Saturday, August 2, 2008

I Hate Bikers



Well, have to admit, it was both our faults. I didn't look the rear window twice when turning right, and the biker (not sure if he knew it or not), but he insisted on going straight ahead, not expecting me to turned right.

We clashed.

A policemen approached and asked for my license. But he saw that I'm the one who's being hit. And I blinked my reversing light. So he let me go.

The worst part of it (other than the wounded biker) is, I don't even have a car insurance.

Slip Tilang Merah yang Berubah Menjadi Biru (Part 2)

Siang itu sang ABAPer makan siang dengan cepat lalu bergegas ke Polda dengan menumpang bus SCBD yang lewat di depan BEJ. Ketika sampai di depan gerbang Polda, mata sang ABAPer memindai dari kiri ke kanan, mencari Pak Polisi yang kemarin.

Tidak ada! Sang ABAPer melakukannya lagi berulang kali, namun batang hidung Pak Polisi yang kemarin tidak juga terlihat. Maka berjalanlah sang ABAPer menyusuri kompleks Polda yang sangat luas, lalu menghampiri seorang Polisi dan bertanya. Namun Polisi itu pun tidak tahu keberadaan Pak Polisi yang kemarin. Dengan langkah gontai, sang ABAPer tidak punya pilihan lain selain menuju ke kantor tilang yang kemarin. Pintu diketuk beberapa kali, lalu sang ABAPer masuk.

"Permisi Bu. Saya mau titip sidang tilang."
"Mas ditilangnya kapan?"
"Kemarin pagi, Bu."
"Coba saya lihat surat tilangnya."

Bu Polisi dengan paras wajah yang cukup berintegritas mengamati surat tilang tersebut.

"Ini berkas-berkasnya sudah dibawa ke tempat sidang Mas. Jadi harus disidang."
"Tapi kemarin sore saya kesini katanya petugasnya belum kesini, Bu. Masa begitu cepat?"
"Iya, tadi pagi sudah diantar ke tempat sidang. Lagipula, sekarang sudah tidak bisa titip sidang, Mas."
"Kenapa Bu? Bukannya saya punya tiga pilihan?"
"Sekarang tidak bisa, Mas. Harus melalui sidang."
"Kalau tidak sempat?"
"Boleh diwakilkan. Kalau Mas dapat slip tilang merah, harus lewat sidang. Kalau biru, Mas boleh bayar denda langsung ke BRI".
"Saya kemarin minta slip biru, Bu. Tapi tidak dikasih."
"Ya, karena kita sebetulnya sudah akan berhenti untuk bekerja sama dengan BRI."
"Jadi tidak bisa Bu?"

Sang ABAPer menunduk sedih. Kecewa. Lalu Bu Polisi tampak iba. "Duduk dulu Mas. Coba saya cek."

Sang ABAPer duduk, lalu Bu Polisi mengecek daftar tilang di sebuah buku besar, "Oh tadi saya kira nomor tiga lima, Mas." Lalu Bu Polisi menyuruh bawahannya untuk mengambil berkas tilang sang ABAPer (yang masih terlipat rapih, bersama setumpuk berkas tilang lain. Jadi tadi Bu Polisi bohong?) lalu menyuruh ABAPer untuk pergi ke BRI cabang Menara Mulia untuk membayar tilang sebesar Rp 50.600,- sesuai tabel denda, lalu kembali lagi kesitu untuk mengambil SIM.

Sang ABAPer menganga tidak percaya. Oke, terlalu berlebihan. Namun sang ABAPer tidak mampu menyembunyikan perasaan bahagianya atas keadaan yang berubah 180 derajat. Jadi sang ABAPer meninggalkan kantor tilang dengan senyuman lalu bergegas menuju Menara Mulia. Meski tahu sempat dibohongi, namun kenyataan bahwa ABAPer akhirnya dapat ditilang sesuai prosedur dan tidak menyuap polisi sepeserpun membuat hati sang ABAPer berbunga-bunga. Kondisi yang kronis sebetulnya. Untuk ditilang sesuai prosedur pun harus memohon-mohon terlebih dahulu.


Slip bukti pembayaran tilang (sayang sekali slip merah dan slip biru harus dikembalikan ke polisi dan tidak sempat dipindai)

Singkat cerita, sang ABAPer berjalan kaki menuju BRI cabang Menara Mulia, lalu membayar Rp 50.600,- ke teller Bank setelah menunggu sekitar 10 menit, dan kembali lagi ke kantor tilang dan menebus SIM-nya, yang menjadi benda yang sangat dirindu-rindukan ABAPer selama dua hari belakangan ini.

Sang ABAPer pun kembali ke kantor dengan senyuman.