A media for recording my trips, my thoughts, my reviews, and my everyday life.
Sunday, November 30, 2008
Babi Buta yang Ingin Terbang
Babi Buta secara singkat bercerita tentang bagaimana rasanya menjadi orang Cina di Indonesia. Tanpa struktur yang jelas dan cerita berpindah-pindah dari masa kecil Linda (Ladya Cheryl), masa dewasa, dan diselingi dengan gambaran metafora seekor babi yang diikat ke sebuah batang pohon.
Begitu banyak yang bisa kita diskusikan mengenai film ini. Termasuk adegan disturbing oleh Joko Anwar, Pong Harjatmo, dan Wicaksono. Adegan apa itu, lebih baik ditonton sendiri. Hampir pasti, film ini tidak akan pernah diputar di bioskop di Indonesia (selain Kineforum tentunya). Selain muatan politis yang sangat berani, juga karena adegan disturbing itu tadi.
Cerita berjalan dengan subtle dan minim dialog. Sejak adegan pembuka yang berupa pertandingan internasional bulu tangkis Indonesia lawan China dengan angle statis dan hampir slow motion tanpa suara (hanya suara raket saja yang kita dengar), kita tahu bahwa ini bukan film Indonesia pada umumnya. Apalagi setelah mendengar dialog komentar seorang anak yang sedang menonton pertandingan itu: "Yang Indonesia yang mana?".
Sebuah lagu dari Stevie Wonder yang dinyanyikan ulang oleh Ramondo Gascaro dari Sore, diputar terus menerus sepanjang film ini. Mungkin saya perlu menyelidiki lebih jauh liriknya ( Saya baru saja ingin menelepon untuk bilang saya cinta kamu.. ) untuk menemukan hubungannya dengan cerita.
Awalnya saya tidak menyadari arti dari judul film ini. Namun Babi Buta itu paling mungkin mengacu pada karakter Halim (Pong Harjatmo) yang buta karena mengoperasi sendiri matanya agar terlihat lebih lebar, dan bermimpi untuk mendapatkan Green Card Lottery agar bisa terbang ke Amerika.
Ibunya, Verawati (pemain bulu tangkis di adegan pembuka tadi), pasrah saja dengan kondisinya. Ia berhenti bermain karena kehilangan identitas sebagai pemain Indonesia. Sehari-hari hanya membuat pangsit saja di rumah.
Namun Linda (Ladya Cheryl) tidak ambil pusing dengan keadaan orang tuanya. Ia lebih suka bermain petasan dengan temannya, Cahyono, seorang Jepang-Menado yang suka dipukuli teman-teman sekolahnya, hanya karena dia mirip orang Cina. Dan juga mengobrol dengan Opanya sambil bermain biliar.
Awalnya saya kurang mengerti arti dan tujuan dari adegan disturbing yang saya sebut di awal, termasuk seluruh subplot tentang Helmi dan Yahya. Namun ternyata adegan itu (dan karakter Helmi dan Yahya) cukup krusial dan menjadi metaphora dari keadaan yang sesungguhnya.
Babi Buta mengangkat isu-isu sensitif ke permukaan, tanpa menjadi terlalu politis. Namun ini bukan untuk penonton Indonesia pada umumnya. Saya rasa, Babi Buta lebih cocok ditonton oleh filmmaker-filmmaker lokal sebagai acuan bagaimana caranya mengangkat tema yang personal dan sensitif menjadi sebuah cerita yang menarik dan memiliki nilai estetis yang tinggi, lalu mengemasnya menjadi film yang lebih public friendly.
Babi Buta, salah satu film Indonesia terpenting yang pernah dibuat.
Bravo, Edwin!
Babi Buta yang Ingin Terbang
Sabtu, 22 November 2008
Kineforum, TIM
Tuesday, November 25, 2008
Bali Komodo Part 3: Berpetualang di Taman Jurassic
Pagi itu kami mendapat sarapan pagi dari hotel (saya rasa di Dua Dara kemarin juga seharusnya kami dapat sarapan. Sayangnya saya tidak minta). Setangkup roti panggang, kopi, teh, dan segelas besar jus (entah jus apa). Kurang lebih sama dengan yang ditawarkan hotel berbintang, namun dengan penyajian yang ala kadarnya.
Selesai makan, kami tersadar bahwa kami harus sampai di airport saat itu juga, padahal kami masih di Ubud (OK, sedikit berlebihan). Kami langsung check-out dan ngebut ke arah Denpasar. Ketegangan melanda kami semua dan perut saya sakit akibat jus tidak jelas tadi. Kami semua duduk terdiam di mobil sambil harap-harap cemas. Mudah-mudahan tidak nyasar lagi.
Untungnya, berkat bantuan peta dan pengalaman jalan pergi kemarin, kami bisa sampai airport tepat pada waktunya, yaitu 15 menit sebelum pesawat lepas landas. Setelah saya menyelesaikan urusan dengan perut di toilet airport yang tidak bisa di-flush, saya langsung menghampiri yang lain dan bergegas menuju ruang terminal. Semua dilakukan dengan sangat cepat dan tiba-tiba kami sudah duduk berhadap-hadapan di dalam bus airport menuju pesawat.
Saya mengira pesawat Merpati itu kecil. Ternyata memang kecil. Namun penerbangan sangat mulus (bahkan lebih mulus dari penerbangan Air Asia dari Jakarta). Dan kami bisa melihat keindahan Bali, Lombok, dan Flores dari udara.
