Sejak tahun 2008 saya ingin mengunjungi Brunei Darussalam. Alasannya hanya karena jarang ada yang pergi kesana dan penasaran seperti apa, karena tidak ada yang tahu. Akhirnya rasa penasaran itu terpenuhi pada bulan Desember 2010 kemarin.
Karena cukup mahal untuk terbang langsung dari dan ke Brunei, dan karena ingin mengeksplor Borneo, saya memperluas rute perjalanan menjadi: Pontianak - Kuching - Miri - Brunei - Labuan - Kota Kinabalu, dengan total durasi tujuh hari. Tiket pesawat pun sudah dipesan sebelumnya untuk rute Jakarta - Pontianak, Kuching - Miri, dan Kota Kinabalu - Jakarta.
Tugu Khatulistiwa, Pontianak |
Mendekati hari H, ternyata ada hal mendesak yang memaksa saya untuk menunda perjalanan sampai tanggal 22 dan mempersingkat lamanya menjadi lima hari saja. Saya harus mengganti itinerary tiket Garuda dan Air Asia yang sudah dibeli dengan biaya yang hampir sama dengan tiketnya. Tak apalah, daripada batal berangkat.
Perjalanan ini juga menjadi solo backpacking trip saya yang pertama, meski di awal tahun 2010 saya pernah ke Banjarmasin sendirian untuk melihat pasar terapung Lok Baintan. Namun itu hanya semalam dan dilakukan ketika saya ditugaskan di Balikpapan. Jadi cukup degdegan juga, apakah akan terasa sepi dan apakah akan aman-aman saja.
Tanggal 24 saya mengejar pesawat Garuda jam 6 pagi tujuan Pontianak. Sampai di Supadio saya langsung keluar dari bandara untuk naik ojek ke pusat kota (50ribu). Di perjalanan, si tukang ojek menawarkan untuk mengantar berkeliling. Setelah menawar, akhirnya saya setuju (70 ribu).
Anak kecil bermain sarung, Pontianak |
Saya diantar ke pool bus Damri untuk memesan tiket bus ke Kuching nanti malam (165ribu), ke Tugu Khatulistiwa, ke rumah makan untuk mencoba Es Lidah Buaya (very refreshing), dan ke Mesjid Jami. Ternyata, tukang ojek itu tidak membawa saya ke Mesjid Jami, dan malah membawa saya ke mesjid baru yang memang terbesar se-Pontianak. Dan dia lupa kalau hari itu hari Jumat dan harus shalat Jumat. Akhirnya dia meminta ongkos saat itu juga dan mau mengantar saya pulang ke pool Damri.
Saya marah karena perjanjian awalnya tidak begitu. Awalnya bahkan dia bilang mau mengantar ke 4-5 tempat. Akhirnya saya mengalah dengan membayar tapi tetap minta diantar ke dermaga untuk naik sampan ke Mesjid Jami. Sebelumnya memang dia sudah mencoba untuk mengantar saya ke Keraton yang ternyata ada di samping Mesjid Jami. Namun air pasang dan motor tidak bisa lewat. Sepanjang perjalanan dari bandara tadi memang banyak terlihat rumah dan ruko-ruko yang terendam air semata-kaki.
Anak-anak kecil di depan Mesjid Jami, Pontianak |
Saya naik sampan ke Mesjid Jami (10 ribu, pp) dan di depan mesjid saya bertemu dengan anak-anak kecil yang sedang bermain dengan membentangkan sarungnya di atas kepala sehingga tertiup angin kencang. Mereka menghampiri saya dan terlihat penasaran dengan “abang dari Jakarta” ini. Ada satu kakak-beradik kelas 2 dan 1 SD yang lucu dan saya ngobrol dengan mereka selama 10 menit, sebelum mereka ikut shalat Jumat.
Pada dasarnya orang Kalimantan itu baik-baik (kecuali mungkin tukang ojek tadi). Meski kesimpulan saya adalah semakin suatu kota ramai dengan turis, semakin banyak penipu yang memanfaatkan ketidaktahuan turis. Seperti Saigon dan Jogjakarta.
