Perjalanan ferry dari dan ke Macau cukup membuat mabuk laut, terutama di awal dan di akhir ketika kecepatan masih rendah. Terminal ferry di Macau dan di Hong Kong cukup rapih dan efisien, meski saya sempat berada pada gate yang salah saat berangkat. Antrian imigrasi juga cukup cepat.
Di Sheung Wan (terminal ferry di Hong Kong), saya sempat kembali memuaskan keinginan saya untuk menikmati dessert serba mangga. Jadi dessert tersebut bernama "Mango Madness" dan terdiri dari jus mangga, potongan buah mangga yang berlimpah, es krim mangga, dan potongan kelapa. Hm...
Jembatan yang menghubungkan Sheung Wan dan Central |
Dari mall (yang menjadi satu dengan terminal ferry itu) saya keluar, namun ternyata saya berada di lantai dua. Meski begitu, dari lantai dua itu ada jembatan yang panjang sekali dan menghubungkan semua gedung-gedung yang ada di sekitarnya. Sehingga orang-orang yang berjalan kaki tidak terkena hujan, tidak perlu menunggu lampu untuk menyeberang jalan, dan bisa menikmati pemandangan. Sungguh dimanja pejalan kaki disana.
Di ujung jembatan itu, tepatnya di depan mall ifc (memang ditulis dengan huruf kecil), saya melihat sebuah toko yang sangat keren dan serba kaca dan menjual barang-barang yang sangat diidam-idamkan banyak orang, yaitu: Apple Store. Jadilah saya masuk ke dalam toko tersebut dan melihat-lihat, meski tidak ada rencana membeli apapun. Sebetulnya Apple Store tersebut mirip saja dengan semua Apple authorized reseller yang lain, namun bedanya lebih besar dan dipenuhi penjaga toko yang semuanya berkaos biru. Dan juga, disamping setiap produk, ada sebuah iPad yang menampilkan informasi tentang produk tersebut. Wow..
Apple Store |
Oke, sebaiknya saya tidak berlama-lama disana sebelum saya berubah pikiran dan mencomot sebuah iPod Nano. Sayapun pergi naik MTR ke Causeway Bay, daerah kedua yang paling terkenal di Hong Kong (setelah Tsim Sha Tsui di Kowloon). Causeway Bay adalah sisi metropolis dari Hong Kong dan dipenuhi pusat perbelanjaan (dengan suasana yang berbeda juga dengan pusat bisnis Hong Kong, yaitu daerah Central). Ngomong-ngomong pusat perbelanjaan, saya sempat mencari sebuah travel bag disana, dan masuk ke sebuah department store, yaitu Sogo (jauh-jauh ke Hong Kong belanjanya di Sogo juga). Saya bertanya pada petugas informasi, "where can I find travel bags?" dan dijawab, "Oh, you can find it at the bag section, at the tenth floor". Jadi ternyata Sogo-nya sepuluh lantai, saudara-saudara.
Naik ferry ke pulau Hong Kong |
Satu hal yang saya selalu ingin coba di Hong Kong adalah naik tram, sebuah moda transportasi yang paling tua di Hong Kong. Ongkosnya pun murah, sekitar 2.10 HKD kalau saya tidak salah ingat, dan dapat menggunakan Octopus Card (memang canggih kartu ini, bisa dipakai untuk naik MTR, bus, tram, ferry, bahkan membeli minuman di 7 Eleven). Maka naik tram lah saya dari dekat Causeway Bay MTR station, tanpa tahu kemana tram itu pergi (toh ada rel-nya, tinggal menyusuri balik saja jika nyasar). Tram di Hong Kong unik, dengan bangku menyamping di lantai bawah, dan bangku biasa menghadap depan di lantai atas. Banyak sekali orang tua yang punya senior citizen card yang naik tram (mungkin karena mereka kesulitan naik MTR) dan mereka pun hanya perlu membayar 1 HKD saja alias 1200 rupiah. Bandingkan dengan mikrolet yang ongkosnya "Dekat, 2 ribu".