Setelah mendarat di Bandara Komodo (ya, namanya memang itu), kami langsung disambut oleh tukang bemo (sebutan untuk angkot) dan tukang-tukang lainnya yang menggedor-gedor kaca ruang kedatangan. Kami merasa terancam! Walaupun saya juga agak merasa seperti selebritis yang disambut wartawan.
Kami pun memberanikan diri untuk menerobos orang-orang itu, lalu ke parkiran untuk negosiasi langsung dengan tukang bemo yang berdiri di samping bemonya. Setelah menawar, akhirnya mereka (supir dan keneknya) bersedia mengantar kami berenam ke pelabuhan dengan ongkos 30ribu.
Pelabuhan di Labuanbajo cukup bagus dengan pemandangan indah ke laut lepas dengan dua dermaga panjang. Kami berjalan menyusuri dermaga sambil mencoba menawar perahu untuk mengantar kami ke Pulau Rinca dan Komodo. Setelah diskusi yang alot dengan seorang awak kapal berbahasa Inggris (memangnya kita di luar negeri?), akhirnya kita diselamatkan oleh yang nantinya akan menjadi kapten kapal kita tercinta, Pak Manjailing, atau akrabnya dipanggil Pak Iling, atau kalau mau lebih akrab lagi: Cap.
Pak Iling bersedia mengantar kami ke Pulau Rinca dan Komodo selama 2 hari 1 malam dengan tarif 1,5 juta termasuk makan malam dan menginap di atas kapal. Cukup pas dengan budget yang kami anggarkan, sekitar 250ribu per orang.
Kami memberi uang 200ribu ke Pak Iling untuk membeli bahan-bahan makanan untuk makan malam kami nanti, dan kami menunggu sambil makan siang di restoran di depan pelabuhan. Di restoran itu, mungkin saya makan ayam goreng terenak yang pernah saya makan.
Jam 1 tepat kami kembali ke pelabuhan dan Pak Iling sudah siap untuk berangkat dan sudah membeli bahan makanan. Kami pun naik ke perahu dan berangkat menuju Pulau Rinca. Kira-kira 3 jam dari Labuanbajo.
Perahu Pak Iling kecil dan sederhana, tapi sangat menyenangkan. Ombak tidak terlalu besar dan angin sepoi-sepoi menerpa wajah kami sambil menikmati pemandangan laut dan pulau-pulau. Sepanjang perjalanan, tidak pernah kami berada di laut lepas tanpa pulau disamping. Selalu ada pulau di kanan atau kiri. Itu membuat kami merasa aman dan membuat pemandangan tidak membosankan.
Setelah puas berjemur di atas perahu Pak Iling, kami sampai di Loh Buaya, Pulau Rinca. Perlu Anda ketahui, Taman Nasional Komodo adalah taman nasional termahal di Indonesia. Satu orang untuk 3 hari kunjungan akan dikenakan biaya sebesar 87ribu belum termasuk biaya untuk Medium atau Long trek. Jadi total lebih dari 100ribu hanya untuk tiket masuk.
Kami sangat beruntung karena mendapat ranger yang gaul dan asyik yaitu Ivan yang ternyata adalah mahasiswa pariwisata di Bandung yang sedang magang menjadi Ranger Komodo. Ivan memperlihatkan kita komodo yang sedang pesta kerbau dan bahkan mengijinkan kita untuk memeluk salah satu komodo. Atau lebih tepatnya, menyentuh dengan ujung jari.
Menjelang sore, hujan turun rintik-rintik, namun dengan volume konstan dan terus-menerus. Akhirnya baju dan kamera kami basah. Untung saja tertolong dengan pepohonan yang rimbun (walaupun di beberapa tempat, tidak ada pohon sama sekali). Namun begitu kami tetap bersemangat (malah lebih bersemangat) untuk menjelajah Rinca dan foto-foto, meski ada resiko kamera kami rusak. Handycam saya pun sudah terkena tetes-tetes air.
Setelah puas menjelajah dan menikmati matahari tenggelam, kami pun kembali ke arah Loh Buaya. Di malam hari komodo-komodo bersembunyi sehingga kami tidak melihat lagi. Sekarang giliran nyamuk-nyamuk sebesar komodo yang keluar. OK, berlebihan. Namun nyamuk disana sangat ganas dan membawa virus malaria. Akhirnya kami terus menerus menyemprot Off!, sebuah merk obat anti nyamuk untuk militer yang dibawa teman kami Joni dari Singapura. Sepanjang perjalanan kami di Flores, bau yang kami ingat adalah bau Off! ini.
Sampai di Loh Buaya, hari sudah betul-betul gelap, dan Pak Iling sudah menunggu di dermaga kecil itu. Kami langsung naik ke perahu dan ganti baju. Asisten Pak Iling yang saya lupa namanya juga menyiapkan teh manis untuk kami minum. Ivan dan beberapa orang lain pergi memancing di dermaga, di samping perahu kami.
Tak lama kemudian, makan malam dihidangkan dan kami pun makan dengan cukup lahap. Menu malam itu (yang dimasak Pak Iling dan asistennya) adalah ikan asam manis, sayuran seperti urap, dan indomie, dengan makanan penutup berupa pisang berwarna hijau.
