Sewaktu merencanakan perjalanan, saya mengira bahwa Ijen ada di sebelah Bromo. Karena banyak sekali agen yang menawarkan paket tur Bromo-Ijen. Ternyata, Ijen letaknya sekitar 6 jam dari Bromo! Dan letaknya sudah dekat dengan Banyuwangi (kota untuk menyeberang ke Bali). Wah, rencana lumayan kacau karena sudah terlanjur membeli tiket pulang dari Surabaya. Tahu begitu kan lebih baik pulang lewat Denpasar. Lebih dekat dan lumayan bisa sekalian ke Bali.
Namun saya tetap ke Ijen. Jam 12 (dari Bromo) kita langsung ke arah Bondowoso via Pantura, lalu masuk ke kawasan hutan Ijen yang jalanannya rusak parah. Akhirnya hampir jam tujuh malam baru sampai di Catimor Homestay, salah satu dari sedikit penginapan di Kawah Ijen. Catimor Homestay pun sebetulnya adalah rumah pemilik dan kantor perkebunan kopi disana, yang aslinya adalah rumah peninggalan Belanda dari tahun 1894. Namun pada akhirnya berkembang menjadi penginapan yang selalu penuh dengan bule-bule (khususnya asal Perancis).
Di Catimor hanya ada 1 set menu untuk makan malam yang terdiri dari nasi, ayam goreng, (indo)mie goreng, sayuran, sup, dan jus stroberi yang seharusnya hanya untuk 1 orang dengan harga 100ribu. Akhirnya kita pesan 2 set menu untuk ber-4 karena merasa mahal, meski pihak hostel akhirnya menambah porsinya karena tahu kita orang lokal.
Besoknya, setelah sarapan nasi goreng dari hotel, jam 5 pagi saya sudah di mobil untuk menuju ke Kawah Ijen yang jaraknya sekitar 45 menit dari Catimor Homestay. Sampai sana kita harus membayar tiket masuk yang totalnya 2oribu untuk berempat dan satu kamera. Pak Okky, tour guide kami, tidak ikut naik. Sudah pernah, katanya. Dia juga bilang untuk sampai ke kawah kita harus mendaki sejauh 3km dan perlu waktu kira-kira 1.5 jam.
Di awal pendakian, jalur masih cukup menyenangkan karena tidak terlalu terjal. Namun setelah 500 meter, jalan semakin curam dan sempat membuat saya berhenti beberapa kali untuk mengambil napas. Kilometer kedua adalah yang terberat. Maka itu mungkin dibuat kantin kecil di akhirnya supaya pendaki bisa minum dan istirahat. Kilometer ketiga cukup curam tapi menyenangkan karena pemandangan mulai luar biasa indah.
Sepanjang mendaki, saya sering berpapasan dengan penambang belerang yang harus mengangkat belerang seberat 70kg! Saya sempat mencoba untuk mengangkat pikulannya, dan tidak bergerak sama sekali. Setelah ngobrol dengan beberapa penambang, ternyata ada yang sudah 40 tahun menjadi penambang belerang disana. Dan mereka hanya dibayar 600 rupiah per kilogramnya. Sangat membuat saya bersyukur atas pekerjaan saya.
Akhirnya, tibalah saya di hadiah yang sebenarnya setelah pendakian 3 kilometer: Kawah Ijen, yang mengeluarkan asap kuning dari pemurnian belerang. Kawah Ijen sangat spektakuler meski bukan indah. Saya dan seorang teman laki-laki memutuskan untuk turun ke kawah meski ternyata ada papan bertuliskan "All visitors are strictly forbidden to go down to the crater".
Ternyata sempat ada beberapa kecelakaan yang mengakibatkan tewasnya beberapa turis asing yang tergelincir di dalam kawah. Karena memang disana tidak ada pengaman apa-apa, tidak seperti Bromo yang bahkan dibuatkan tangga. Namun jika kita berhati-hati (dan mengikuti jejak penambang), seharusnya aman-aman saja.
Turun dan kemudian mendaki kembali kawah itu membuat pendakian 3 kilometer sebelumnya menjadi seperti jalan-jalan di taman. Saya betul-betul harus berhenti setiap 10 detik karena jalan berbatu-batu yang ultra curam. Setelah akhirnya berhasil kembali sampai di bibir kawah, saya harus beristirahat selama 20 menit sebelum sanggup untuk pulang dan turun gunung dengan jarak 3 kilometer ke bawah itu.
Ijen membuat Bromo menjadi biasa saja. Dan saya ingin kembali lagi kesana karena belum sempat pergi ke air terjun dan menikmati Ijen di siang hari. Saran saya, datanglah sekitar jam 2-3 sore agar masih sempat untuk keliling di hari pertama. Dan jangan lupa mencicipi kopi dari perkebunan yang tersedia di hostel. Dan bila Anda tidak sanggup turun gunung, penambang-penambang belerang itu sanggup menggendong Anda sampai ke bawah sana!