Kaca Seribu, Keraton, Pontianak |
Mesjid Jami sendiri adalah mesjid tua yang cukup menarik, tapi saya tidak masuk karena sedang ada shalat. Sekitar 200m dari mesjid ada Keraton Pontianak yang hanya berupa rumah kuno saja tapi cukup menarik dan ada benda-benda bersejarah seperti Kaca Seribu dan Al-quran yang berumur 2 abad.
Saya kemudian naik angkot Gajah Mada untuk kembali ke pool Damri dan istirahat di lantai atas. Sekitar jam 4 saya mandi lalu naik ojek ke Jl. Pattimura yang ada banyak tempat makan. Saya mencoba Es Nona yang adalah salah satu es paling enak yang pernah saya coba. Lalu karena itu adalah malam Natal, maka saya sempatkan ke gereja disitu yang dijaga banyak polisi, dan makan malam di Coffeeshop Tubrux yang menyediakan wifi gratis.
Sampan ke Mesjid Jami, Pontianak |
Jam 10 malam bus saya baru berangkat setelah ditunda 1 jam karena ada kemacetan. Saya sempat istirahat dulu di lantai atas dan ngobrol dengan seorang sopir bus asal Klaten dan penjaga warung asal Makassar. Perjalanan selama hampir 9 jam itu saya lewati dengan tidur dan kondisi bus cukup nyaman dengan AC dan recliner seat.
Saya sampai di perbatasan Entikong jam 6 pagi di hari Natal. Proses imigrasi berjalan lambat karena hanya ada dua loket. Dan kita harus jalan sendiri ke gerbang perbatasan, lalu mengantri imigrasi lagi di sisi Malaysia.
Es Nona, Jl. Pattimura, Pontianak |
Sekitar jam 8 waktu setempat saya akhirnya tiba di Kuching dengan tanpa satu Ringgit pun. Untung ada money changer di foodcourt di sebelah terminal. Dan saya langsung ke bus-stop untuk mencari bus ke pusat kota. Ternyata di Kuching pun ada angkot berupa minivan. Sehingga saya naik itu untuk ke daerah Pasar.
Setelah berjalan kaki memikul backpack ke Serawak Museum (karena di Kuching saya juga masih belum punya hotel), saya mendapati museum itu tutup karena public holiday. Oh well. Akhirnya saya langsung menuju waterfront dengan menumpang mobil seseorang yang menawarkan untuk mengantar kesana.
Serawak Museum, Kuching |
Waterfront Kuching bagus! Rindang, asri, sepi, dan terawat. Pada dasarnya selama 10 jam di Kuching saya hanya berputar-putar di sekeliling waterfront saja. Dan naik river cruise juga tentunya (19RM). Saya minum teh tarik di After 2 café dan beli oleh-oleh di handicraft center. Namun sayang karena perut sedang bermasalah akhirnya saya hanya makan siang di KFC dengan menu ayam goreng dan nasi Hainan. Sempat juga ke India Street tapi tidak beli apa-apa. Jam 8 malam saya harus meninggalkan Kuching untuk terbang ke Miri, meski belum puas. Mungkin suatu saat saya akan mengunjungi Kuching lagi.
Waterfront, Kuching |
Miri adalah kota terakhir di Serawak sebelum Brunei. Tidak ada yang terlalu menarik dan kebanyakan turis hanya mampir untuk pergi ke Brunei atau ke Mulu National Park. Di Miri saya menginap di hostel (setelah melalui 2 kota tanpa menginap) bernama Highlands (25RM). Owner Highlands awalnya cukup galak ketika saya bilang ingin melihat kamar. Rupanya dia mengira saya ingin mengecek apakah ada bedbug atau tidak dan tersinggung. Padahal sebetulnya hanya ingin mengecek kenyamanannya saja.
Anak Perancis di river cruise, Kuching |
Pagi-pagi saya ketinggalan bus menuju Brunei karena tidak menyangka bahwa bus berangkat jam 8 dari terminal jauh di luar kota, bukan terminal dalam kota. Untungnya owner hostel bilang bisa pakai private car, jam 11 (60RM, kalau naik bus 40RM). Saya jadi bisa keliling Miri dulu selama 3 jam dan ternyata Miri kota yang cukup besar juga.