Setelah selesai makan, kami mengobrol dengan Ivan dan yang lainnya di dermaga, sampai Pak Iling memberi tanda bahwa jangkar mau diangkat. Ternyata, kami tidak tidur menepi di Pulau Rinca, namun sekitar 100meter dari pulau. Atau dengan kata lain, di tengah lautan.
Pak Iling menyingkirkan bangku ke samping, lalu menggelar kasur di tengah perahu. Lengkap dengan selimut dan bantal. Sebelum tidur, kami minum bir yang kami beli dengan harga mahal di Loh Buaya. Sambil bercerita, bergosip, dan membuat pengakuan.
Sekitar tengah malam, kami pun terlelap.
Besok: Akhirnya, Pulau Komodo.
Selesai makan, kami tersadar bahwa kami harus sampai di airport saat itu juga, padahal kami masih di Ubud (OK, sedikit berlebihan). Kami langsung check-out dan ngebut ke arah Denpasar. Ketegangan melanda kami semua dan perut saya sakit akibat jus tidak jelas tadi. Kami semua duduk terdiam di mobil sambil harap-harap cemas. Mudah-mudahan tidak nyasar lagi.
Untungnya, berkat bantuan peta dan pengalaman jalan pergi kemarin, kami bisa sampai airport tepat pada waktunya, yaitu 15 menit sebelum pesawat lepas landas. Setelah saya menyelesaikan urusan dengan perut di toilet airport yang tidak bisa di-flush, saya langsung menghampiri yang lain dan bergegas menuju ruang terminal. Semua dilakukan dengan sangat cepat dan tiba-tiba kami sudah duduk berhadap-hadapan di dalam bus airport menuju pesawat.
Saya mengira pesawat Merpati itu kecil. Ternyata memang kecil. Namun penerbangan sangat mulus (bahkan lebih mulus dari penerbangan Air Asia dari Jakarta). Dan kami bisa melihat keindahan Bali, Lombok, dan Flores dari udara.
Setelah mendarat di Bandara Komodo (ya, namanya memang itu), kami langsung disambut oleh tukang bemo (sebutan untuk angkot) dan tukang-tukang lainnya yang menggedor-gedor kaca ruang kedatangan. Kami merasa terancam! Walaupun saya juga agak merasa seperti selebritis yang disambut wartawan.
Kami pun memberanikan diri untuk menerobos orang-orang itu, lalu ke parkiran untuk negosiasi langsung dengan tukang bemo yang berdiri di samping bemonya. Setelah menawar, akhirnya mereka (supir dan keneknya) bersedia mengantar kami berenam ke pelabuhan dengan ongkos 30ribu.
Pelabuhan di Labuanbajo cukup bagus dengan pemandangan indah ke laut lepas dengan dua dermaga panjang. Kami berjalan menyusuri dermaga sambil mencoba menawar perahu untuk mengantar kami ke Pulau Rinca dan Komodo. Setelah diskusi yang alot dengan seorang awak kapal berbahasa Inggris (memangnya kita di luar negeri?), akhirnya kita diselamatkan oleh yang nantinya akan menjadi kapten kapal kita tercinta, Pak Manjailing, atau akrabnya dipanggil Pak Iling, atau kalau mau lebih akrab lagi: Cap.
Pak Iling bersedia mengantar kami ke Pulau Rinca dan Komodo selama 2 hari 1 malam dengan tarif 1,5 juta termasuk makan malam dan menginap di atas kapal. Cukup pas dengan budget yang kami anggarkan, sekitar 250ribu per orang.
Kami memberi uang 200ribu ke Pak Iling untuk membeli bahan-bahan makanan untuk makan malam kami nanti, dan kami menunggu sambil makan siang di restoran di depan pelabuhan. Di restoran itu, mungkin saya makan ayam goreng terenak yang pernah saya makan.
Jam 1 tepat kami kembali ke pelabuhan dan Pak Iling sudah siap untuk berangkat dan sudah membeli bahan makanan. Kami pun naik ke perahu dan berangkat menuju Pulau Rinca. Kira-kira 3 jam dari Labuanbajo.
Perahu Pak Iling kecil dan sederhana, tapi sangat menyenangkan. Ombak tidak terlalu besar dan angin sepoi-sepoi menerpa wajah kami sambil menikmati pemandangan laut dan pulau-pulau. Sepanjang perjalanan, tidak pernah kami berada di laut lepas tanpa pulau disamping. Selalu ada pulau di kanan atau kiri. Itu membuat kami merasa aman dan membuat pemandangan tidak membosankan.
Setelah puas berjemur di atas perahu Pak Iling, kami sampai di Loh Buaya, Pulau Rinca. Perlu Anda ketahui, Taman Nasional Komodo adalah taman nasional termahal di Indonesia. Satu orang untuk 3 hari kunjungan akan dikenakan biaya sebesar 87ribu belum termasuk biaya untuk Medium atau Long trek. Jadi total lebih dari 100ribu hanya untuk tiket masuk.
Kami sangat beruntung karena mendapat ranger yang gaul dan asyik yaitu Ivan yang ternyata adalah mahasiswa pariwisata di Bandung yang sedang magang menjadi Ranger Komodo. Ivan memperlihatkan kita komodo yang sedang pesta kerbau dan bahkan mengijinkan kita untuk memeluk salah satu komodo. Atau lebih tepatnya, menyentuh dengan ujung jari.
