Pagi pertama, setelah sarapan di sebuah restoran di Tsim Sha Tsui (bacon, egg, french toast, and coffee) saya langsung naik MTR menuju Ngong Ping 360 di Tung Chung untuk naik cable car. Ada 2 jenis cable car yang tersedia, yaitu yang standard, dan glass-bottomed. Meski lebih mahal, tentu saja saya memilih yang glass-bottomed (188 HKD). Kapan lagi?
|
Glass-bottom |
Cukup deg-degan juga ketika kereta gantung itu bergerak meninggalkan platform, karena kaki kita hanya menapak pada kaca transparan dan bisa melihat dengan jelas apa yang ada di bawahnya baik itu laut, hutan, bukit, ataupun jalan setapak nature path yang sangat panjang dan yang juga berakhir di Ngong Ping Village. Pemandangan di jendela pun cukup breathtaking. Tapi sebetulnya pengalaman naik cable car saya yang paling berkesan adalah di Genting, Kuala Lumpur, karena cable car yang kita naiki masuk ke dalam kabut dan semua menjadi putih dan siapa yang tahu jika ada monster di luar sana seperti dalam film The Mist..
|
Bird-eye view dari glass-bottomed cable car |
Saya pun sampai di Ngong Ping Village dan atraksi utama disana adalah Giant Buddha, yang memang sangat.. besar. Namun sebetulnya tidak terlalu istimewa. Untuk naik ke Giant Buddha tidak dikenakan tiket. Namun jika ingin masuk ke dalamnya, kita harus membayar 25 HKD. Saran saya sih tidak perlu sampai masuk karena sepertinya tidak ada apa-apa juga.
|
Tiga anak bule di Giant Buddha |
Di sekitar Giant Buddha ada beberapa monastery dan lagi-lagi menurut saya tidak terlalu menarik karena mirip-mirip saja dengan klenteng yang sering saya lihat di Indonesia. Namun itulah bedanya Indonesia dengan Hong Kong ataupun Singapura. Tourism board mereka sangat pandai mengemas objek-objek wisatanya sehingga yang biasa-biasa pun menjadi sangat menarik dan ramai dikunjungi. Coba saja kita bayangkan bila ada cable car di... Dieng Plateau misalnya. Wah!
|
Sebuah kafe di Stanley Market |
Saya pun tidak berlama-lama dan harus merelakan untuk tidak berbelanja di Tung Chung mall yang sangat terkenal sebagai surga belanja karena adalah pusat outlet di Hong Kong dimana kita dapat membeli banyak pakaian, sepatu, atau tas bermerk dengan harga miring. Padahal harga barang di pusat kotanya pun sudah lebih murah jika dibandingkan dengan Singapura atau Jakarta.
|
Stanley Waterfront Mart |
Setelah makan siang (menjelang sore) di Food Republic (saya memesan baked rice with pork chop and fish yang ternyata adalah makanan khas Macau), saya meninggalkan Tung Chung di Lantau Island menuju Stanley Market di ujung selatan pulau Hong Kong dengan menggunakan bus nomor 6X dari sekitar Causeway Bay (karena tidak ada MTR menuju Stanley Market). Bus ternyata melewati Ocean Park dan kita dapat melihat roller coaster-nya yang terletak di atas bukit. Sebelum sampai di Stanley Plaza, bus juga bergerak menyusuri pantai dan banyak turis dan penduduk yang berjemur dan berenang di pantai yang tenang tanpa ombak.
|
Sebuah pojok di Stanley Market |
Kawasan Stanley Market awalnya hanyalah sebuah pasar dimana kita dapat membeli segala macam barang mulai dari pakaian, barang antik, lukisan, aksesoris, dan lainnya. Tentu saja dengan sistem tawar-menawar. Namun karena letaknya yang di pinggir pantai, akhirnya bermunculan pub dan bar di kawasan itu dan juga Stanley Plaza yang terbuka dan mempunyai banyak restoran dan juga ice cream stall. Suasananya begitu hidup dan laid back dan sepertinya menjadi tujuan favorit Hongkongers untuk berlibur. Sayangnya saya tidak sempat untuk masuk ke dalam Murray House, sebuah gedung bersejarah bergaya Victoria, yang direlokasi dari wilayah Central Hong Kong.
|
Bagian depan Stanley Market |
Menjelang malam, saya pun kembali ke pusat kota Hong Kong dan menjelajah daerah Mid-levels. Daerah Mid-levels adalah daerah yang berkontur menanjak di antara pusat kota dan Victoria Peak. Yang paling menarik dari daerah ini adalah adanya moda transportasi berupa eskalator sambung menyambung (baik mendatar atapun menanjak) yang adalah rangkaian eskalator terpanjang di dunia. Kita dapat keluar di tengah-tengah dan menyusuri jalan yang bersilangan dengan eskalator, dan di kiri kanan terdapat banyak pub dan restoran berkelas yang menyajikan haute cuisine dan dipenuhi para bule. Jika saja tidak ada huruf-huruf Cina dimana-mana, rasanya seperti tidak berada di Hong Kong lagi namun di sebuah kota di Eropa. Meskipun saya belum pernah ke Eropa.
|
Jajanan di Mid-levels |
|
Tidak ada tempat di dalam pub? Tidak masalah. Duduk sambil minum di trotoar. |
Jalan yang terkenal yang dilewati Mid-level Escalator adalah Hollywood Road dan SoHo (south of Hollywood) dimana seorang teman saya menunjukkan sebuah restoran hong kong noodle terkenal yang mendapat Michelin star. Saya pun makan disana dan memesan yellow noodle dengan beef dan fish ball yang memang sangat enak dan harganya pun hanya 26 HKD.