Highlands hostel, Miri |
Saya sampai di Brunei jam 4 sore karena private car yang dimaksud baru jalan jam 12 dari Miri dan sepanjang jalan harus menjemput dan mengantar penumpang lain. Sebetulnya praktek ini ilegal namun sudah menjadi moda transportasi yang biasa untuk orang lokal.
Miri |
Brunei tidak semegah yang saya kira. Bahkan jalan menuju Bandar Seri Begawan rusak dan sepanjang jalan relatif tidak ada apa-apa. Saya diturunkan di Pusat Belia dan untung saja penjaga youth hostel-nya sedang ada di tempat. Karena ada yang harus menunggu sampai berjam-jam.
Waterfront, Miri |
Kondisi hostel kurang begitu terawat tapi masih memadai dan nyaman. Kamar saya (B$10) seharusnya untuk 4 orang namun malam itu satu kamar milik saya sendiri. Sehabis menaruh tas, saya keluar untuk cari makan. Panas sekali sore itu di BSB. Matahari menyengat. Dan sepi. Sangat sepi. Sebagai orang dari Jakarta yang sangat padat saya merasa aneh. Saya melewati beberapa restoran India dan Melayu namun kurang berselera. Akhirnya saya masuk ke Jolibee, sebuah Filipinos fastfood yang ada di mall dekat Mesjid Omar Ali. Ternyata di Brunei memang ada banyak orang Filipina.
Ruang tamu / ruang bersama di Highland hostel, Miri |
Setelah itu baru saya masuk ke mesjid berkubah emas dan ber-AC 24 jam seminggu itu. Mesjid Omar Ali membuat orang ternganga ketika masuk ke dalam aulanya yang dingin. Namun sayang sekali dilarang memotret di dalam mesjid. Jadi bagi yang ingin melihat memang harus datang sendiri kesana. Waktu itu saya mengenakan celana pendek dan penjaga bilang saya harus memakai jubah juga jika mau masuk. Jadilah saya mengenakan jubah hitam semata-kaki itu seperti pengunjung perempuan. Setidaknya tidak disuruh pakai scarf.
Dari mesjid saya jalan kaki ke Kampung Ayer, tempat tinggal warga Brunei yang memilih untuk hidup dengan cara tradisional dengan tinggal di rumah di atas air. Saya menyusuri jalan-jalan kayu di antara rumah-rumah dan sempat bermain juga dengan anak kecil di kampung itu. Anak kecil memang objek foto yang paling menarik!
Mesjid Omar Ali, Brunei Darussalam |
Dan yang tidak boleh terlewat dari mengunjungi Kampung Ayer adalah keliling kampung dengan menggunakan water taxi alias perahu motor. Saat itu ada sepasang bule juga yang kemudian saya ajak untuk sharing perahu. Setelah menawar akhirnya disepakati per orangnya B$5. Tukang perahu itu membawa keliling Kampung Ayer selama kira-kira 40 menit, termasuk sampai ke dekat Istana Sultan. Ada sekawanan burung yang terbang berputar-putar di atas kepala.
Perahu permanen di depan Mesjid Omar Ali, Brunei Darussalam |
Malamnya saya makan malam bersama sepasang bule tadi yang ternyata dari Belanda (berdasarkan pengalaman, saya hanya pernah bertemu turis bule asal Belanda, Jerman, Australia, dan Perancis). Mereka juga menginap di Pusat Belia dan sama-sama berencana untuk ke Kota Kinabalu besok. Maka saya meminta ijin untuk gabung.
Jalan di Kampung Ayer, Brunei Darussalam |
Setelah makan malam saya berpisah dan memutuskan untuk pergi ke sebuah café kecil yang keren dan buka 24 jam untuk mencari wifi dan juga untuk menonton pertandingan final AFF antara Indonesia dan Malaysia (Indonesia kalah 3-0). Minuman disana mahal dan tidak enak. Dan mereka tidak punya alkohol karena alkohol dilarang di Brunei.