Menjelang sore, hujan turun rintik-rintik, namun dengan volume konstan dan terus-menerus. Akhirnya baju dan kamera kami basah. Untung saja tertolong dengan pepohonan yang rimbun (walaupun di beberapa tempat, tidak ada pohon sama sekali). Namun begitu kami tetap bersemangat (malah lebih bersemangat) untuk menjelajah Rinca dan foto-foto, meski ada resiko kamera kami rusak. Handycam saya pun sudah terkena tetes-tetes air.
Setelah puas menjelajah dan menikmati matahari tenggelam, kami pun kembali ke arah Loh Buaya. Di malam hari komodo-komodo bersembunyi sehingga kami tidak melihat lagi. Sekarang giliran nyamuk-nyamuk sebesar komodo yang keluar. OK, berlebihan. Namun nyamuk disana sangat ganas dan membawa virus malaria. Akhirnya kami terus menerus menyemprot Off!, sebuah merk obat anti nyamuk untuk militer yang dibawa teman kami Joni dari Singapura. Sepanjang perjalanan kami di Flores, bau yang kami ingat adalah bau Off! ini.
Sampai di Loh Buaya, hari sudah betul-betul gelap, dan Pak Iling sudah menunggu di dermaga kecil itu. Kami langsung naik ke perahu dan ganti baju. Asisten Pak Iling yang saya lupa namanya juga menyiapkan teh manis untuk kami minum. Ivan dan beberapa orang lain pergi memancing di dermaga, di samping perahu kami.
Tak lama kemudian, makan malam dihidangkan dan kami pun makan dengan cukup lahap. Menu malam itu (yang dimasak Pak Iling dan asistennya) adalah ikan asam manis, sayuran seperti urap, dan indomie, dengan makanan penutup berupa pisang berwarna hijau.
Setelah selesai makan, kami mengobrol dengan Ivan dan yang lainnya di dermaga, sampai Pak Iling memberi tanda bahwa jangkar mau diangkat. Ternyata, kami tidak tidur menepi di Pulau Rinca, namun sekitar 100meter dari pulau. Atau dengan kata lain, di tengah lautan.
Pak Iling menyingkirkan bangku ke samping, lalu menggelar kasur di tengah perahu. Lengkap dengan selimut dan bantal. Sebelum tidur, kami minum bir yang kami beli dengan harga mahal di Loh Buaya. Sambil bercerita, bergosip, dan membuat pengakuan.
Sekitar tengah malam, kami pun terlelap.
Besok: Akhirnya, Pulau Komodo.
Tuesday, November 18, 2008
First Mobile Post
Hi everyone!
This is my first mobile blogging post. I just noticed that blogger has this kind of feature and I thought it's really cool.
Well, actually, I just got this new smartphone, Samsung i600, and I want to make use of it. I know I still owe you guys Bali Komodo Part 3 and 4, but I promise I'll write those as soon as I can.
Right now, 11.21pm at night, I'm on my bed after long hours at work. I'm rendering my Komodo video with my computer (most likely I will fall asleep before it's done, so I'll set the timer), and I want to read State of Fear by the late Michael Crichton on this smartphone. Maybe a chapter until I'm too sleepy to read.
Nighty night.
This is my first mobile blogging post. I just noticed that blogger has this kind of feature and I thought it's really cool.
Well, actually, I just got this new smartphone, Samsung i600, and I want to make use of it. I know I still owe you guys Bali Komodo Part 3 and 4, but I promise I'll write those as soon as I can.
Right now, 11.21pm at night, I'm on my bed after long hours at work. I'm rendering my Komodo video with my computer (most likely I will fall asleep before it's done, so I'll set the timer), and I want to read State of Fear by the late Michael Crichton on this smartphone. Maybe a chapter until I'm too sleepy to read.
Nighty night.
Monday, November 10, 2008
Laporan dari Pembukaan FFPK 2008
Saya datang cukup telat, sekitar jam 7.20 dari yang seharusnya jam 6.30 sore. Sudah telat, salah masuk pula. Saya malah masuk ke TIM 21. Saya lupa bahwa Kineforum mempunyai lobinya sendiri. Akhirnya saya keluar lagi dan melihat ke sebelah kiri dan baru terlihat keramaian yang saya cari, lengkap dengan meja tamu untuk tanda tangan dan ambil buku acara.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, si penjaga meja tamu agak terkesiap ketika saya bilang saya adalah peserta. Mungkin penampilan saya bukan penampilan peserta pada umumnya. Setelah tanda tangan, saya diberi nametag keren dan buku acara.
Saya pun langsung masuk ke dalam. Tadinya saya berharap acara ngaret dan baru dimulai. Tapi sepertinya cukup tepat waktu juga, dan ketika saya masuk ke dalam ruang pemutaran (bukan Studio 1 TIM, namun ruangan di sebelahnya), lampu sudah dimatikan, tandanya kata-kata sambutan panitia, juri, dan juga celotehan MC sudah berakhir.
Setelah saya duduk, di layar projeksi sedang diputar klip FFPK 2008 yang berisi potongan-potongan adegan dari film-film yang lolos seleksi diiringi lagu yang sungguh menyenangkan, dan tulisan-tulisan penjelasan tentang festival. Yang membuat saya bangga adalah ketika melihat footage dari in3cities pada klip itu. Saya merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar. Dua adegan yang diambil adalah:
Aneh juga sebetulnya mengapa lampu-lampu out of focus itu diambil. Tapi cukup pas dengan lagu dan gambar yang lainnya.
