Monday, September 29, 2008

Laskar Pelangi: My Review

Pada awal tahun ini (atau mungkin akhir tahun lalu), saya mendengar kabar bahwa Riri Riza akan mengadaptasi sebuah novel laris berjudul Laskar Pelangi. Pada waktu itu saya sama sekali belum mengetahui apapun tentang novel tersebut. Hanya pernah melihatnya di toko buku, namun tidak terlalu tertarik untuk baca.

Saya langsung berpikir, apakah Riri Riza mulai ingin mengikuti trend mengadaptasi buku, terutama karena sebulan sebelumnya Hanung Brahmantyo sukses besar lewat Ayat-Ayat Cinta. Namun saya tetap berpikir positif dan seperti biasa tetap menanti-nantikan film berikut dari salah satu sutradara favorit saya ini.

Bulan lalu, berita tentang film ini mulai banyak dibicarakan, dan akhirnya saya tahu bahwa film ini adalah tentang anak-anak sekolah di Belitung, atau seperti pengucapan lokalnya, Belitong (gara-gara novel ini, semua tulisan "Belitung" di Kampung Gantung diganti menjadi "Belitong". Dan Kampung Gantung menjadi "Kampong Gantong").


Anggota Laskar Pelangi dan Bu Muslimah

Harapan saya mulai bangkit untuk sebuah film anak-anak yang sangat Indonesia (setelah Riri kurang berhasil lewat Untuk Rena), dan seperti biasa, film yang bukan semata-mata untuk mengeruk keuntungan seperti yang dilakukan pengusaha dari India itu, tetapi film yang membawa pesan.

Namun harapan itu sempat jatuh sedikit ketika saya tahu Riri mempercayakan penulisan naskah kepada Salman Aristo. Menurut saya Salman bukan penulis skenario yang buruk, namun saya lebih menyukai jika Riri menulis sendiri skenarionya berdasarkan buku tersebut. Karena akan lebih personal.

Sebetulnya apa yang diharapkan oleh seorang pembaca buku jika buku favoritnya dibuat menjadi film? Apakah ia mengharapkan bahwa filmnya harus sama persis dengan bukunya? Jika benar begitu, maka sesungguhnya film tersebut tidak perlu dibuat.

Namun Riri dan tim-nya berhasil mengambil esensi dan inti dari Laskar Pelangi dan menterjemahkannya menjadi bentuk film. Salah satu contoh konkrit-nya adalah dengan memunculkan tokoh Pak Zulkarnaen, yang sebetulnya tidak ada di buku, namun dirasa sangat mewakili citra PN Timah dan orang yang berkecukupan di era kejayaan timah tersebut.

Tentang jalan cerita, mungkin dengan mudah didapat dari review atau blog lain. Yang perlu diberi perhatian khusus dari film ini (diluar penyutradaraan dan cerita yang menyentuh) adalah akting dari pemeran-pemerannya dan tata artistik film ini.


Karnaval 17 Agustus

10 anak asli Belitong (dipertengahan film bertambah menjadi 11) seperti tidak berakting disini. Ini bersumber pada bakat alami dan penyutradaraan brilian dari Riri Riza. Saya lihat hanya Suhendri (A Kiong) yang masih terlihat berakting, terutama pada adegan dia bersama Lintang dan A Ling. Meski begitu, Kiong tetap mencuri perhatian di setiap adegan, terutama karena dia satu-satunya murid SD Muhamadiyah yang keturunan Cina.

Jika harus memilih anak-anak dengan akting yang sungguh potensial, mereka adalah Verrys Yamarno (Mahar) dan Zulfanny (Ikal). Perhatikan betul-betul ketika Mahar mempersiapkan tarian untuk karnaval dan Ikal ketika bertemu A Ling.

Dari jajaran aktor dewasa, Cut Mini (Bu Mus) dan Ikranagara (Pak Harfan) adalah yang paling cemerlang, dan mendapat porsi paling banyak juga. Akting berlebihan ditampilkan oleh Matias Muchus; dan Robby Tumewu adalah cameo favorit saya di film ini.

Sebetulnya ada satu lagi karakter dalam Laskar Pelangi, yaitu Pulau Belitong itu sendiri. Meski keindahan pantainya tidak tereksplorasi dengan baik, namun rasanya saya sudah bisa cukup memastikan bahwa pariwisata Belitong akan melonjak setelah film ini beredar. Akan banyak orang-orang yang ingin melihat batu-batu besar di pantai tempat Laskar Pelangi melihat pelangi, dan juga replika SD Muhamadiyah yang dibangun oleh tim tata artistik film ini, yang saya harap belum dirubuhkan. Mudah-mudahan juga itu semua tidak lantas menjadikan Belitong menjadi terlalu komersil seperti Bali.


Lintang, Ikal, dan Mahar

Laskar Pelangi bukan tanpa kelemahan. Seperti ketidakfokusan cerita karena banyaknya karakter, dan juga subplot tidak jelas mengenai Mahar dan ketertarikannya dengan dunia okultisme dengan mengajak anggota Laskar Pelangi untuk pergi ke dukun, dan adegan dengan buaya yang kurang banyak mendapat porsi long-shot (mungkin demi keselamatan Ferdian), sehingga adegan tersebut kurang berhasil. Namun itu semua tidak ada artinya dibanding kelebihan film ini yang membuat 4 film lokal lain yang dirilis berbarengan (untuk mengambil momen Lebaran) terlihat seperti batu-batu besar yang mengelilingi pelangi.

Sempat terbersit juga pertanyaan, apakah film ini akan sukses besar? Atau nasibnya akan seperti Untuk Rena? Tanggal 26 kemarin pertanyaan itu terjawab. Sepertinya, Laskar Pelangi akan merobek rekor Ayat-Ayat Cinta sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa. Mengapa?

Sukar juga memulai analisa dari mana. Karena setelah dipikir-pikir, banyak sekali hal-hal yang membuat semua orang ingin menonton film ini.

Faktor-faktornya antara lain:
- pembaca Laskar Pelangi yang ratusan ribu orang itu pasti akan menonton film ini,
- setelah para pembaca itu menonton, mereka pasti akan menceritakannya ke teman-teman mereka dan memaksa mereka untuk nonton,
- faktor poster yang menarik dan sangat berbeda dengan film-film Indonesia yang lain (sejauh ini mungkin kasusnya masih mirip dengan Ayat-Ayat Cinta),
- namun lalu film ini punya judul yang sangat menjual dan tidak se-corny Ayat-Ayat Cinta,
- film ini adalah film tentang anak-anak, dan muncul saat libur puasa. Berbeda dengan Ayat-Ayat Cinta yang lebih untuk orang dewasa, Laskar Pelangi menarik penonton dari segala lapisan umur,
- promosi yang baik dari Miles Production,
- kekosongan film-film blockbuster Hollywood,
- trailer dan foto-foto yang memperlihatkan keindahan pantai di pulau Belitong,
- dan, pada dasarnya, karena Laskar Pelangi adalah film yang berhasil.

1 comment:

  1. Jack! Moso bokap g out of nowhere bilang pen nonton Laskar Pelangi;)
    Alasannya krn ahirnya film Indo angkat tema yang bagus, sesuai dengan khidupan nyata, mengajarkan hal yg bner (g juga blm slese investigasi dia tau dari mana) dan skalian nostalgia jaman2 dia dulu juga susah dan pnuh pjuangan buat skolah. Tema film ini deket di hati siy Jack itu juga kali yg bkin film ini berhasil:)

    ReplyDelete