Ditemani dua orang teman, saya berangkat dari Cengkareng dengan penerbangan jam empat sore. Setelah saya ingat-ingat, ini adalah pertama kalinya saya ke luar negeri melalui Terminal 2 Soekarno Hatta sejak 12 tahun yang lalu. Karena tahun-tahun kemarin saya terbang dulu ke Batam untuk menyeberang ke negara tetangga.
Ini juga pertama kalinya saya merasakan ke luar negeri bebas fiskal, dengan kartu sakti NPWP. Dan ternyata prosesnya sangat cepat dan mudah (tidak perlu menyertakan fotokopi apapun dan dokumen lain apapun selain paspor dan boarding pass).
Pusat kota HCMC
Penerbangan ke Saigon (nama lama Ho Chi Minh City) kurang lebih tiga jam. Pesawat hanya terisi duapertiganya, dan saya pun bebas berpindah-pindah tempat duduk sesuai keinginan. Dan tentunya, untuk berhemat, kita tidak membeli makanan apapun di pesawat.
Sampai di Saigon jam 8 kurang, dan setelah melalui imigrasi dan sempat panik karena bagasi tidak muncul-muncul (ternyata ada yang menaruh tas kami di lantai), kami pun menukar 50 US Dollar ke Vietnamese Dong di money changer di Airport dengan rate sekitar 18500. Jadi kami mendapat hampir 900 ribu VND.
Lalu, saya bernegosiasi dengan supir-supir taksi, yang walaupun tidak segencar di Cengkareng, namun tidak ada yang mau menggunakan meter/argo. Akhirnya saya setuju dengan tarif 10 dollar ke Pham Ngu Lau St. Meskipun sepertinya mahal, namun lebih murah dari harga yang hostel kami tawarkan untuk menjemput, yaitu 16 dollar.
Ketika sampai di Pham Ngu Lao, saya bingung, My My Guesthouse, tempat menginap yang sudah dibooking tidak terlihat. Setelah menelusuri jalan sedikit, ternyata guesthouse itu terletak di dalam gang! Persis seperti kost-kostan di UI atau di Karet.
Saya pun check-in dan menaruh tas di kamar di lantai 4 yang harus dicapai dengan naik tangga. Dan ternyata kamarnya sangat kecil meskipun cukup sesuai dengan harganya yang 21 dollar untuk 3 orang.
Pemilik guesthouse cukup ramah dan saya membooking half-day trip ke Cu Chi Tunnel esok pagi dan tiket bus dan penginapan ke Mui Ne beach sore harinya. Trip ke Cu Chi Tunnel harganya 4.5 dollar. Tiket bus ke Mui Ne pun sama. Dan penginapan di Mui Ne 15 dollar untuk bertiga.
Makan pho kaki lima
Malam itu kami makan pho di pinggir jalan dengan kursi dan meja yang sangat pendek (rata-rata kaki lima di Saigon seperti ini). Murah dan enak, cuma 20000 VND. Malam itu juga lagi ada International Food Festival di taman di depan Pham Ngu Lao St. Jadi kami sempat berfoto-foto juga disana.
Setelah makan dan keliling sebentar akhirnya kami kembali ke guesthouse (yang ternyata sudah dikunci, dan sempat membuat kami panik). Lalu mandi (dengan cara satu per satu ke luar kamar, karena pintu kamar mandi transparan) dan tidur.
Pagi-pagi setelah sarapan roti baguette Vietnam yang enak dan minum kopi yang sangat kuat, kami dijemput seorang perempuan untuk menuju ke bus untuk ke Cu Chi Tunnel. Dia mengantar kami menelusuri gang-gang sampai akhirnya keluar ke jalan besar, yang sepertinya digunakan sebagai "terminal" bus. Dengan bahasa Inggris terbatas, dia menyuruh saya untuk "wait for him". Him?
Saya sempat cemas karena kami ditinggal disana tanpa tiket dan tanpa info mengenai nama bus dan sebagainya. Setelah 10 menit kami mencoba-coba bertanya apa ini bus menuju Cu Chi Tunnel? Dan akhirnya kami menemukan bus-nya. Peristiwa tadi adalah peristiwa pertama dari rentetan peristiwa berikutnya dalam masalah komunikasi kami dengan para Vietnamese.
Handycraft bagus tapi mahal (semua harga dalam dollar)
Sebelum sampai di Cu Chi Tunnel, bus berhenti dulu di toko souvenir yang harganya mahal-mahal. Mungkin tour guide-nya diberi komisi untuk setiap barang yang terjual. Namun kerajinan-kerajinan itu sangat bagus dan menarik memang. Dan mereka memperkejakan orang-orang cacat juga. Atau mungkin untuk meraih simpati? Entahlah. Yang pasti saya tidak membeli apa-apa karena mahal.
Lalu sampailah kami di Cu Chi Tunnel, yang adalah terowongan jaman perang dulu yang membuat Amerika kalah karena Vietcong (tentara Vietnam) berlindung di dalam terowongan ini.
Cu Chi Tunnel terdiri dari 3 level, dan struktur/petanya seperti terowongan di komik Doraemon. Level paling atas paling berbahaya, karena jika kena bom langsung hancur. Yang paling aman adalah level 3, namun paling susah juga masuknya. Saya dan rombongan tur mencoba untuk masuk ke terowongan level 1, yang meski sudah diperbesar agar turis bule bisa masuk, tetap harus dilewati dengan cara merangkak seperti bayi. Dan itu panjangnya kira-kira 100 meter.
Sangat iri melihat objek wisata yang sebetulnya sederhana ini (menjadi kaya hanya karena sejarahnya) dikunjungi turis yang tak kunjung habis. Mereka bisa mengemas paket tur ini menjadi sangat menarik dan emosional kalau kita membayangkan bagaimana rasanya hidup di terowongan sempit itu selama berminggu-minggu, yang meski saya hanya 10 menit saja di dalamnya sudah membuat saya claustrophobic.
Setelah merangkak kami dijamu penganan kecil yang sebetulnya adalah singkong rebus dengan bumbu kacang tanah. Enak, tapi tetap lebih enak singkong goreng dengan sambal.
Selanjutnya: Mui Ne Beach
Comment dunks buat tempat kerajinannya, itu emang tempat kerajinan yang dikerjain sama orang2 cacat semua akibat perang..hehe..slain ada di papan tulisan depannya (handicap handycraft kl ga salah), g juga sempet nanya sma salah satu mba2nya Jack.
ReplyDeleteTpi mungkin juga siy buat meraih simpati..wlpun tetep ga ngaruh buat turis2 kere seperti g ini krn melihat harga in USD langsung ga rela hohohoho g cuma bisa bersimpati dalam hati aja;)