Setelah pemutaran klip itu (yang pasti akan diputar di setiap program pemutaran), kita diperlihatkan dua film pembuka, yaitu Ben, dan LASTRI, apa sing kowe goleti?. Ben adalah film yang agak aneh karena hanya berupa potongan video yang diperlambat sampai hampir diam, lalu ditambahkan voice over. Sedangkan Lastri adalah film Yogyakarta yang bercerita tentang seorang istri yang ingin pergi menjadi TKI di luar negeri, namun dilarang oleh suaminya.
Sejujurnya saya kurang menyukai keduanya, walaupun Lastri digarap dengan teknis yang sungguh baik dan akting yang natural dengan dialog sepenuhnya dalam bahasa Jawa. Namun masih terlalu pop dalam arti mengikuti cara-cara bercerita arus utama dan juga penggunaan musik yang kurang pas.
Setelah film pembuka diputar, tiba-tiba lampu dinyalakan dan acara pun selesai. Seorang usher menyapa saya dan memberitahu bahwa di belakang ada snack dan minuman. Saya pun mengucapkan terima kasih lalu berpapasan dengan Nia di Nata, yang cukup membuat saya salut karena dia mendukung film pendek kita. Riri Riza yang filmnya diputar saja tidak terlihat.
Ketika saya berjalan keluar, tiba-tiba ada seorang perempuan panitia yang memanggil saya lalu berkata, "Mas peserta kan? Boleh kita wawancara sebentar?". Ketika itu, sedang ada peserta lain yang sedang diwawancara (lengkap dengan kamera video dan lampu), sehingga saya harus menunggu sejenak.
Jika saya tidak salah ingat, ini adalah kali pertama saya diwawancara (selain wawancara kerja tentunya). Pertanyaannya berkisar antara: bagaimana perasaannya setelah filmnya lolos kali ini? (senang), apa pendapatnya tentang acara pembukaan? (maaf, saya telat), dan apa pendapat Anda tentang film pendek Indonesia (mungkin ada baiknya jika FFPK adalah bagian dari Jiffest).
Setelah wawancara, saya pun mengambil snack (air putih dan kue basah yang saya tidak tahu namanya), makan sambil melihat-lihat pengunjung lain, lalu pulang.
Mudah-mudahan besok seramai, atau kalau bisa, lebih ramai lagi dari ini.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, si penjaga meja tamu agak terkesiap ketika saya bilang saya adalah peserta. Mungkin penampilan saya bukan penampilan peserta pada umumnya. Setelah tanda tangan, saya diberi nametag keren dan buku acara.
Saya pun langsung masuk ke dalam. Tadinya saya berharap acara ngaret dan baru dimulai. Tapi sepertinya cukup tepat waktu juga, dan ketika saya masuk ke dalam ruang pemutaran (bukan Studio 1 TIM, namun ruangan di sebelahnya), lampu sudah dimatikan, tandanya kata-kata sambutan panitia, juri, dan juga celotehan MC sudah berakhir.
Setelah saya duduk, di layar projeksi sedang diputar klip FFPK 2008 yang berisi potongan-potongan adegan dari film-film yang lolos seleksi diiringi lagu yang sungguh menyenangkan, dan tulisan-tulisan penjelasan tentang festival. Yang membuat saya bangga adalah ketika melihat footage dari in3cities pada klip itu. Saya merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar. Dua adegan yang diambil adalah:
Aneh juga sebetulnya mengapa lampu-lampu out of focus itu diambil. Tapi cukup pas dengan lagu dan gambar yang lainnya.
Setelah pemutaran klip itu (yang pasti akan diputar di setiap program pemutaran), kita diperlihatkan dua film pembuka, yaitu Ben, dan LASTRI, apa sing kowe goleti?. Ben adalah film yang agak aneh karena hanya berupa potongan video yang diperlambat sampai hampir diam, lalu ditambahkan voice over. Sedangkan Lastri adalah film Yogyakarta yang bercerita tentang seorang istri yang ingin pergi menjadi TKI di luar negeri, namun dilarang oleh suaminya.
Sejujurnya saya kurang menyukai keduanya, walaupun Lastri digarap dengan teknis yang sungguh baik dan akting yang natural dengan dialog sepenuhnya dalam bahasa Jawa. Namun masih terlalu pop dalam arti mengikuti cara-cara bercerita arus utama dan juga penggunaan musik yang kurang pas.
Setelah film pembuka diputar, tiba-tiba lampu dinyalakan dan acara pun selesai. Seorang usher menyapa saya dan memberitahu bahwa di belakang ada snack dan minuman. Saya pun mengucapkan terima kasih lalu berpapasan dengan Nia di Nata, yang cukup membuat saya salut karena dia mendukung film pendek kita. Riri Riza yang filmnya diputar saja tidak terlihat.
Ketika saya berjalan keluar, tiba-tiba ada seorang perempuan panitia yang memanggil saya lalu berkata, "Mas peserta kan? Boleh kita wawancara sebentar?". Ketika itu, sedang ada peserta lain yang sedang diwawancara (lengkap dengan kamera video dan lampu), sehingga saya harus menunggu sejenak.
Jika saya tidak salah ingat, ini adalah kali pertama saya diwawancara (selain wawancara kerja tentunya). Pertanyaannya berkisar antara: bagaimana perasaannya setelah filmnya lolos kali ini? (senang), apa pendapatnya tentang acara pembukaan? (maaf, saya telat), dan apa pendapat Anda tentang film pendek Indonesia (mungkin ada baiknya jika FFPK adalah bagian dari Jiffest).