Setelah puas berkeliling naik tram (tram-nya juga sempat melewati Happy Valley Racecourse, tempat menonton pacuan kuda, meski hanya lewat depannya saja), hujan turun rintik-rintik. Saya pun menunggu hujan dengan berbelanja di supermarket Wellcome, untuk mencari oleh-oleh. Tak terasa, waktu sudah jam 6 sore, dan sudah waktunya saya kembali ke Tsim Sha Tsui untuk bertemu dengan teman saya yang sudah pulang bekerja.
Menikmati pulau Hong Kong dari Viewing Deck di Public Pier, Kowloon |
Kami sempat mengganti tempat rendez-vous dari Clock Tower menjadi MTR station, dan ternyata, Tsim Sha Tsui MTR station besarnya kira-kira sebesar Tsim Sha Tsui itu sendiri. Kalau tidak percaya coba saja transit dari Tsim Sha Tsui ke East Tsim Sha Tsui. Pindah line di MRT Singapura tidak ada apa-apanya. Saya jadi kasihan dengan orang-orang tua yang harus naik MTR. Pasti capek.
Akhirnya kami pun berhasil bertemu di Exit D, dan langsung menuju Avenue of Stars, meski akhirnya batal karena lagi-lagi hujan turun. Akhirnya kami membeli pork pie dan milk tart di jalan, dan tentunya, pudding milk tea dari Gong Cha, lalu memakannya di hotel sambil ngobrol. Sekitar jam 10 malam saya pun sempat keluar untuk mencari egg balls (yang mirip waffle itu) dan saya.. nyasar. Sungguh bagi saya Tsim Sha Tsui adalah labirin..
Percaya atau tidak, ini adalah sebuah Starbucks |
Keesokan harinya, adalah hari terakhir saya di Hong Kong (karena lusa pagi saya pulang), dan yang saya lakukan adalah: jalan kaki ke public pier di Kowloon, berfoto-foto di viewing deck (meski mendung), lalu naik ferry ke Hong Kong island. Naik ferry ini pun menjadi tujuan wisata sendiri karena sangat unik. Ongkosnya juga kalau tidak salah hanya 3 HKD.
Sebuah gedung di daerah Central |
Di Hong Kong island, saya langsung menuju ke daerah Central untuk mencari sebuah Starbucks di Duddell Street, yang konon unik karena ber-design ala "old Hong Kong coffeshop". Dan ternyata memang sangat unik, meski bagian depannya tetap terasa Starbucks. Sarapan saya pagi itu adalah pineapple bun (yang khas Hong Kong juga, disajikan dengan sepotong butter tebal), dan hot mint mocha.
Seorang anak kecil lucu membawa backpack lebah di Man Mo Temple |
Dari Starbucks itu, saya tidak mau mengakui saya pergi kemana. Oke, saya pergi ke H&M, dan membeli beberapa celana. Oke, lanjut. Dari Queens Street, saya pun berjalan kaki ke daerah Mid-levels lagi (yang di bawah bukit itu) dan pergi ke Man Mo Temple. Untuk masuk ke temple itu gratis, namun tersedia penyewaan audio guide (dengan alat seperti earphone dan media player) seharga 30 HKD. Berhubung uang saya sudah hampir habis (karena H&M), maka saya tidak mengambil audio guide. Man Mo Temple kecil saja namun cukup menarik dan masih didatangi orang-orang untuk bersembahyang.
Dari sana, saya pun pergi ke Lan Kwai Fong, sebuah daerah penuh bar, restoran, dan pub mirip SoHo berbentuk L yang sayangnya di siang hari kurang bagus suasananya. Saya pun tidak berlama-lama dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke Causeway Bay (lagi) untuk melihat Victoria Park, sebuah taman yang jika hari Minggu penuh dengan para TKW asal Indonesia yang piknik disana (saya pun sempat melihat mereka dari bus waktu ke Stanley Market).
Membakar dupa di Man Mo Temple |
Di sekitar Victoria Park pun banyak restoran Indonesia dan dengan mudah kita menjumpai perempuan yang berbahasa Jawa. Bahkan ada seorang perempuan yang duduk dan memegang kotak sumbangan bertuliskan "sumbangan untuk yatim piatu". Saya sempat duduk sebentar di taman tersebut sebelum makan siang (menjelang sore) di sebuah restoran hong kong noodle dan memesan yellow noodle with pork neck and fish balls. Selain dua item tersebut, yang mereka punya adalah pork intestine, bloodcake, dan segala jeroan mengerikan lainnya. Namun hong kong noodle-nya enak.
