamari, dan grilled sea bass with spaghetti yang langsung kita serbu dengan gaya barbarian. Dan juga dessert berupa dua pancake rasa pisang-vanilla dan cokelat (yang juga langsung habis dalam sekejap). Untuk minum, kami memesan satu pitcher Sex on the Beach yang kami minum langsung dari pitcher dengan sedotan random.

Walau tidak ada cake (kecuali sepotong tiramisu dari Imy), ulang tahun kali ini (terutama dinner di Tartine) sangat menyenangkan. It was a blast! Kado yang saya dapat sampai hari ini: sebuah bantal, buku hardcover Hot, Flat, and Crowded karangan Thomas Friedman, buku tentang film berjudul Kamera Subjektif, CD baru Manic Street Preachers - Journal for Plague Lovers, sebuah polo shirt Massimo Dutti, dan belt Mark & Spencer. Oh, dan beberapa angpao ha ha ha.


Against the brick wall

Thanks everyone!

Wednesday, May 27, 2009

3 Outstanding Films I Rented

Last week I rented three films from Subtitles Dharmawangsa. They're from the same section in that movie rental outlet, but turned out to be very different films. However, all has the same wow effect on me after watching.

Edward Scissorhands



This Frankenstein tale from Tim Burton may have misleading poster. I myself thought that it is a horror flick. But Edward Scissorhands is, hopefully it's right to say, safe for children. The character is adorable (though pitiful), the story is full of imagination (the story begins with a children asking "Grandma, where does snow come from?"), and the visual is jut great. One of Tim Burton's masterpiece.

Into The Wild



This biopic about Chris McCandless is very enjoyable to watch and brings out the anti-capitalism spirit within us. It uses the Shawshank Redemption approach where the naration about the main character is spoken by a supporting character, hence making the main character mysterious. The script somewhat has no structure kind of feeling (just follow his journey) but it's not boring. And I have to mention the music by Eddie Vedder which is an integral part of the storytelling. Great adaptation.

The Reader


We may familiar with a NAZI film like Schindler's List or The Pianist. But this one is different. The Reader is about a relationship between a law student and an ex SS guard. It raises questions such as, if your loving parents were killing people at the concentration camp, could you love them still? Are they guilty? This is heavy stuff hidden in a hot sexual relationship of a couple from two different generation. I like Stephen Daldry for The Hours alone. With The Reader, I think he'll become one of my favorite directors. And Kate Winslet deserves her Oscar.

Sunday, May 24, 2009

Midnight Cell: It's a Wrap!

Akhirnya.

Setelah hari pertama shooting pada bulan Maret, shooting terus tertunda bagai tak berkesudahan. Tapi akhirnya, hari Minggu tanggal 17 kemarin shooting Midnight Cell rampung juga. Sebetulnya beberapa voice over belum diambil. Namun anggap saja itu bagian dari post-production.

Shooting Day 2: Apartment Part 2

Shooting hari ke-2, yaitu hari terakhir kita shooting di apartment adalah shooting yang sangat sangat melelahkan. Ini tidak diduga karena jika dilihat adegannya tidak terlalu banyak dan shooting sudah pernah dilakukan disini sebelumnya.



Ternyata saya salah. Adegan-adegan ini belum pernah dilatih sebelumnya dengan kamera, dan banyak masalah properti (mulai dari kotak Blackberry yang terlupakan sampai amplop tiket pesawat yang tertinggal di atas ketika shooting di basement, dan juga masalah lift yang tidak bisa membuka terus).

Adegan di apartment baru selesai jam 8 malam, padahal rencana semula seharusnya itu sudah termasuk adegan di basement. Dan kondisi basement belum diketahui sebelumnya. Untung saja disana sepi dan ada banyak lampu yang bisa dijadikan sumber lighting.



Shooting berakhir jam 10 dan akhirnya saya pun bisa bernafas lega. Badan sudah letih dan kepanasan di dalam basement. Kru dan pemain yang tinggal berjumlah 5 orang pun bersiap-siap pulang. Salah seorang pemain mencoba men-starter mobilnya yang tadi dipakai untuk adegan "putus". Tidak bisa. Kebetulan adegan tadi mengharuskan dia untuk menyala-matikan mesin mobilnya beberapa kali.

Dicoba lagi, tetap tidak bisa. Tanya-tanya teman dan sekuriti di situ, tidak ada yang punya jumper. Akhirnya bengkel pun ditelepon dan mobil tersebut baru bisa nyala kembali kira-kira beberapa menit sebelum jam 12 malam. Saya sendiri sudah pulang duluan karena besoknya harus kerja.



Shooting Day 3: Blumchen Coffee

Sebetulnya saya dan kru sudah punya rencana lain untuk adegan ini, yaitu mengambilnya di sebuah kafe di bilangan Cikini dengan background kereta api yang melintas di atas jembatan. Namun sampai H-2 menjelang shooting, ijin belum juga di dapat. Ketika kita tanya berapa uang kompensasi shooting yang diminta, pemilik kafe menyebut angka yang membuat hati saya mencelos. Bahkan setelah ditawar pun masih terlalu tinggi. Kita independen, Bu! Bukan sejenis Rapi Film..