Setelah wawancara, saya pun mengambil snack (air putih dan kue basah yang saya tidak tahu namanya), makan sambil melihat-lihat pengunjung lain, lalu pulang.
Mudah-mudahan besok seramai, atau kalau bisa, lebih ramai lagi dari ini.
Sunday, November 9, 2008
Gara-Gara Judi Bola
Tiba-tiba saja, Kalyana Shira mempunyai divisi bernama Happy Ending Pictures (yang mudah-mudahan film-filmnya tidak berakhir bahagia semua). Ok, mungkin tidak tiba-tiba. Tapi apakah perlu sampai membuat label baru untuk jenis film-film yang berbeda? Mungkin ya mungkin tidak.
Happy Ending Pictures memulai debutnya dengan Gara-Gara Bola, sebuah film yang, percayalah, sama sekali bukan tentang sepak bola. Perlu dipertanyakan juga, apa yang menyebabkan judul itu dipilih dan mengapa design judulnya mengikuti logo tabloid Bola.
Namun yang paling menyesatkan tentu adalah posternya. Saya yakin, semua penonton yang menonton film ini karena terpancing posternya, akan kecewa. Mereka pasti berharap menonton film semacam Bend It Like Beckham atau malah mungkin Shaolin Soccer versi Indonesia. Namun adegan lapangan hijau yang mereka dapatkan hanyalah pada adegan pembuka yang kurang signifikan.
Selebihnya? Tidak jauh-jauh dari uang, judi, banci, dan tentunya, sex. Namun apakah berarti Gara-Gara Bola film yang tidak berhasil? Tidak juga.
Cerita berputar di sekitar Heru (Junot) dimana dia tiba-tiba mempunyai hutang dua puluh juta karena kebodohan sobatnya, Ahmad (Winky). Lalu, dia terlibat hubungan cinta yang panas dengan anak dari bos mafia perjudian. Belum lagi dia dipecat oleh manager-nya di Bakmi Yona (yang suka menilep keuntungan jual bakmi untuk membuat album dangdut) karena jarang masuk kerja dan sering kasbon untuk bayar kos. Padahal, ayah Heru adalah pemegang saham Bakmi Yona.
Timeline yang hanya satu hari (mungkin kurang) dan dengan flashback-flashback yang singkat dan tiba-tiba, membuat film ini mempunyai ritme yang berbeda dibanding kebanyakan film lokal saat ini. Namun di bagian-bagian tertentu, film ini kurang bertutur dengan baik, seperti ketika memberi flashback pada adegan pencurian. Efeknya tidak terasa seperti ketika menonton Ocean's 11, tetapi hanya, lho, bukannya tadi memang begitu?
Pengaruh Joko Anwar kental sekali di film ini, termasuk ciri khas-nya seperti di permulaan film: "Ada tiga tipe penggemar bola. Yang suka main, suka nonton, dan suka judi bola". Sebetulnya lama-lama bosan juga dengan pengulangan seperti ini.
Winky dan Junot bermain cukup bagus. Terutama Winky dengan gaya rambut yang cukup mengganggu. Namun penampilan terbaik datang dari pemeran-pemeran pembantu seperti Indra Herlambang (sebagai penagih hutang galak namun manja) dan Farishad Latjuba (sebagai penagih hutang bersuara dalam dan berat). Cukup mengejutkan juga melihat Farishad di film ini. Karena setahu saya dia adalah sineas film pendek, bukan aktor.
Aida Nurmala pun meninggalkan akting kaku dan berlebihan di Arisan dan berubah menjadi cewek simpanan/manajer Bakmi Yona yang saking inginnya menjadi penyanyi dangdut terkenal, rela dipakai oleh produsernya dan mendiskon CD dangdutnya menjadi sepuluh ribu saja. Sedangkan disini Amink tetap menjadi Amink di Extravaganza (bukan sesuatu yang buruk juga sebetulnya).
Kejutan terbesar film ini adalah di pendatang baru Laura Basuki yang mungkin akan menjadi bahan pembicaraan orang-orang. Kemunculan pertama dia di film ini adalah pada adegan ciuman panas antara dia dan Junot. Sesuatu yang paradoks karena karakter Laura (ya, nama perannya juga Laura) adalah anak sekolah lugu yang polos.
Jika di film lain sesuatu yang serba kebetulan adalah menyebalkan, disini kebetulan itu menjadi sesuatu yang menyenangkan dan kocak. Akhir film yang seperti itu cukup memuaskan penonton, apalagi ditambah video klip Merem Melek oleh Mieke Asmara.
Saya kurang mengetahui tentang duo sutradara/penulis Agasyah Karim dan Khalid Kashogi. Tentang mengapa mereka menyutradarai film ini berdua, dan mengapa mereka memilih untuk diberi kredit dengan nama Karim/Kashogi. Namun yang pasti saya akan menanti-nantikan komedi berikut dari mereka.
Blok M 21, Studio 6, 17.45, H6
Tuesday, November 4, 2008
Bali Komodo Part 2: Diantara Sawah Hijau Ubud
TJam tujuh pagi lewat kami bangun dan bergegas menuju pantai Kuta. Dari kemarin saya sudah merengek minta ditemani main body boarding. Namun ternyata ketiga teman saya tidak ingin berenang.