Esok paginya saya sudah meninggalkan Pusat Belia jam 7.10 dan pergi ke terminal bus untuk naik bus 37 (atau 38) menuju Muara (B$1). Perjalanan bus di Brunei ini sangat menyenangkan karena sopir bus mengenal semua orang dan menurunkan semua orang di tempat masing-masing tanpa mereka perlu bilang apa-apa. Suasananya seperti keluarga. Saling tegur sapa dan bercanda. Bus-nya pun meski sudah tua namun nyaman dan dingin.
Anak kecil Kampung Ayer, Brunei Darussalam |
Dari Muara saya harus naik bus lain lagi ke Serasa Ferry Terminal. Saat itu ada satu sopir bus yang mau mengantar kita di sela-sela shift-nya, karena bus yang dimaksud belum datang. Mungkin dia tahu kita sudah telat jadi mau mengantar (B$1 juga per orang). Jadilah 3 orang diantar pakai 1 bus besar..
Naik water taxi keliling Kampung Ayer, Brunei Darussalam |
Serasa Ferry Terminal pun sepi dan untungnya saya belum telat. Perjalanan ke Labuan memakan waktu 1 jam, lalu transit di Labuan 3 jam (sempat makan siang dan foto-foto juga, meski tidak terlalu ada yang menarik), lalu berangkat lagi ke Kota Kinabalu selama 3 jam.
De Royalle Cafe, Brunei Darussalam |
Sampai di Kota Kinabalu sudah jam 4 sore. Jesselton Point (ferry terminal) sangat menarik dan laid back. Sepertinya menyenangkan melihat matahari terbenam disana sambil minum teh. Setelah berputar-putar di kota, saya memutuskan untuk menginap di Hotel Capital (130RM), karena sedang ingin memanjakan diri setelah 1 malam di bus dan 2 malam di hostel.
Memberi makan burung, Labuan |
Kota Kinabalu punya atmosfer yang sedikit seperti Bali meski tidak semenyenangkan itu. Waterfront-nya menarik dan ada bagian khusus untuk warung-warung penjual makanan seperti ikan bakar, barbeque, es buah, dll. Suasananya lebih seperti di Indonesia dibanding di Penang misalnya.
Jesselton Point, Kota Kinabalu |
Setelah tidur cukup di hotel, jam 8 pagi saya keluar mencari sarapan, karena hotel itu tidak menyediakan sarapan! Namun di samping hotel ada foodcourt semacam kopitiam yang enak dan saya sarapan mee goreng dan kopi disana. Dan membeli steam bun (bakpao) juga di jalan pulang.
Sabah Museum, Kota Kinabalu |
Saya jalan kaki ke Sabah Museum selama kurang lebih 40 menit, sambil melihat-lihat dan mengambil gambar. Namun saya sarankan untuk naik bus ke Wawasan Plaza, dan lanjut lagi bus 13 ke museum, masing-masing 50sen. Sabah Museum (8RM) biasa saja, namun Heritage Village-nya bagus, meski tidak sebesar TMII. Hutan tanaman obat-obatannya juga menarik. Museum itu memang sangat luas dan memiliki hutan sendiri.
Pohon di hutan Sabah Museum, Kota Kinabalu |
Sore harinya sewaktu saya berencana untuk ke handicraft center dan ke pasar ikan, hujan turun dengan lebatnya. Akhirnya saya tidak bisa kemana-mana dan terperangkap di sebuah mall (atau pasar?) yang jelek dan terpaksa makan disana juga.
Sabah Museum, Kota Kinabalu |
Hujan tidak berhenti juga sampai saat-saat saya harus mengejar pesawat untuk pulang ke Jakarta. Padahal saya ingin sekali melihat sunset di waterfront. Saya sempat menunggu bus untuk ke airport namun bus-nya tidak datang-datang. Daripada ketinggalan pesawat, akhirnya terpaksa naik taksi (25RM). Memang yang paling tidak enak dari backpacking sendirian adalah harus membayar taksi sendiri, terutama dari dan ke airport.
Patung lumba-lumba di waterfront, Kota Kinabalu |
Saya nanti ingin mengunjungi Kota Kinabalu lagi untuk mendaki Mt. Kinabalu. Dan ingin ke Kuching lagi untuk ke Serawak Museum dan untuk jalan-jalan santai di waterfront. Dan mudah-mudahan nggak sendirian.
Sekian.