Monday, October 20, 2008

Bali Komodo Part 1: Matahari Terbenam di Uluwatu

Ketika alarm berbunyi pukul empat kurang dini hari, saya masih di alam mimpi. Namun alarm tersebut tidak juga berhenti, dan menarik saya kembali ke dunia nyata. Kamar saya. Lalu saya tersadar mengapa alarm tersebut berbunyi di pagi buta itu. Its komodo time! Saya langsung bergegas mandi dan berangkat ke airport.

Jam masih menunjukkan pukul lima lewat sedikit ketika saya sampai di terminal 1A. Air Asia berangkat dari terminal 1A bukan?

Ternyata, mulai beberapa minggu yang lalu, Air Asia dipindahkan ke terminal 1C, dan ayah saya yang tadi mengantar sudah terlanjur pulang. Alhasil, saya harus mengejar waktu dengan berlari dari terminal 1A ke terminal 1C dengan memanggul backpack saya yang berkapasitas 65 liter. Saat itu matahari sedang terbit. Ketika saya mulai berlari, langit masih cukup gelap. Ketika saya sampai, langit terang benderang. Silahkan mengira jaraknya.


Saya harus berlari menyusuri jalur ini dengan memanggul tas yang besar

Ketiga teman saya sudah sampai terlebih dahulu disana dan ternyata mereka sudah check-in untuk kita semua. Untung saja, karena antrian masih cukup panjang. Namun lalu saya teringat, saya masih harus memasukkan tas saya ke bagasi. Saya pun masuk ke dalam antrian.

Setelah sekitar 5 menit, saya tiba di barisan depan, dan meletakkan tas saya di atas timbangan, dan memperlihatkan tiket. Petugas langsung berkata, "Ini akan kena charge tiga puluh ribu, Pak". Saya bilang, "Tapi ini boleh dibawa masuk ke kabin?". Petugas itu bilang, boleh.

Kebetulan teman-teman saya membawa tas yang berukuran lebih kecil sehingga mereka tidak men-check-in-kan (bahasa yang aneh, tapi mau bagaimana lagi) tas mereka. Setelah menunggu sejenak, kami pun boarding, dan pesawat lepas landas menuju Denpasar, Bali.

Mobil sewaan kami (Avanza, 165 ribu per hari) sampai kira-kira 15 menit setelah kami mendarat. Lalu kami pun bergegas menuju Poppies Lane untuk mencari penginapan. Berhubung Poppies Lane adalah gang yang sempit, mobil diparkir dulu di Legian Parking. Pilihan dijatuhkan kepada Dua Dara (100 ribu per malam, double bed), penginapan pertama yang kami temukan. Dengan alasan kami cukup suka dengan suasananya, meski kondisi kamarnya sangat seadanya.


Monumen Bom Bali

Kami langsung pergi menuju Monumen Bom Bali untuk bertemu dengan seorang teman yang tinggal dan bekerja di Bali. Monumen ini cukup bagus dan segera menjadi landmark baru untuk Legian. Namun karena tidak ada pepohonan, berada di sekitar Monumen ini bisa membuat kulit cepat terbakar oleh matahari yang ganas.

Setelah makan siang di Warung Murah (kira-kira 20 ribu termasuk minum), Jl. Double Six (nama jalan yang sungguh aneh), kami bergegas menuju Garuda Wisnu Kencana yang ada di daerah selatan pulau Bali.

GWK (tiket 15 ribu) adalah sebuah kompleks kebudayaan yang belum betul-betul jadi. Saya cukup takjub dengan blueprint kompleks ini. Betul-betul megah dan lengkap. Namun karena ini adalah sesuatu yang baru dibuat, GWK menjadi tidak mempunyai nilai sejarah dan kurang menarik turis asing. Mayoritas hanya turis lokal yang datang dengan bus-bus pariwisata.


Garuda Wisnu Kencana

Setelah puas menjelajah GWK, termasuk meneguk Es Kelapa Muda (15 ribu) di kafetaria, kami melanjutkan perjalanan menyusuri pantai selatan Bali, menuju Pura Uluwatu. Kami tidak mendapat informasi bahwa untuk memasuki Pura Uluwatu, kita harus mengenakan celana panjang. Namun mayoritas turis yang pergi kesana, terutama turis asing, juga mengenakan celana pendek. Maka para pemakai celana pendek harus menutupi kaki mereka dengan sarung-sarung berwarna norak seperti ungu atau kuning, yang malah membuat pemandangan disana menjadi unik.


Menikmati matahari terbenam di Uluwatu

Pura Uluwatu (tidak ada tiket, hanya tips) pada dasarnya adalah pura yang dibangun di tebing di tepi laut. Puranya sendiri tidak luar biasa, namun pemandangan ke laut bebas itu yang luar biasa, terutama untuk menikmati matahari terbenam. Sebetulnya ada juga pertunjukkan tari Kecak di malam hari (50 ribu), namun karena terasa mahal dan belum makan, kami kembali ke kota untuk mencari makan.

Pilihan jatuh kepada Kafe Tahu, sebuah kafe di kawasan Seminyak, yang mempunyai menu serba tahu dengan harga terjangkau (rata-rata menu tahu dibandrol dengan harga belasan ribu saja). Suasana pun cukup menyenangkan dengan gazebo-gazebo dari bambu dan ruang terbuka yang nyaman. Hanya saja ada cukup banyak nyamuk disana.


Di Kafe Tahu, Seminyak

Setelah kenyang oleh tahu, kami pergi menuju Adabar di daerah Kuta untuk minum-minum. Menyenangkan juga bar yang dimiliki oleh orang Perancis dan orang Jakarta ini. Dengan satu meja biliar dan bar yang cukup kecil membuat suasana akrab. Kekurangannya hanya nyamuk, dan musik yang bercampur dengan musik dari bar di sebelah jika kita duduk di sebelah luar.

Minuman pun mempunyai harga yang menyenangkan. Segelas Arak Attack (yang tentunya tidak dicampur Attack) dijual seharga 10 ribu rupiah saja dan merupakan pilihan favorit dibanding Bintang yang standar dan lebih mahal. Sepertinya Bali memungkinkan kita untuk keluar malam dan menikmati musik dan minuman beralkohol tanpa menguras kantong. Meski ada juga tempat seperti Ku De Ta pastinya.


Di Adabar, setelah meneguk Arak Attack

Setelah Adabar, kami sudah kehabisan energi dan sudah cukup mengantuk. Kami pun berpamitan dengan teman yang lain dan kembali menuju Dua Dara untuk tidur.

Besok: Makan babi guling dan berfoto dengan burung-burung beraneka warna di Ubud

No comments:

Post a Comment