Ke pantai Kuta tidak berenang? Menurut saya itu sama saja dengan ke restoran tapi tidak makan. Akhirnya, saya seorang diri menyewa sebuah body board, lalu berselancar sendirian sementara yang lain mencari kerang di pasir.
Saya berselancar hanya sekitar satu jam. Namun cukup untuk memuaskan keinginan yang terpendam sejak lama, meskipun pagi itu ombak kurang cukup besar untuk menyeret saya sampai ke tepi pantai.
Selesai berenang, kami menjemput dua teman kami di airport yang memang berangkat belakangan. Oke, sejujurnya saya tidak ikut menjemput karena harus mandi sehabis body boarding. Tapi itu demi menghemat waktu agar nanti cepat sampai di Ubud.
Setelah mereka tiba di Dua Dara, kami berkemas dan langsung mencari tempat untuk sarapan. Awalnya bingung juga mau makan dimana. Tapi lalu kami berpikir untuk cari makan di daerah Seminyak. Pilihan jatuh ke restoran pertama yang kelihatannya enak dan tidak terlalu mahal, yaitu Warung Ocha.
Menunya cukup oke, dari omelet, pancake, sampai ke makanan prasmanan juga ada. Tempatnya pun sangat cozy dengan nuansa alam. Kayu-kayuan dan daun-daunan. Tidak luas, namun malah membuat suasana jadi akrab.
Selesai makan tadinya kami ingin mencari hotel untuk malam kedua di Kuta. Tapi saya pikir, mengapa tidak menginap di Ubud? Akhirnya semua setuju dan kami langsung bergerak menuju Ubud dan mencari hotel disana.
Berdasarkan informasi dari Lonely Planet, penginapan murah banyak terdapat pada Jl. Kajeng. Maka kami pun kesana dan melihat-lihat beberapa penginapan. Kami memilih hotel yang termurah, yang terletak di paling ujung sebelah dalam, yaitu Puri Bebengan. Tarifnya 150ribu per malam untuk tiga orang.
Karena sudah waktunya makan siang, kami pergi ke warung Bu Oka untuk makan babi guling. Mau lihat babi gulingnya seperti apa? Ini dia:
Nikmat, lezat, dan banyak. Tapi cukup mahal juga (25ribu per porsi), dan tentunya tidak sehat. Untung Bu Oka tidak membuka cabang di Jakarta. Jika tidak mungkin tiap minggu saya kesana. Namun karena waktu makan disini kebetulan saya masih dalam kondisi cukup kenyang, akhirnya saya hanya makan setengah porsi.
Dari Bu Oka, kami berjalan kaki sebentar menyusuri jalanan Ubud, lalu naik mobil menuju Museum Antonio Blanco, sebuah museum lukisan yang mungkin bisa juga disebut Taman Burung.
Banyak sekali burung-burung berwarna-warni disini. Dari kakaktua sampai.. ups! Ternyata saya hanya tau jenis kakaktua saja. Tiket untuk turis domestik adalah 30ribu, termasuk welcome drink yang sangat menyegarkan.
Ternyata Antonio Blanco adalah pelukis beraliran naturalis (kayaknya). Objek-objek lukisannya banyak yang 'belum jadi' dan tidak jauh-jauh dari wanita tanpa busana. Berbeda sekali dengan anaknya, Mario Blanco (yang masih tinggal disitu), yang kebanyakan melukis buah-buahan (well, setidaknya masih tidak jauh-jauh dari buah). Kami tidak diperbolehkan memotret di dalam museum sehingga foto-foto kami hanya bersama burung-burung di luar ruangan.
Setelah puas melihat lukisan, kami kembali ke hotel untuk melihat sawah-sawah yang ada disekitarnya. Menyenangkan sekali berada di tengah-tengah sawah yang sangat hijau itu, walaupun tidak ada aktivitas lain selain foto-foto.
Ketika matahari mulai akan tenggelam, kami menyeburkan diri di kolam renang hotel yang serasa milik pribadi karena kebetulan yang tinggal di hotel itu hanya kita saja. Kolamnya cukup kecil dan tidak terawat, tapi toh kami tidak peduli. Hasrat berenang sore itu sangat tinggi.
Malamnya, kami makan malam di restoran Bebek Bengil yang saking mahalnya, kami hanya mampu untuk makan seporsi untuk berdua. Ditambah satu nasi tentunya. Seporsi bebek bengil kira-kira 70ribu belum termasuk minum. Makanannya memang sangat enak dan suasannya pun sangat nyaman, meski ada nyamuk. Namun malam itu restoran cukup sepi dan kamipun tidak berlama-lama disitu.
Sebetulnya, alasannya adalah, handycam saya rusak. Pesan yang muncul di monitornya: Need Head Cleaning. Maka kami pun bergegas mencari toko yang menjual Head Cleaner, namun tidak jadi beli ketika mengetahui harganya 70ribuan. Kami pun mencari alternatif, yaitu cotton bud yang berharga 7ribu. Di mini market itu kami juga memberi roti, air putih, dan bir.
Setelah membersihkan kamera (berhasil, namun keesokkan harinya ternyata rusak lagi), kami menghabiskan malam itu di kamar sambil bermain kartu dan minum bir. Cukup menyenangkan. Mendekati tengah malam kami pun mengantuk dan tertidur ditemani suara-suara serangga yang cukup keras terdengar dari dalam kamar.
Besok: petualangan yang sebenarnya.