Victoria Park |
Seorang TKW menjajakan penganan Indonesia di sebuah warung dekat Victoria Park |
Setelah makan, saya kembali ke daerah Tsim Sha Tsui untuk mencari tempat yang saya ingin lihat sebagai pencinta sebuah film Hong Kong berjudul Chungking Express. Film tersebut ber-setting di sebuah gedung tua bernama Chungking Mansions. Maka saya pun mencari Chungking Mansions ini yang berada di dekat sebuah Exit dari MTR station. Chungking Mansions adalah sebuah melting pot dimana kita dapat berjumpa dengan orang dengan ras apapun dan dimana kita dapat menemukan tempat menginap yang paling murah di Hong Kong (meski spartan dan tanpa jendela). Disana pun kita dapat menemukan money changer dengan rate terbaik, dan juga food stalls yang menjual makanan India dan bahkan makanan Nepal.
Chungking Mansions, the melting pot. |
Setelah puas mengambil foto, saya pun kembali ke hotel untuk menaruh barang belanjaan, untuk kemudian keluar lagi untuk pergi ke Wellcome dekat hotel. Kebetulan ada titipan teman yang belum saya temukan di Wellcome sebelumnya.
Jam 7.30 malam, teman saya belum juga pulang, dan akhirnya saya memutuskan untuk pergi sendiri ke Avenue of Stars, karena jam 8 tepat ada laser show disana, dan sepertinya semua turis di Hong Kong berkumpul di tempat itu. Laser show tersebut adalah pertunjukan lampu-lampu dari gedung-gedung yang ada di Hong Kong island yang menyala dan bergerak seirama dengan musik yang mengiringi. Sebuah ide yang sangat brilian (dan pencapaian teknis yang tidak mudah) menurut saya dan terbukti bahwa apapun dapat menjadi tourist attraction di Hong Kong. Namun bagi saya pribadi, pertunjukan tersebut tidak terlalu menarik (mungkin karena musiknya). Malah lebih menarik pameran lukisan yang ada di sepanjang Avenue of Stars tersebut (yang ternyata adalah walk-of-fame meski saya tidak mengenal satupun nama-nama artis Hong Kong yang ada disana).
Pameran lukisan di Avenue of Stars |
Malam pun saya lewati dengan berjalan-jalan di Harbor City dengan teman saya yang akhirnya menyusul, makan gorengan di jalanan di Tsim Sha Tsui, minum Gong Cha (lagi), dan makan beberapa penganan tidak jelas lainnya, sebelum akhirnya kami kecapaian dan pulang.
Dan keesokan harinya pun saya sudah harus kembali ke Jakarta naik penerbangan jam 11 siang. Awalnya saya ingin naik bus ke Airport Express Kowloon station, namun tidak menemukan bus-nya. Mau naik taksi, tidak ada taksi yang mau mengantar ketika saya meminta. Mungkin juga karena kendala bahasa. Akhirnya saya menenteng bawaan saya yang cukup banyak ke MTR station, untuk naik MTR ke Tsing Yi (sempat pindah line sekali), dan pindah lagi ke Airport Express line untuk menuju bandara. Untung saja tidak terlambat.
Pemandangan dari luar jendela ketika pulang dari Hong Kong |
Jujur, sebagai orang keturunan Cina, menjadi tekanan bagi saya karena berwajah Cina namun tidak berbahasa Mandarin ataupun Cantonese. Saya sering tidak dilayani dan seperti dianggap aneh. Meski saya tidak se-frustasi ketika saya ke Vietnam beberapa tahun lalu. Walaupun begitu, tidak ada yang bermaksud jahat ataupun menipu sama sekali. Jadi memang gaya mereka seperti itu dan tidak boleh kita ambil hati. Cepat, efesien, tanpa basa-basi.
Jadi, cita-cita saya adalah, belajar basic Cantonese untuk dapat membeli milk tea di Gong Cha, tanpa membuat 'mbak'-nya bingung.
Saya, di depan Chungking Mansions |
See you again, Hong Kong!