|
Mid-levels Escalators |
Menjelang tengah malam saya pun kembali ke daerah Tsim Sha Tsui, dan kembali minum milk tea dari Gong Cha, dan juga mencoba sebuah penganan khas Hong Kong, yaitu waffle yang bulat-bulat dan tergulung dan disebut egg balls, dan juga sebuah mango tart dari Maxim's Cake (yang selalu ada di semua stasiun MTR). Hong Kong adalah surga bagi pencinta mangga karena mangga tersedia sepanjang tahun dan kualitasnya pun sangat baik. Saya ingin sekali mencoba mango cake bundar seloyang dan sepenuhnya tertutup oleh lembaran-lembaran (bukan potongan) mangga. Hm...
|
Mengambil taksi di SoHo |
Keesokannya (hari Senin), saya harus berpegian sendirian karena teman saya harus bekerja. Dan saya pun memutuskan untuk pergi ke Macau setelah menyantap milk tart di jalan sebagai sarapan. Untuk ke Macau, kita dapat mengambil ferry dari Sheung Wan. Dan ferry terminal-nya pun menyatu dengan MTR station, sesuatu yang muskil terjadi di Indonesia, dimana tidak ada integrasi apapun antar moda transportasi.
|
Michelin star hong kong noodle |
|
Vespa, hidran, dan sebuah cafe pinggir jalan. |
Saya pun memesan tiket return (291 HKD) dan memilih tiket pulang jam 3 sore dari Macau (karena saya berpikir tidak akan melihat show ataupun berjudi di casino). Sebuah keputusan yang saya sesali kemudian karena saya tidak menyangka Macau semenarik itu. Macau adalah sebuah kota yang sangat aneh menurut saya dan sangat berbeda dengan kota metropolis biasa dan banyak sekali yang dapat dilihat. Dan selalu terdapat signage dalam bahasa Portugis meskipun saya tidak pernah mendengar sekalipun ada orang yang berbahasa Portugis disana.
|
TurboJet ferry dari Hong Kong ke Macau |
|
Pintu masuk menuju Ruines of St. Paul |
Perjalanan laut ke Macau hanya memakan waktu 1 jam dan di terminal ferry di Macau kita dapat mengambil peta di visitor center dan bertanya-tanya ke petugasnya yang dapat berbahasa Inggris. Mayoritas pengunjung akan mengambil bus nomor 3 (3.10 MOP) dan menuju Ruines of St. Paul dan sekitarnya, termasuk saya. Kita dapat menggunakan HKD di Macau (yang nilainya sedikit lebih tinggi dari MOP, kira-kira 100 HKD = 109 MOP). Namun jika kita membeli sesuatu yang mahal, ada baiknya menukar HKD dengan MOP karena selisihnya terasa.
|
Ruines of St. Paul |
|
Cathedral |
Sesampainya di Rua de Sao Paulo, semua turis pun turun dari bus. Dan mulailah saya menyusuri jalan yang tidak boleh dilalui mobil itu sampai ke Ruines of St. Paul, sisa reruntuhan gereja St. Paul yang terbakar pada tahun 1835 dan hanya menyisakan sebuah tembok di bagian selatan. Sialnya, hari itu mendung dan hujan pun turun. Turis-turis lari berteduh dan membeli payung. Saya tidak memotret terlalu banyak karena takut terkena air dan akhirnya saya menyusuri pinggir-pinggir dari koridor-koridor di dekat kompleks itu yang terlindung dari air. Dan saya pun masuk ke sebuah cafe Portuguese kecil dan memesan caldo verde (sup kentang) dan cafe late sambil menunggu hujan. Sebelumnya, saya juga sempat membeli dendeng pesanan teman di Pasteleria
Kei Koi yang banyak terdapat di jalan kecil menuju St. Paul. Ternyata
memang dendeng adalah oleh-oleh Macau yang paling terkenal. Dan juga
menyantap pork burger dan tentunya, portuguese egg tart.
|
Silencio! |
Beberapa gereja yang ada di Macau juga sangat menarik dan terbuka untuk umum meskipun ada bagian-bagian yang tidak boleh kita masuki, kecuali jika memang ingin berdoa. Ternyata memang ada orang keturunan Portugis (atau campuran Cina-Portugis) di Macau yang dinamakan ras Macanese, dan mereka berbahasa Portugis dan beragama Katholik atau Protestan.
|
La Bonne Heure, Macau |
Satu hal yang juga mejadi perhatian saya adalah di pusat kota Macau itu terdapat banyak sekali bunga segar yang sepertinya diganti secara rutin oleh petugas pertamanan kota. Landscape kota pun menjadi penuh bunga berwarna-warni dan lampu-lampu taman yang digunakan untuk menerangi jalan.
|
Petugas pertamanan kota Macau |
Tidak terasa, waktu saya pun hampir habis dan saya berjalan menyusuri jalan utama menuju halte bus yang ada di tengah-tengah persimpangan besar yang terdapat banyak kasino dan kembali ke ferry terminal untuk pulang ke Hong Kong. Lain waktu, saya akan mengunjungi Macao kembali untuk melihat show cirque du soleil dan mungkin mengunjungi kasino-kasino disana yang pastinya sangat menarik untuk dikunjungi di malam hari.
|
Sebuah kasino di Macau |
masih bersambung..