Sunday, September 28, 2008

Tikus di dalam Piano

Note: Dulu, saya suka menulis cerita pendek. Dengan percaya diri berlebihan, sempat mengirimkannya ke majalah-majalah dan surat kabar. Tentu saja, cerita-cerita tersebut langsung masuk ke tempat sampah redaksi-redaksi. Sekarang saya bersyukur sekali akan hal itu, karena jika dimuat, mungkin saya akan sangat malu untuk mengakui bahwa itu karya saya. Namun demikian, ada satu cerita yang saya tidak malu untuk dibaca orang, namun cerita itu tidak mempunyai jalan untuk sampai ke orang-orang. Maka saya pikir, apa salahnya mempublikasikan cerita itu di blog ini, meski tidak akan dibaca terlalu banyak orang juga. Namun setidaknya Tikus di dalam Piano sekarang punya akses menuju dunia.

Begini naskahnya:

SUATU MALAM (ATAU PAGI TEPATNYA) JAM DUA BELAS LEWAT, KETIKA AKU MASIH menatap layar komputerku yang sudah mulai berbayang, ada dentingan aneh berasal dari luar kamar. Ah, mungkin hanya pikiranku saja. Lalu dentingan itu berulang. Piano. Seseorang bermain piano. Tapi tidak ada orang di luar. Namun ketika nada-nada yang terdengar tidak membentuk rangkaian nada apapun, malah cenderung berbunyi aneh, aku berkesimpulan bahwa itu adalah tikus di dalam piano. Terjebak dan tidak bisa keluar, lalu kerjaannya hanya membunyikan dawai-dawai piano untuk mengusir kebosanan.

Keesokan harinya, aku berangkat kerja seperti biasa, ke kantor yang sama, dengan semangat yang sama. Atasanku, pria gemuk berdasi garis-garis dengan kemeja garis-garis pula dengan arah dan warna berbeda (istrinya pasti kurang berselera tinggi dalam berpakaian), berkata bahwa ada bagian uang yang hilang dalam hasil penjualan bulan lalu. Dan ia akan mencari kemana uang itu pergi. Itu bisa berarti pemecatan sepihak bila pelakunya diketemukan.

Setelah beberapa hari, atasanku tidak berhasil menemukan si pencuri uang itu. Ia akhirnya menganggap, “Ah, mungkin ada kesalahan hitung. Lagipula nominalnya tidak besar.” Pendapat itu bertahan sampai laporan keuangan bulan berikutnya datang. Si pencuri uang itu berulah lagi. Kali ini dengan nominal yang lebih besar. Sang atasan pun marah besar.
“Sistem harus diubah!”
Ia sudah ber-presentasi sebaik-baiknya. Namun, apadaya, Komisaris kurang menghargai pendapatnya. Dewan itu beralasan, “Terlalu besar biaya dan usaha yang harus dikeluarkan untuk merubahnya”. Sang atasan pun maklum.

***

SUATU MALAM DI HARI LAIN KETIKA AKU SEDANG MENGETIK DOKUMEN, AKU mendengar kembali beberapa dentingan dari pianoku. Entah pendengaranku salah atau tidak, tapi aku yakin sekali, dentingan itu membentuk alunan. Alunan nada. Aku merinding, mungkin tikus itu semakin lama semakin pintar. Ia bosan mengetuk-ngetuk dawai saja. Ia mulai membentuk nada.
Walaupun takut, aku tidak begitu ambil pusing. Piano itu mungkin sudah busuk di dalam. Tapi yang penting dari luar masih terlihat cantik.

***

“INI TIDAK BISA DIBIARKAN!” KATA ATASANKU, SEMAKIN HARI DASINYA SEMAKIN nggak kompak dengan kemejanya. Semrawut, seperti pikirannya. Bagaimana tidak, pencuri itu, cepat atau lambat, mengancam keberlangsungan perusahaan. Komisaris pun setuju, akhirnya dibuat suatu sistem baru, yang terlihat amat bagus, sehingga tidak mungkin seorang pun dari dalam maupun dari luar yang bisa melakukan pencurian. Kecuali, orang itu ada di dalam posisi yang lain. Di dalam Komisaris, misalnya. Atau di dalam diri Sang Atasan sendiri.

Entah bagaimana caranya, pencuri itu mengingatkanku akan tikus di dalam piano. Mirip sekali ulahnya. Dan sama-sama misterius. Mungkin keduanya mempunyai entitas yang sama. Jiwa yang sama. Pencuri dan tikus. Menggerogoti dari dalam.

***

“SEBETULNYA GAMPANG MEMBASMI TIKUS ITU,” KATA SEORANG TEMAN SUATU KALI. Tentu saja aku tidak bercerita tentang tikus yang mendentingkan nada. Hanya mendentingkan dawai saja yang aku katakan. Tapi aku merasa tak tega. Aku terlanjur cinta dengan tikus itu. Bahkan aku menunggu nada-nadanya pada malam hari, yang terkadang menjadi nada pengantar tidur untukku.

Menangkap pencuri (atau para pencuri) itu mungkin juga sama mudahnya dengan menangkap tikus di dalam piano. Namun entah mengapa, penangkapan itu sering dihalang-halangi, dipersulit, dan ditolak. Mungkin pencuri itu menyogok seseorang yang memiliki kedudukan penting di dalam perusahaan. Dan keduanya saling merengguk kenikmatan. Tak sadar, tingkahnya membuat bangkrut perusahaan, yang sebetulnya, akan membangkrutkan dirinya sendiri jika terlalu lama. Mungkin baginya tidak, karena dia tidak ambil pusing dengan keberlangsungan perusahaan. Atau mungkin juga ya, sebab tidak ada lagi pohon uang yang gampang ditendang-tendang, lalu dirontokkan daunnya.

Kejadian mengagetkan yang sejujurnya tidak terlalu membuatku kaget adalah, pada suatu malam, tikus di dalam piano itu tidak lagi memainkan nada-nada. Ia memainkan sebuah lagu. Lagu utuh. Lagu yang indah, walaupun paradoks dengan kenyataan bahwa piano itu cepat atau lambat akan rusak. Busuk dari dalam. Tapi biar saja, lagu itu cukup meyakinkanku bahwa piano itu akan baik-baik saja. Lagu indah yang menjadi lagu pengantar tidurku, pengganti nada-nada terpisah yang dulu ia mainkan.

***

AKHIRNYA ATASANKU (BAJUNYA SEKARANG HITAM, POLOS, TIDAK BERGARIS-GARIS) mengundurkan diri. Tidak tahan dirinya menghadapi sang pencuri nakal itu. Padahal dirinya dulu berhasil terpilih oleh mayoritas karyawan di kantor, lantaran senyumnya yang simpatik. Tapi sekarang ia tak berdaya melawan pencuri, yang pasti tak lama lagi akan membuat perusahaan harus dinyatakan pailit.

Jika perusahaan bangkrut, dan aku tidak punya pekerjaan, apa yang harus kulakukan? Apa harus kujual saja pianoku, beserta tikus di dalamnya?






Jakarta, Maret 2005

No comments:

Post a Comment