Akhirnya, kafe lain pun dicari. Salah satu targetnya adalah Blumchen Coffee di bilangan Fatmawati. Sehari sebelumnya saya dan kru survey kesana dan memutuskan untuk shooting diam-diam saja. Sebuah rencana yang langsung ditolak mentah-mentah oleh seorang aktor. Akhirnya, rencana kita adalah untuk meminta ijin langsung on the spot. Jika tidak diberi, baru kita cari kafe lain.



Ternyata, barista Blumchen baik dan membolehkan kita shooting disana. Shooting hari ini pun menjadi shooting yang sangat santai sembari ditemani beberapa cangkir kopi dan musik jazz. Tentu saja kita tidak bawa lighting atau bahkan tripod. Hanya handycam dan microphone saja.

Hujan sempat turun deras sekali dan akhirnya mewarnai dua adegan dalam film. Tidak apa-apa. Masih masuk dalam cerita kalau dipikir-pikir. Toh Days of Being Wild juga banyak diwarnai hujan. Jam 7 malam shooting pun selesai dan walau pencahayaan kurang, saya rasa hasilnya sangat baik.



Shooting Day 4: Time Travel


Seharusnya, shooting di Time Travel ini dilakukan pada hari ketiga, sebelum ke Blumchen. Namun, karena ternyata lift dikunci (waktu itu hari Minggu), akhirnya kita tidak bisa masuk. Akhirnya saya dan seorang aktor coba kesana pada hari biasa selepas jam kantor.

Adegan di Time Travel sebetulnya cuma satu dan sangat singkat dan tanpa dialog. Jadi shooting hari itu adalah shooting tercepat (hanya 15 menit) dan hanya melibatkan dua orang. Ternyata 2 orang kru inti yang lain tidak rela juga kesana hanya demi 1 adegan. Namun tidak apa-apa. Justru kalau terlalu banyak orang akan menimbulkan kecurigaan satpam.



Shooting Day 5: Midnight Cell

Sebuah pertanyaan yang sering diajukan kru dan pemain dari awal adalah "Dimanakah letak Midnight Cell?", dan saya selalu mengelak untuk menjawab, karena memang tidak tahu. Awalnya saya bingung, apakah lebih baik membuat setting sendiri atau pergi ke toko pulsa betulan. Setelah dipikir-pikir, kalau buat sendiri pasti akan terasa artifisial. Jadi akhirnya saya memutuskan: harus pakai toko pulsa betulan. Masalahnya, dimana?

Jadi beberapa bulan belakangan, jika sedang di jalan, saya banyak mengamati toko-toko di kiri-kanan, siapa tahu ada toko pulsa yang cocok. Dan akhirnya saya pun menemukan sebuah toko di bilangan Senayan, tepatnya di belakang Senayan City, yang sangat pas dengan imajinasi. Kebetulan tukang ojek saya suka lewat situ jika mengantar saya.



Strategi Blumchen pun dipakai kembali. Namun kali ini kurang begitu berhasil karena kita tidak bisa mengganggu bisnis toko itu. Jadi setelah minta ijin, kita diperbolehkan shooting, tapi jika ada pembeli, kita minggir.

Ternyata, toko pulsa itu sangat sangat laku. Akhirnya shooting pun sering terganggu dengan adanya pembeli, dan juga anak-anak kecil yang menonton shooting. Kru dan pemain pun protes, dan memaksa saya untuk memberi uang kompensasi, supaya shooting lancar.



Setelah memberi sejumlah uang (yang kalau dipikir-pikir kembali agak kebanyakan), shooting berjalan dengan lancar dan pembeli betulan yang ingin beli pulsa disuruh untuk beli lewat samping. Shooting yang dimulai jam 4 itu akhirnya sukses dan selesai jam 8 malam.

Harusnya kita merayakan rampungnya shooting dengan makan malam, namun saya ada urusan penting yang lain, jadi mungkin bisa ditunda makan-makannya sewaktu filmnya jadi nanti.



Sekarang proses post-production pun sudah hampir selesai, karena setiap kali habis shooting, saya langsung transfer footage-nya ke komputer dan langsung diedit. Adegan-adegan sudah tersambung semua, dan color correction juga sudah dilakukan. Hanya sound saja yang masih belum. Voice over, dering ponsel, mastering volume, dan yang paling sulit: musik.

Musiknya sendiri hanya akan memakai 2 lagu. Satu lagu dari sebuah band indie, dan satu lagi adalah score yang akan saya buat sendiri bersama teman yang punya home recording.



Mudah-mudahan, akhir Juni nanti filmnya jadi dan siap dikirim ke festival-festival film pendek di dalam negeri (dan juga, mudah-mudahan, luar negeri). Sekarang, nikmati dulu still photographs adegan dari Midnight Cell.

Trailer segera menyusul.