Ke pantai Kuta tidak berenang? Menurut saya itu sama saja dengan ke restoran tapi tidak makan. Akhirnya, saya seorang diri menyewa sebuah body board, lalu berselancar sendirian sementara yang lain mencari kerang di pasir.
Saya berselancar hanya sekitar satu jam. Namun cukup untuk memuaskan keinginan yang terpendam sejak lama, meskipun pagi itu ombak kurang cukup besar untuk menyeret saya sampai ke tepi pantai.
Selesai berenang, kami menjemput dua teman kami di airport yang memang berangkat belakangan. Oke, sejujurnya saya tidak ikut menjemput karena harus mandi sehabis body boarding. Tapi itu demi menghemat waktu agar nanti cepat sampai di Ubud.
Setelah mereka tiba di Dua Dara, kami berkemas dan langsung mencari tempat untuk sarapan. Awalnya bingung juga mau makan dimana. Tapi lalu kami berpikir untuk cari makan di daerah Seminyak. Pilihan jatuh ke restoran pertama yang kelihatannya enak dan tidak terlalu mahal, yaitu Warung Ocha.
Menunya cukup oke, dari omelet, pancake, sampai ke makanan prasmanan juga ada. Tempatnya pun sangat cozy dengan nuansa alam. Kayu-kayuan dan daun-daunan. Tidak luas, namun malah membuat suasana jadi akrab.
Selesai makan tadinya kami ingin mencari hotel untuk malam kedua di Kuta. Tapi saya pikir, mengapa tidak menginap di Ubud? Akhirnya semua setuju dan kami langsung bergerak menuju Ubud dan mencari hotel disana.
Berdasarkan informasi dari Lonely Planet, penginapan murah banyak terdapat pada Jl. Kajeng. Maka kami pun kesana dan melihat-lihat beberapa penginapan. Kami memilih hotel yang termurah, yang terletak di paling ujung sebelah dalam, yaitu Puri Bebengan. Tarifnya 150ribu per malam untuk tiga orang.
Karena sudah waktunya makan siang, kami pergi ke warung Bu Oka untuk makan babi guling. Mau lihat babi gulingnya seperti apa? Ini dia:
Nikmat, lezat, dan banyak. Tapi cukup mahal juga (25ribu per porsi), dan tentunya tidak sehat. Untung Bu Oka tidak membuka cabang di Jakarta. Jika tidak mungkin tiap minggu saya kesana. Namun karena waktu makan disini kebetulan saya masih dalam kondisi cukup kenyang, akhirnya saya hanya makan setengah porsi.
Dari Bu Oka, kami berjalan kaki sebentar menyusuri jalanan Ubud, lalu naik mobil menuju Museum Antonio Blanco, sebuah museum lukisan yang mungkin bisa juga disebut Taman Burung.
Banyak sekali burung-burung berwarna-warni disini. Dari kakaktua sampai.. ups! Ternyata saya hanya tau jenis kakaktua saja. Tiket untuk turis domestik adalah 30ribu, termasuk welcome drink yang sangat menyegarkan.
Ternyata Antonio Blanco adalah pelukis beraliran naturalis (kayaknya). Objek-objek lukisannya banyak yang 'belum jadi' dan tidak jauh-jauh dari wanita tanpa busana. Berbeda sekali dengan anaknya, Mario Blanco (yang masih tinggal disitu), yang kebanyakan melukis buah-buahan (well, setidaknya masih tidak jauh-jauh dari buah). Kami tidak diperbolehkan memotret di dalam museum sehingga foto-foto kami hanya bersama burung-burung di luar ruangan.
Setelah puas melihat lukisan, kami kembali ke hotel untuk melihat sawah-sawah yang ada disekitarnya. Menyenangkan sekali berada di tengah-tengah sawah yang sangat hijau itu, walaupun tidak ada aktivitas lain selain foto-foto.
Ketika matahari mulai akan tenggelam, kami menyeburkan diri di kolam renang hotel yang serasa milik pribadi karena kebetulan yang tinggal di hotel itu hanya kita saja. Kolamnya cukup kecil dan tidak terawat, tapi toh kami tidak peduli. Hasrat berenang sore itu sangat tinggi.
Malamnya, kami makan malam di restoran Bebek Bengil yang saking mahalnya, kami hanya mampu untuk makan seporsi untuk berdua. Ditambah satu nasi tentunya. Seporsi bebek bengil kira-kira 70ribu belum termasuk minum. Makanannya memang sangat enak dan suasannya pun sangat nyaman, meski ada nyamuk. Namun malam itu restoran cukup sepi dan kamipun tidak berlama-lama disitu.
Sebetulnya, alasannya adalah, handycam saya rusak. Pesan yang muncul di monitornya: Need Head Cleaning. Maka kami pun bergegas mencari toko yang menjual Head Cleaner, namun tidak jadi beli ketika mengetahui harganya 70ribuan. Kami pun mencari alternatif, yaitu cotton bud yang berharga 7ribu. Di mini market itu kami juga memberi roti, air putih, dan bir.
Setelah membersihkan kamera (berhasil, namun keesokkan harinya ternyata rusak lagi), kami menghabiskan malam itu di kamar sambil bermain kartu dan minum bir. Cukup menyenangkan. Mendekati tengah malam kami pun mengantuk dan tertidur ditemani suara-suara serangga yang cukup keras terdengar dari dalam kamar.
Besok: petualangan yang sebenarnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)